"Eh, ini kan fotoku dan Denny pas di toko tadi." Rachel mendorong pelan dada bidang suaminya lalu buru-buru menyambar handphone Kaivan di atas meja. Rachel mengambil handphone tersebut lalu mengamati foto dirinya di sana lamat. Pertama, kenapa fotonya ketika bersama Denny ada di handphone Kaivan, dan yang kedua, dia yakin sekali jika ada seseorang yang ingin mengadu domba antara dia dan Kaivan. 'Ini pasti si Mak banteng. Soalnya tadi aku sempat lihat Alina di mall.' "Ini … yang kirim siapa, Mas?" tanya Rachel, duduk di sebelah Kaivan yang sudah duduk di sofa juga sembari memperhatikan dompetnya–pemberian Rachel secara saksama. "Nenek," jawab Kaivan, merangkul pundak Rachel. Dengan lembut dua juga meraih dagu perempuan itu, namun ketika lagi-lagi dia ingin mencium bibir Rachel, perempuan itu lebih dulu menepis tangannya dan menjauhkan wajahnya dari Rachel.Shit! Ini menyebalkan. Dua kali Kaivan ditolak oleh perempuan ini. "Ini foto ku dan Denny ketika di toko. Denny sedang menca
"Kau terus memperhatikanku, kenapa?" ucap Kaivan, tiba-tiba sudah menghadap Rachel–menyunggingkan smirk yang tipis dengan menatap sangat lembut dan dalam ke arah Rachel. Deg deg deg "Aku tidur …--" Rachel buru-buru menyelimuti tubuhnya hingga selimut menyentuh dagu, setelah itu dia memejamkan mata dengan air muka kentara gugup bercampur malu, "aku ti--tidur lagi, Mas," lanjutnya, sudah memejamkan mata sembari mengumpati diri dalam batin. "Cih." Kaivan berdecis geli, menarik Rachel dalam pelukannya kemudian dengan gemas mengecup bibir perempuan tersebut. "Aku akan mandi, kau mau ikut, Sweetheart?" ucap Kaivan sembari bangkit dari ranjang. Dia sengaja menarik selimut–sekedar usil pada istrinya yang sedang pura-pura tidur. "Argk!" Rachel menjerit dan setengah memekik horor, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lagi. "Genit sekali, tidak boleh begitu!" ucap Rachel pelan sembari menatap ke arah Kaivan. Kaivan terkekeh pelan. Seperti biasa, Rachel sangat menggemaskan! "Humm, kau
"Sudah ada Alina, lebih baik aku pergi," ucap Rachel dengan tersenyum getir, menatap suaminya sendu lalu berniat beranjak dari sana. Namun tiba-tiba saja seseorang menahan tangannya, membuat Rachel menoleh ke arah sebuah tangan kokoh yang menahan lengannya tersebut–tak lain adalah Kaivan. "Kau mau kemana?" hanya Kaivan dengan rendah dan pelan, menatap lamat dan teliti ke arah wajah sendu serta sayup Rachel. "Aku ingin duduk di sana," jawab Rachel sembari menunjuk sebuah kursi kosong yang berada di sudut ruangan tersebut. "A--aku kurang suka perayaan be--begini. Ma--maksudku … sedikit tidak nyaman saja. Tapi Mas Kaivan silahkan lanjutkan, aku menunggu di sana." Rachel tersenyum kaku, secara pelan melepaskan tangan Kaivan di lengannya. Bukan pestanya yang tak Rachel sukai, tetapi orang-orang yang mengelilingi Kaivan. Keluarga semuanya ini! Satupun dari mereka tak ada yang menyukai Rachel, mereka membencinya. Kaivan mengatupkan rahang, menatap tajam dan penuh peringatan ke arah Ra
"Eungg," lengkuhan Rachel terdengar. Perlahan kelopak matanya terbuka, seiring dengan sinar mata hari yang menerobos masuk menembus kelopak matanya. Rachel langsung menoleh ke sekeliling sebab mengingat terakhir kali dia di pesta ulang tahun Kaivan dan dia tiba-tiba mengantuk serta berakhir tertidur di sana. Fiyuhhh … untunglah dia di kamarnya. Tapi-- kemana Kaivan dan kenapa suaminya itu tak ada di sebelahnya–di sisi ranjang tempat Kaivan biasa tidur sudah kosong. "Cik." Rachel berdecak pelan, menyender ke kepala ranjang dengan raut sedih serta banyak pikiran. Kejadian tadi malam mengiyang di kepalanya. Di mana Kaivan diumumkan bertunangan dengan Alina. Semua orang bertepuk tangan kemudian tanpa tahu selanjutnya apa yang terjadi, Rachel sudah lebih dulu kehilangan kesadarannya. "Kenapa selalu ada saja masalah. Lama-lama aku muak," gumamnya pelan, memilih kembali berbaring secara tengkurap. "Tunggu!" Rachel tiba-tiba kembali duduk dengan air muka panik dan juga kaku, "aku masih ha
"Aku …- menyamosumasopasito," sungut Rachel, nadanya pelan dan samar-samar juga."Bicara yang jelas!" gertak Kaivan, menggeram sembari memukul bantal ke arah Rachel. Tenang! Kaivan memukulnya dengan pelan karena kesal bercampur gemas dengan jawaban Rachel yang menggunakan bahasa alien. Fuck! Rachel mempermainkannya, heh?! Suaranya berkumur-kumur dan tak jelas sama sekali. Menjengkelkan!Rachel menoleh ke arah Kaivan, menggembungkan pipi sembari menatap raut marah suaminya tersebut. Sedangkan Kaivan, dia langsung memalingkan wajah. Sial! Dia hampir tertawa ketika Rachel dengan tampang polos dan naif menatap ke arahnya. Itu membuat Kaivan jadi kembali teringat pada jawaban Rachel tadi. 'Menyamosumasopasito.' Bahasanya aneh, tetapi suaranya lirih dan menyedihkan. Shit! Dan sekarang kepala Kaivan dipenuhi dengan suara alien istrinya tersebut. "Katakan," sinis Kaivan kemudian, saat setelah dia bisa menguasai dirinya dari lawakan istrinya tersebut tadi. Bisa-bisanya Ichi-nya ini kepiki
Kaivan dengan semangat menemui Rachel, dia memutuskan untuk mengutarakan perasaannya pada Rachel hari ini. Walau Kaivan bersemangat tetapi dia juga merasa berdebar dan cukup gugup, bagaimana jika dia mengatakan cinta tetapi Rachel tidak memberikan balasan? Maksud Kaivan Rachel menolaknya.Itu yang Kaivan khawatirkan. Ceklek'Kaivan membuka pintu lalu langsung masuk ke dalam, dia membawa bunga matahari kesukaan Rachel dan juga sebuah kotak hadiah yang telah dia siapkan untuk istrinya tersebut. "Rachel Queenza Kendall, aku mencintaimu," ucapannya dengan cepat dan lantang, menatap punggung Rachel dengan tatapan sayup dan juga dalam–namun di sisi lain terasa mengintimidasi karena Kaivan takut jika Rachel menolaknya. Rachel yang sedang duduk membelakangi Kaivan, sontak menoleh ke arah pria itu. Matanya spontan membelalak, air mukanya terpampang konyol–campuran antara kaget dan juga merasa horor. "Ma--Mas Kaivan kenapa?" tanya Rachel, mencicit pelan sembari menyilangkan tangan di depan
"Kau ke pantai malam-malam dengan laki-laki, dan menurutmu itu romantis?!" potong Kaivan, setengah mengomel, marah, tak terima dan juga cemburu luar biasa. Rachel mengangguk dengan polos dan naifnya, cengengesan kaku juga ke arah Kaivan yang terlihat marah serta sudah seperti monster yang siap menghabisinya. "Stupid!" maki Kaivan pelan, mengusap wajah dengan kasar–tak habis pikir dengan cara Rachel menjalankan otaknya. Berduaan di pantai dan malam-malam ia anggap romantis? Fucking jerk! Se--sejujurnya Kaivan tak terima dengan itu dan dia sangat cemburu. "Ayah harus tahu jika kau pernah keluar dengan pria malam-malam ke pantai," geram Kaivan, mengeluarkan handphonenya lalu benar-benar berniat menghubungi ayah mertuanya. Akan tetapi tangannya tiba-tiba ditahan oleh Rachel. Bahkan perempuan itu juga merampas handphonenya. "Ayah tahu kok, Mas," ucap Rachel setelah merampas handphone Kaivan."Apa Ayah memarahimu?""Tidak." Rachel menjawab cepat, tersenyum lebar dan manis ke arah Kaiv
Setelah bermalam di penginapan puncak, Kaivan dan Rachel lanjut berkencan. Kaivan juga membawa Rachel ke pantai, dan menghabiskan waktu cukup lama di sana. Setelah itu, barulah mereka pulang ke rumah–di mana William, Hansel dan Jake sudah menunggu, menyambut mereka dengan melempar kelopak bunga ke arah Kaivan dan Rachel. Mereka juga memberikan buket bunga matahari beserta kuaci-nya pada Rachel. Apa yang mereka lakukan ini, layaknya menyambut pengantin baru. Mereka anggap begitu karena Tuan mereka berhasil menyatakan cinta pada Sang Nyonya, dan Sang Nyonya juga mencintai Tuan mereka. "Selamat, Nyonya dan Tuan," ucap William sembari memberikan buket bunga mawar pada Rachel. "Selamat, Mama dan Papa. Jake mendoakan kalian selalu bahagia." Jake berjalan mendekati Mamanya lalu memberikan kuaci dan setangkai bunga matahari pada Mamanya. "Ini, Nyonya." Hansel memberikan buket bunga matahari pada Rachel, "semoga adik untuk Tuan muda Jake cepat hadir di rumah ini," lanjutnya kemudian–berha
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny