"Minum air di lantai," tambah Kaivan– berhasil membuat Irisel membelalak lebar, wajahnya menegang dengan tubuh yang mendadak membeku mendengar titah dari tuannya. Bagiamana bisa Kaivan se kejam ini padanya?! "Pak Kaivan, tidak sedang bercanda kan?" ucap Irisel dengan nada gugup, bergetar dan panik. Wajahnya memucat pias dengan jantung yang berdebar kencang. Padahal niatnya baik, hanya memberikan air mineral untuk mengganti kopi yang Kaivan suruh buang tadi. Akan tetapi kenapa Kaivan malah marah seperti ini?"Kau yang jangan bercanda denganku!" geram Kaivan, menatap tajam dan penuh amarah pada sekretarisnya tersebut. "Saya hanya membantu Pak Kaivan dengan menuangkan air mineral untuk Pak Kaivan. Apa itu sa …-""Jangan lancang berbicara padaku!" Kaivan kembali berdesis dingin, memotong ucapan Irisel sembari semakin menatap marah ke arah perempuan yang mengenakan kemeja navy tersebut secara tajam dan mengintimidasi. "Kau hanya bawahan, pekerjaku! Jangan mencampur pribadiku dengan be
"Aku saja yang memberikannya pada Tuan Kaivan." Hansel menarik dokumen tersebut dari tangan Irisel. "Pergilah," usirnya kemudian, tak membolehkan Irisel masuk dalam ruangan Kaivan. Tuannya ada di dalam bersama seorang dan tak ada yang boleh menggangu. Kaivan bisa mengamuk jika Hansel membiarkan Irisel atau orang lain masuk ke dalam.Tuannya sedang meluapkan emosinya, tengah memberikan sebuah gambar miliknya pada tubuh …-"Saya harus masuk karena saya ingin mengatakan sesuatu pada Pak Kaivan." Irisel berniat menerobos, dia sangat curiga jika Kaivan tengah melepas hasratnya dengan wanita bayaran. Jika itu benar, Irisel akan sangat kecewa pada Kaivan. Cik! Jika Kaivan mau, dia bisa memintanya pada Irisel, dan Irisel bisa melayaninya sepuas hati Kaivan. "Kau mau dipecat, heh?!" Hansel berucap rendah, Irisel menggelengkan kepala dengan lesu. "Maka pergilah, Nona Irisel. Tuan sedang tidak bisa diganggu. Dia bersama seseorang … ah, maksudku sedang ada urusan penting."Irisel mengerjab beb
Rachel mengangkat benda itu dan melihat sesuatu yang Kaivan buang tersebut, kedua alis Rachel sontak terangkat. Tumbler.***Ceklek' Kaivan keluar dari kamar mandi, menghela napas pelan saat melihat TV menyala– terlihat jika Rachel ada di sana, duduk di lantai beralaskan karpet berbulu sembari bermain dengan Dayana. "Hah." Kaivan menghela napas dengan berat, memilih masuk dalam walk in closet untuk berpakaian. Setelah memakai pakaiannya, Kaivan berjalan ke arah Rachel. Kaivan duduk di sopa, melihat ada remot TV di sebelahnya dia mengambilnya laku sengaja menukar saluran TV. Cari perhatian agar rachel menoleh ke arahnya. Benar saja, Rachel menoleh ke arahnya– menatap datar ke arah Kaivan lalu memilih memalingkan wajah, kembali bermain dengan putrinya. "Aku minta maaf, Ichi," ucap Kaivan dengan pelan dan lirih, menyenderkan punggung pada sopa sembari memerhatikan Rachel yang enggan menoleh ke arahnya. "Come on, Ichi. Berbicara padaku," pinta Kaivan, berharap agar Rachel berhenti m
Sekitar jam dua belas malam, Kaivan harus ke kediaman Kendall–rumah neneknya yang megah, sebab neneknya tersebut jatuh sakit. Kondisi Parah dalam keadaan yang sangat buruk dan memprihatinkan. Bisa dikatakan dia hanya menunggu bertemu Kaivan disisa hidupnya ini. Sebenarnya Kaivan kesal. Posisinya saat itu dia dan Rachel sedang …- Hell! Dia dan Rachel baru berdamai karena masalah Tumbler. Dan dengan ilmu modus yang Kaivan kuasai, dia berhasil merayu Rachel ke atas ranjang. Tapi tiba-tiba saja William menghubunginya, mengabari jika Parah sedang dalam kondisi menyedihkan. Sejujurnya, Kaivan tidak percaya. Namun, Rachel memaksa agar dia kemari. "Akhirnya kamu datang, Cu--cucuku." Suara rinti dan lemah Parah mengalun. Wajahnya berkeriput dan sangat pucat, penampilannya begitu menyedihkan. Kaivan mendekati ranjang neneknya berbaring. Dia tak duduk di sana, hanya berdiri sembari menatap Parah yang berbaring lemah dengan bantuan alat-alat canggih dari dokter yang ditempelkan pada tubuh tu
"Dua puluh lima tahun berlalu baru kau datang untuk merebutnya dariku. Cih, kau pikir aku akan menyerahkan Jake padamu hanya karena kau Ayah kandungnya?!" geram Kaivan, saat ini telah kembali ke kediamanhya. Dia memilih menyelesaikan masalah ini di rumahnya daripada di kediaman Kendall yang masih berduka. Nick Holan, merupakan seorang ketua Gangster berbahaya di negara ini– seseorang yang dulunya pernah menjadi sugar Daddy Sarah (ibu kandung Jake). Menjanjikan segala kemewahan asal Sarah memuaskan hasratnya. Sayangnya, baru beberapa kali, perempuan itu menghilang. Dua tahun dia mencari Sarah, yang ternyata merupakan anak terakhir dari keluarga Kendall. Pantas saja sulit bagi Nick mencari tahu mengenai Sarah. Tapi, dia bertanya-tanya kenapa seorang perempuan dari keluarga Kendall mau menjual diri?! Hingga dia menemukan fakta jika Sarah menerima ketidak adilan dari ibunya sendiri karena fisiknya yang dinilai kurang cantik serta kemampuan akademiknya yang rendah. Fakta pahit yang Nick
"Tidak, Tuan Kaivan. Melihat bagaimana istrimu, ah maksudku melihat Nyonya Kendall memperlakukan Jake, itu membuatku yakin jika Jake mendapatkan kasih sayang di rumah ini." Nick berkata dengan lembut dan pelan, tatapan matanya memancar hangat dan wajahnya lebih memancarkan sinar kebahagiaan. Yang dia takutkan adalah Jake diperlakukan buruk di keluarga Kendall. Namun, melihat bagaimana Rachel berbicara dan bersikap pada putranya, itu membuat Nick merasa tersentuh serta terharu. Wanita muda itu menerima Jake sebagai putranya, memperlakukannya sama dengan anak kandungnya sendiri. Di matanya-- terpancar kasih sayang dan ketulusan yang mendalam. Padahal jika fakta berkata, Jake bukan siapa-siapa di sini. Jake bukan anak dari suaminya, hanya sepupu. "Usianya terlihat masih muda, dan kupikir meskipun dia istri Tuan, Nyonya tak akan bersedia dipanggil Mama oleh Jake. Mungkin-- Kakak, dan menang sudah seharusnya begitu. Mengingat Jake adalah sepupu suaminya. Namun … itu mengejutkanku. Dia be
"Pak Kaivan ingin menikahi sepupumu diam-diam kan? Yaudah, berani macam-macam denganku, minggat dari rumah ini," ucap Rachel marah, emosinya benar-benar meledak dengan raut muka tak bersahabat dan tatapan mata penuh kekecewaan bercampur gusar yang menyorot ke arah Kaivan. Sudah Rachel katakan sebelumnya. Jika sebelum satu rumah raksasa ini terbangun karena suaranya yang menggelegar di tengah malam ini, dia tak akan berhenti. Hansel diam-diam menarik koper yang tergeletak di lantai. Matanya membelalak sejenak saat menarik dan mengangkat koper– dia mengira koper ini kosong tetapi ternyata berat, berisi. 'Nyonya memang mengerikan jika sudah marah.' batin Hansel, sedikit menjauh untuk memberikan tempat antara Kaivan dan Rachel. Dia kira Rachel melempar koper kosong, karena itu terlihat gampang serta ringan. Ternyata koper berisi!"Kita masuk dan bicara di dalam." Kaivan menghela napas berat, berjalan mendekati Rachel lalu berniat mengajak istrinya tersebut untuk masuk secara bersamaa
"Dasar bodoh!" geram Kaivan marah. Cik, Rachel nekat pergi dari rumah ini– tengah malam begini. Dengan membawa putrinya yang masih menangis, Kaivan segera beranjak dari sana– menyusul istrinya yang berniat minggat dari sini. "Entah terbuat dari apa otaknya?! Tengah malam mencari masalah, marah tanpa ingin mendengarkan penjelasanku dan sekarang berniat kabur dariku. Benar-benar bodoh!" geram Kaivan, sepanjang berjalan menuju pintu utama rumah megah miliknya ini. ***Kaivan menghentikan mobil, buru-buru keluar dari dalam mobil untuk menghampiri istrinya– meninggalkan Dayana yang masih menangis dalam mobil. Ada tempat khusus bayi, dan Kaivan meletakkan putrinya di sana. Ada mainan, ASI pompa dalam botol dot, tetapi putrinya ini memilih menangis! Pawang Dayana hanya Rachel, dan putrinya ini hanya akan berhenti menangis jika sudah digendongan Rachel. "Stupid!" sarkas Kaivan sembari menarik pergelangan tangan Rachel dengan kuat, membuat Rachel yang tersentak berakhir menabrak dada bida
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny