Setelah mandi kemudian makan malam, harusnya Rachel lanjut untuk membuka kotak hadiah pemberian suaminya. Namun hal tersebut tak terjadi lantaran tamu tak diundang datang ke rumah mereka ini. Alina dan Evelyn datang kemari dengan tujuan meminta maaf, meminta maaf perihal pesta ulang tahun kemarin yang menjadi kacau karena jebakan Parah. Entahlah mereka minta maaf sungguhan, yang jelas mereka kesini sebagai anak buah Parah. Yah, Rachel bisa menebak hal tersebut. "Aku merasa malu atas kejadian kemarin, Tuan Kaivan. Aku menyesalinya dan sungguh meminta maaf pada Tuan," ucap Alina, duduk di depan meja kerja Kaivan–di mana Kaivan hanya sibuk pada pekerjaannya, sama sekali tak menoleh ke arah Alina atupun adik sepupunya, Evelyn. "Iya, Kak. Alina sangat tidak bersalah dengan kejadian kemarin. Nenek yang merancang semuanya, Alina tidak tahu apapun," jelas Evelyn dengan sedikit gugup dan takut. Pasalnya Kaivan begitu dingin dan tak acuh pada kehadiran mereka di sini. Tatapan Kaivan terliha
"Kau sudah melakukan apa yang aku minta?" ucap Kaivan pada seseorang melalui sambungan telpon–tak lain orang yang ia hubungi tersebut adalah Hansel. 'Sudah, Tuan. Anda akan mendapatkan berita kebangkrutan keluarga Derasha, paling lama sore nanti, Tuan.'"Humm. Bagaimana dengan bisnis nenek tua itu?" Kaivan berucap datar, duduk di ranjang dengan menyender ke kepala ranjang–mengelus pucuk kepala Rachel yang berbaring di atas pangkuannya. Sebenarnya Rachel sudah bangun sekitar jam setengah lima, mereka juga sudah mandi dan bahkan saat ini Kaivan sudah rapi dengan penampilan yang formal–tinggal mengenakan tuxedo, dasi dan sepatu saja. Namun Rachel kembali tertidur, mungkin karena kelelahan. Sedangkan Kaivan, dia sangat suka mengelus rambut Rachel karena itu dia memanfaatkan kondisi Rachel yang telah tertidur. Sekalian Kaivan menghubungi Hansel untuk memastikan sesuatu. Yah, Kaivan tidak main-main dengan ancamannya. Persetan keluarga Alina merupakan sahabat Papanya, dan masa bodo jika P
"Itu eskrim ke lima belas, Chel," ucap Alsya sembari bertopang dagu, menatap sahabatnya yang sedang sedih, galau dengan terus-terusan makan es krim. "Biarin," ucap Rachel, menghabiskan es krim tersebut lalu kembali meraih es krim baru. Namun tangannya lebih dulu ditampar oleh Melisa. Bukan hanya menampar tangannya, Melisa juga menjauhkan eskrim lainnya dari Rachel. Dia berada di apartemen Melisa dan Alsya, membawa eskrim sebanyak mungkin kemudian memakannya dengan hanya diam dan kadang menangis. "Makan es krim tidak akan menyelesaikan masalah kamu. Mending kamu pulang, sudah jam lima sore, langit gelap pertanda mau hujan juga. Nanti kamu sakit kalau kena hujan." Rachel menatap tak percaya pada Kakaknya. "Kak Melisa mengusirku? A--apa salahku? Hiks … aku lagi sedih, Kak Melisa. Kenapa aku diusir?" ucap Rachel, sudah menangis dan sesenggukan. "Kamu yang bilang kalau kamu nggak boleh telat pulang. Dan … lagian kamu nangis-nangis di sini, tapi nggak mau cerita masalah kamu. Kenapa? P
"Bo--boleh tapi kita pisah yah …."Kaivan menangkup pipi Rachel, mengunakan tatapan tajam kepada istrinya tersebut dengan raut muka tak suka dan setengah marah. "Sudah kukatakan padamu, Ichi, sekalipun kau menyuruhku untuk menikah lagi, aku tidak akan melakukannya. Because you're the only one. Forever will stay like that," ucap Kaivan tegas, masih melayangkan tatapan tajam ke arah manik redup dan takut istrinya. "Tolong, jangan pernah lagi memikirkan atau mengatakan kita akan berpisah. Itu membuatku takut, Ichi," ucap Kaivan lagi dengan nada yang lebih lembut dan pelan, setengah berbisik dengan Kaivan yang sudah menelusup ke ceruk leher Rachel. "Maafkan aku, Mas," cicit Rachel, membalas pelukan suaminya dengan erat lalu diam-diam menangis–menitihkan air mata karena ketidak berdayaan-nya. "Aku mencintaimu, Rachel Queenza Kendall. Aku sangat mencintaimu," bisik Kaivan lagi dengan lirih. Dia khawatir dengan kondisi mental istrinya karena masalah ini. Kaivan juga merasa bersalah karena
"Anak angkat?" "Anak kandung lah." Regal sontak berdecis dengan nada meremehkan. "Tak masuk diakal," ucapnya malah diabaikan oleh Rachel. "Bagaimana bisa kamu dan Pak Kaivan punya anak sudah se besar ini?""Maaf, Regal. Jake memang anak kandungku dengan Pak Kaivan, dan kurasa kamu tidak punya alasan untuk mempermasalahkan itu. Kita hanya teman biasa," ucap Rachel, di mana kalimat akhirnya tersebut sangat menohok bagi Regal. 'Hanya teman biasa.' "Ouh iya." Regal tiba-tiba berdehem–menetralkan perasaan tak terima dalam hatinya karena Rachel menyebutnya hanya teman biasa saja. "Perkenalkan, Chel, dia Regina, pacar aku."Rachel menoleh ke arah perempuan bernama Regina tersebut. Dia tersenyum lalu mengulurkan tangan juga pada perempuan cantik dan manis secara bersamaan tersebut. "Hai, Regina. Aku Rachel, teman Regal. Salam kenal yah," ucapnya ramah. Diam-diam membuat Regal mengepalkan tangan dibawah meja sembari menatap kecewa dan marah ke arah Rachel. Harusnya Rachel cemburu, bukan t
Kaivan menyentil bibir Rachel cukup kuat, sontak membuat istrinya tersebut seketika diam dan bungkam. "Sekali lagi kudengar kau mengumpat, mulutmu kujahit, Rachel Queenza Kendall," peringat Kaivan dengan serius–menatap tajam ke arah Rachel yang sudah menekuk wajah dan juga menampilkan air muka sepat yang tak enak untuk dilihat.Rachel mengangukkan kepala, menipiskan bibirnya yang terkena sentilan oleh suaminya tersebut kemudian menatap takut bercampur muram ke arah Kaivan. 'Padahal yang paling sering mengumpat juga dia. Giliran aku mengumpat sekali, dia langsung marah. Giliran dia ngumpat, aku malah merinding takut. Nggak pernah enak di aku,' batin Rachel. Cup'Kaivan tiba-tiba saja mengecup bibir Rachel, kemudian dia mengelus bibir ranum dan menggoda tersebut dengan lembut. "Kau sudah tahu ingin makan apa?" tanya Kaivan, mendapat gelengan kepala dari Rachel. "Mungkin kau ingin memakanku," ucap Kaivan lagi yang mendapat kerutan di kening Rachel. "Memakan Mas Kaivan? Aku bukan kan
Tiga Minggu setelah kehamilan Rachel. "Cik." Kaivan berdecak kesal, lalu menyender ke kursi sembari memijit keningnya sendiri. "Tuan kenapa?" tanya Hansel, panik bercampur khawatir melihat kondisi tuannya yang tiba-tiba wajahnya sudah pucat serta matanya memerah dan berat. "Kepalaku sakit, Hansel." Kaivan menghela nafas dengan panjang, menoleh ke arah Hansel dengan tatapan memohon dan sayup, "tolong bawa aku pulang.""Oke, Tuan." Hansel bergegas menghampiri Kaivan, namun dengan cepat Tuannya tersebut memberi isyarat agar Hansel tak perlu membantunya."Aku bisa berjalan sendiri. Kau cukup mengantarku pulang.""O--oh, baik, Tuan." Hansel hanya bisa menganggukkan kepala. Lalu dia berjalan di belakang Kaivan sembari mengawasi tuannya. Dia khawatir pada Kaivan!Tuannya ini jarang sekali demam, bahkan dia merasa tidak pernah. Namun entah kenapa sekarang Kaivan mendadak sakit. Tatapan Kaivan sangat sayup dan wajahnya juga pucat. Tapi …-'Bisa-bisanya aura Tuan masih menyeramkan.' ***"
"Jangan bicara begitu, Mas Kaivan. Nggak ada yang direpotkan karena sudah kewajiban aku sebagai istri untuk merawat Mas Kaivan," ucap Rachel, mengusap rambut Kaivan yang sudah berbaring di atas ranjang mereka. Kemudian setelah itu, Rachel membuka pantofel yang suaminya pakai, membuka tuxedo Kaivan juga. "Mas Kaivan, tunggu sebentar yah." Setelah itu Rachel beranjak dari sana, membawa handphonenya untung menghubungi Mamanya. Demi apapun! Rachel bingung harus melakukan apa. Ini pertama kalinya dia berhadapan dengan orang sakit. Sedangkan Kaivan, dia memejamkan mata dan memaksa diri untuk tidur. Walau sebenarnya tubuhnya semakin panas namun kedinginan juga. "Halo, Mama." Rachel berucap pelan, takut Kaivan terbangun dan terusik dengan suaranya. Padahal dia ada di balkon kamar mereka, seharunya seharusnya suaminya tak akan mendengarnya lagi. 'Ada apa, Sayang?' Sapa lembut Mama Rachel, Arumi, pada putrinya. 'Ouh, iya, kabar kamu gimana? Sehat? Kaivan dan cucu Mama sehat juga kan?'"Rac
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny