Alana Point Of ViewAku merasa hari- hariku terlewati dengan begitu cepat. Usia kandunganku memasuki bulan keempat, perutku sudah mulai membesar meskipun masih bisa ditutupi dengan pilihan outfit yang tepat. Aku dan Mas Arkasa juga sudah memberitahu ayah ibu kami dua bulan lalu. Ayah dan bundaku jelas kaget namun senang sekali karena akhirnya ada info tentang calon cucu mereka. Ayah mertuaku juga kelihatan senang sekali, beliau bahkan jadi lebih sering menelponku dan Mas Arkasa sekarang, padahal dulunya cukup cuek bebek.Berbeda dengan ketiganya, mama mertuaku justru sudah tahu lebih dulu. Dia punya mata- mata di rumah sakit yang sepertinya membocorkan hasil tesku. Jelas, itu adalah salah satu rumah sakit yayasan yang dikelola langsung oleh mama. Aku harusnya sadar bahwa hari dimana dia datang ke rumah saat itu adalah karena ingin mendengar berita ini dari mulutku sendiri. Namun saat itu aku masih belum mau bicara karena hubunganku dengan Mas Arkasa yang sempat renggang. "Mama penge
"Kenapa wajahnya ditekuk begitu, pak?" Arta mengamati dari kursi panjang, pria yang baru saja keluar dari ruangan periksa itu nampak cemberut dengan nafas berat. Wajahnya juga merah padam menahan amarah sepertinya. Sebenarnya Arta pun tahu penyebab si bos bersikap begini, namun dia memilih untuk menahan tawanya. Kalau sampai bablas tertawa, Arta tak tahu apa yang akan bosnya itu lakukan padanya. Arkasa mendengus kasar, dia duduk disebelah Arta dengan gusar juga. Matanya tak berhenti menoleh kedalam pintu putih yang baru saja dia tutup. "Kamu lihat sendiri kan? Dia genit pada istri saya!" Ujar Arkasa. Arta sontak mati-matian berusaha menahan tawanya yang hendak meledak. Dugaannya benar, Arkasa masih kesal akan kejadian yang baru saja mereka lihat. Bosnya itu berusia tiga puluh satu tahun, tapi jika menyangkut tentang istri kesayangannya itu, dia bisa bersikap seolah remaja yang baru masuk puber. Belasan tahun mengenal Arkasa, hanya Alana yang seolah punya kunci sakti untuk membol
Alana Point of ViewAku terbatuk pelan saat partikel micro yang entah apa terasa seperti menggelitik tenggorokan. Punggung tanganku masih cukup peka untuk merasakan ada sesuatu yang lembab menempel di kulit sekaligus sekelilingku. Bau disini benar- benar tidak dapat aku definisikan, seperti kayu lapuk dan busuk yang samar menyapa penciuman.Yakin sekali bahwa mata ini sudah terbuka sempurna, namun sesuatu menghalangi pandanganku sehingga semuanya masih gelap. Nyeri mulai terasa di punggung dan juga pergelangan tangan yang terikat dibelakang tubuh. Selain itu aku yakin pergelangan kakiku juga terikat. Rasa kebas merayap di beberapa bagian tubuh.Terbangun di lingkungan yang sama sekali tidak familiar bagiku. Dimana ini? Mengapa aku tiba- tiba berada di antah berantah? Samar- samar pendengaranku menangkap suara derap kaki yang seolah mendekat. Aku tidak berusaha menggerakkan tubuhku lagi karena semua tetap sia- sia. Ikatan kencang itu tidak akan terlepas hanya dengan menggeliat."Kamu
"Aku seperti tidak mengenalmu sama sekali sekarang."Dilafalkan dengan nafas kecewa. Namun bagaimanapun respon Saddam tidak sama sekali menggoyahkan wanita muda yang kini tengah duduk di sebuah sofa usang ruangan gelap tersebut. Bibir merahnya merekah naik, menarik sebuah garis licik yang dia tontonkan dengan sempurna. "Kamu memang tidak pernah mengenalku sama sekali," balasnya santai.Saddam menarik nafas dalam. Dia tidak pernah berpikir bahwa Evanny Wijaya yang dia kenal akan berlaku nekat lebih dari sebelumnya. Maksudnya, Saddam tahu bahwa Evanny merupakan wanita yang nekat, namun dia tidak menyangka wanita itu lebih gila dari yang dia bayangkan.Setelah sekian lama menghilang untuk menghimpun kekuatan baru, Saddam hampir tak pernah bertemu anak tirinya itu. Dia sibuk menyembunyikan beberapa puing sisa kejayaan yang sempat dikumpulkan sebelumnya. Setidaknya Saddam harus mengatur semua uang itu untuk masa depannya juga.Baru bulan kemarin akhirnya dia menghubungi Evanny yang ternya
Kegaduhan tak terelakkan terjadi. Begitu menyadari bahwa istrinya yang berharga berada dibawah kegilaan Evanny Wijaya, Arkasa tak henti- hentinya merutuk marah pada siapapun yang dia anggap telah lalai menjaga Alana—terutama dirinya sendiri.Harusnya hari itu dia menjemput istrinya, namun karena meeting sialan yang tidak bisa ditinggal, terpaksa Arkasa menugaskan supir. Namun entah mengapa kejadiannya justru jadi seperti ini.Beberapa berkas melayang berantakan saat Arkasa tak bisa lagi berhenti menyalahkan diri sendiri. Dia akan membenci diri seumur hidup jika sesuatu sampai terjadi pada istri dan calon buah hatinya itu."Kita tahu apa yang dia inginkan, namun saya rasa kita tidak bisa gegabah," ujar Arta yang hanya bisa diam menyaksikan bosnya mengamuk di kantor.Mata elang Arkasa memerah marah. "Siapkan saja berkasnya! Kalau ayah bertanya, biar aku yang bertanggung jawab. Saat ini keselamatan istri dan anakku adalah yang terpenting," ujarnya memerintah.Arta tak bisa berkata apapun
"Kalian tahu, aku sama sekali tidak main- main!"Ada seringaian menyeramkan yang terbit dari garis bibir wanita dua puluh tahunan itu. Dia cukup berani untuk menggenggam sebuah pistol limited edition yang dibuat khusus sesuai pesanan pembelinya.Saddam pernah melihatnya. Pistol tersebut merupakan salah satu benda koleksi paling mahal milik Tuan Wijaya yang dipajang di ruang kerjanya. Harga benda tersebut mungkin mencapai ratusan juta rupiah. Entah kapan Evanny berhasil menyelinap dan mengambilnya.Selain karena pistol yang ditodongkan olehnya, mereka juga terfokus pada Alana yang mendadak terbatuk dengan mengeluarkan cairan merah dari dalam mulutnya. Selain itu, pergerakan Alana makin lama makin terbatas, seolah tubuhnya menjadi kaku dan membatu.Arkasa menggenggam jemari istrinya yang terasa dingin. Bibirnya menganga sedikit seolah ingin mengatakan sesuatu namun tak sampai. "Jangan bilang kamu menggunakan zat itu lagi padanya?" Saddam berteriak frustasi. Satu ketakutannya mungkin te
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki