"Aku mencintaimu Kaivan, dan aku kembali dengan mengorbankan banyak hal. Dan kau juga tahu kenapa dulu aku meninggalkanmu, karena aku cacat. Tetapi sekarang aku kembali, aku pede berdampingan denganmu, tubuhku sudah bagus." Claudia berucap serius, menatap sayup dan sendu pada Kaivan. Kaivan menaikkan sebelah alis, menarik sudut bibirnya sebelah~membingkai seringai tipis dengan menatap tajam dan penuh intimidasi ke arah Claudia. "Apapun alasanmu meninggalkanku, tetapi aku memilih tak peduli, Claudia." "Tapi kemarin-kemarin kau mau bersamaku." Claudia berniat meraih tangan Kaivan, tetapi pria itu menepisnya. Kaivan juga menjauhkan tangannya dari jangkauan Claudia. "Itu kesalahanku." Kaivan berucap dingin, "aku tergiur dengan kehadiranmu."Claudia tersenyum manis, merasa ucapan Kaivan tersebut tanda jika dia masih punya harapan. "Aku berpikir aku bisa membalaskan dendam ku padamu. Aku ingin kau merasakan apa yang kurasakan beberapa tahun lalu, saat kau mengejek dan menghinaku lalu pe
Jika Kaivan membiarkan tangannya tetap memaki arloji, dia takut melukai Rachel nantinya. Dengan masih menggendong Rachel yang sudah seperti koala melekat pada batang pohon, Kaivan melempar arlojinya ke arah meja rias. Dia berjalan ke ranjang kemudian dengan perlahan dan hati-hati membaringkan Rachel ke atas ranjang. Sialnya, Rachel tak mau melepasnya. Istrinya ini benar-benar seperti koala malas yang tak mau dipisah dari dahan. "Sebentar, Sweetheart." Kaivan melepas pangutan mereka, melepas tangan Rachel dari lehernya. Setelah itu dia melepas kemejanya, di mana Rachel kembali ingin memeluknya dan menciumnya. "Hell yahh …." Kaivan mengumpat pelan, bahkan untuk membuka baju saja dia kesulitan, "Sabar, Sweetheart," ucapnya serak, rendah dan berat. Dia terpaksa mendorong tubuh Rachel ke atas ranjang dengan cukup kuat agar Rachel bisa lepas darinya. Kaivan buru-buru melepas pakaiannya, naik ke atas ranjang dan membiarkan Rachel untuk memimpin. Walau pada akhirnya, Kaivan mengambil ahl
Setelah mandi, Kaivan langsung mengajak Rachel untuk makan malam bersama. Dalam hati Kaivan sangat berharap pada Hansel, semoga dengan menyediakan semua makanan kesukaan Ichi-nya malam ini, Rachel mau berbicara dengannya. Tapi setelah tiba di ruang makan, wajah penuh harap Kaivan seketika lenyap. Wajahnya berganti dengan air muka muram dan kaku. Hell! Apa-apaan ini?! "Hansel!" teriak Kaivan, setengah marah dan kesal pada tangan kanannya tersebut. Sedangkan Rachel sudah berjalan ke meja makan, memperhatikan banyaknya makanan kesukaannya di sana. "Aku menyuruhmu apa?!" dingin Kaivan, mengepalkan tangan dengan menatap tajam dan membunuh ke arah tangan kanannya tersebut. Hansel meneguk saliva secara kasar, wajahnya muram dan penuh ketakutan. Se--sepertinya dia telah melakukan kesalahan yang fatal di sini. "Tuan memerintahkanku untuk menjemput Tuan muda Jake dan membeli semua makanan kesukaan Nyonya.""Lalu?" Tatapan Kaivan semakin dingin dan tajam, namun secepat kilat tatapan menger
"Aku bisa membayarmu lebih jika kau mau bekerja sama denganku, William," ucap Parah, ketika kepercayaan cucunya tersebut berada di depannya. "Atau … apapun yang ku mau. Tapi bantu aku untuk menyingkirkan Rachel dari rumah ini."William menaikkan sebelah alis, menatap Parah dengan meneliti dan penuh pertimbangan. "Aku tidak yakin jika anda orang yang bisa dipercaya.""Aku memberikanmu gedung apartemen di pusat kota. Milikmu." Parah menyeringai penuh kemenangan. Dia sangat tahu jika sejak dulu William sangat ingin memiliki gedung apartemen milik keluarga Kendall yang ada di kota ini. Namun, entah alasan apa Kaivan tak pernah mengizinkan William mengelola bisnis properti mereka. Sekarang ini bisa menjadi senjata bagus untuk Parah–dengan hal itu dia bisa memanfaatkan William. "Tapi dengan syarat, bantu Alina menjadi istri Kaivan dan singkirkan anak gembel itu dari sini," tambah Parah dengan nada angkuh dan senyuman sumringah penuh kepercayaan diri. "Baik, Nyonya Kendall. Saya setuju."
"Semangat belajar dengan Mas Kaivan," lanjutnya, ragu dan dengan air muka muram dan pias. "Humm." Kaivan berdehem pelan, "habiskan lecimu baru belajar," lanjutnya sembari mengacak lembut dan penuh kasih sayang pada pucuk kepala istrinya."Sip, Bos." ***Enam bulan kemudian--Dengan bantuan Kaivan, Rachel berhasil mendirikan perusahaan penerbitan. Di mana perusahaannya tersebut hanya terfokus untuk menerbitkan buku komik dan juga novel saja--untuk saat ini. Selain menerbitkan buku, perusahaan tersebut juga mengajak penulis dan pen-desain komik maupun cover buku untuk bergabung dengan mereka. Salah satu yang Rachel ajak bergabung dengannya adalah Denny. Karena sahabatnya tersebut juga berkecimpung di dunia halu. Bedanya Rachel ke arah komik dan manhwa, sedangkan Denny lebih ke novel dengan genre fantasi. Rachel sangat bersungguh-sungguh, di rumah dia belajar dengan Kaivan dan ketika di kantor dia dibina oleh William. Pria itu diperintahkan oleh suaminya untuk mengawasi perkembangan
"Eh, ini kan fotoku dan Denny pas di toko tadi." Rachel mendorong pelan dada bidang suaminya lalu buru-buru menyambar handphone Kaivan di atas meja. Rachel mengambil handphone tersebut lalu mengamati foto dirinya di sana lamat. Pertama, kenapa fotonya ketika bersama Denny ada di handphone Kaivan, dan yang kedua, dia yakin sekali jika ada seseorang yang ingin mengadu domba antara dia dan Kaivan. 'Ini pasti si Mak banteng. Soalnya tadi aku sempat lihat Alina di mall.' "Ini … yang kirim siapa, Mas?" tanya Rachel, duduk di sebelah Kaivan yang sudah duduk di sofa juga sembari memperhatikan dompetnya–pemberian Rachel secara saksama. "Nenek," jawab Kaivan, merangkul pundak Rachel. Dengan lembut dua juga meraih dagu perempuan itu, namun ketika lagi-lagi dia ingin mencium bibir Rachel, perempuan itu lebih dulu menepis tangannya dan menjauhkan wajahnya dari Rachel.Shit! Ini menyebalkan. Dua kali Kaivan ditolak oleh perempuan ini. "Ini foto ku dan Denny ketika di toko. Denny sedang menca
"Kau terus memperhatikanku, kenapa?" ucap Kaivan, tiba-tiba sudah menghadap Rachel–menyunggingkan smirk yang tipis dengan menatap sangat lembut dan dalam ke arah Rachel. Deg deg deg "Aku tidur …--" Rachel buru-buru menyelimuti tubuhnya hingga selimut menyentuh dagu, setelah itu dia memejamkan mata dengan air muka kentara gugup bercampur malu, "aku ti--tidur lagi, Mas," lanjutnya, sudah memejamkan mata sembari mengumpati diri dalam batin. "Cih." Kaivan berdecis geli, menarik Rachel dalam pelukannya kemudian dengan gemas mengecup bibir perempuan tersebut. "Aku akan mandi, kau mau ikut, Sweetheart?" ucap Kaivan sembari bangkit dari ranjang. Dia sengaja menarik selimut–sekedar usil pada istrinya yang sedang pura-pura tidur. "Argk!" Rachel menjerit dan setengah memekik horor, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lagi. "Genit sekali, tidak boleh begitu!" ucap Rachel pelan sembari menatap ke arah Kaivan. Kaivan terkekeh pelan. Seperti biasa, Rachel sangat menggemaskan! "Humm, kau
"Sudah ada Alina, lebih baik aku pergi," ucap Rachel dengan tersenyum getir, menatap suaminya sendu lalu berniat beranjak dari sana. Namun tiba-tiba saja seseorang menahan tangannya, membuat Rachel menoleh ke arah sebuah tangan kokoh yang menahan lengannya tersebut–tak lain adalah Kaivan. "Kau mau kemana?" hanya Kaivan dengan rendah dan pelan, menatap lamat dan teliti ke arah wajah sendu serta sayup Rachel. "Aku ingin duduk di sana," jawab Rachel sembari menunjuk sebuah kursi kosong yang berada di sudut ruangan tersebut. "A--aku kurang suka perayaan be--begini. Ma--maksudku … sedikit tidak nyaman saja. Tapi Mas Kaivan silahkan lanjutkan, aku menunggu di sana." Rachel tersenyum kaku, secara pelan melepaskan tangan Kaivan di lengannya. Bukan pestanya yang tak Rachel sukai, tetapi orang-orang yang mengelilingi Kaivan. Keluarga semuanya ini! Satupun dari mereka tak ada yang menyukai Rachel, mereka membencinya. Kaivan mengatupkan rahang, menatap tajam dan penuh peringatan ke arah Ra
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny