"Dasar bodoh!" geram Kaivan marah. Cik, Rachel nekat pergi dari rumah ini– tengah malam begini. Dengan membawa putrinya yang masih menangis, Kaivan segera beranjak dari sana– menyusul istrinya yang berniat minggat dari sini. "Entah terbuat dari apa otaknya?! Tengah malam mencari masalah, marah tanpa ingin mendengarkan penjelasanku dan sekarang berniat kabur dariku. Benar-benar bodoh!" geram Kaivan, sepanjang berjalan menuju pintu utama rumah megah miliknya ini. ***Kaivan menghentikan mobil, buru-buru keluar dari dalam mobil untuk menghampiri istrinya– meninggalkan Dayana yang masih menangis dalam mobil. Ada tempat khusus bayi, dan Kaivan meletakkan putrinya di sana. Ada mainan, ASI pompa dalam botol dot, tetapi putrinya ini memilih menangis! Pawang Dayana hanya Rachel, dan putrinya ini hanya akan berhenti menangis jika sudah digendongan Rachel. "Stupid!" sarkas Kaivan sembari menarik pergelangan tangan Rachel dengan kuat, membuat Rachel yang tersentak berakhir menabrak dada bida
Setelah sampai di rumah, lebih tepatnya dalam kamar, Rachel memilih duduk di sopa– bersedekap sembari memperhatikan suaminya yang tengah membaringkan putri mereka dalam box bayi. "Tidurlah," titah Kaivan tiba-tiba, menoleh sekilas ke arah Rachel kemudian berjalan ke arah kamar mandi, "ini sudah malam dan kita bicara besok saja." "Ouh. Kalau begitu kenapa Mas membawaku kemari jika aku tidak mendapatkan apa yang aku harapkan?" tuntut Rachel, menatap datar ke pada suaminya yang memasuki kamar mandi. Wajahnya tanpa ekspresi tetapi hatinya hancur dalam sana. Kenapa Kaivan tidak jujur padanya? "Ichi, jangan keras kepala." Kaivan memijit pangkalan hidung, menatap lelah ke arah Rachel. Seharian ini Kaivan banyak masalah, entah neneknya yang meninggal dunia, ayah Jake yang tiba-tiba datang dan juga masalah kantor. Harusnya sebagai istri Rachel mengerti dengan kondisi Kaivan sekarang.Yah, Kaivan tahu dia salah dengan tidak jujur mengenai wasiat terakhir Neneknya. Tetapi bisakah mereka meny
"Kemari," ucapnya dengan nada dingin, menatap tajam ke arah Rachel yang membenahi pakaiannya– sengaja mengintimidasi Rachel agar perempuan tersebut tidak melawan dan patuh. "Ck," decak Rachel kesal dan dengan cemberut. Namun, walau begitu dia tetap mendekati Kaivan. Dia takut pada tatapan tajam pria itu. Kaivan menarik Rachel kemudian memaksa Rachel untuk berbaring dengan berbantalkan paha kanan Kaivan. Sedangkan di kaki paha kirinya ada putrinya yang minum susu dari dot bayi– mandiri dengan memegangnya sendiri. "Aku minta maaf, Sweetheart," ucap Kaivan, menatap teduh pada wajah cemberut Rachel sembari satu tangannya yang bebas membelai pinggiran wajah Rachel. "Yah, aku sempat goyah dan berpikir untuk menikahi Evelyn secara diam-diam. Karena itu permintaan terakhir Nenek padaku, dan selama dia hidup aku tidak pernah berbakti padanya. Sedangkan dia …- walaupun mengincar harta, tetapi dia menyayangiku juga. Aku berpikir bisa menyembunyikan Evelyn darimu dan-- sekalipun kau tahu, aku
"Namanya Naumi dan dia akan menjadi pengasuh untuk Dayana dan Danial, Mama," jawab Jake dengan nada lembut. Namun itu berhasil membuat Naumi membelalak dan spontan menatap pada wanita cantik tersebut. Apa?! Wanita cantik dan terlihat masih sangat muda ini adalah Mama dari Jake?! "Pengasuh?" beo Rachel sembari memperhatikan perempuan yang dibawa oleh putranya tersebut dari atas hingga bawah. "Memangnya … Danial setuju?" tanya Rachel kemudian sembari menatap ke arah Danial, di mana putra kecilnya tersebut terlihat mengacungkan pundak– lalu langsung berlari ke arah Papanya ketika melihat Kaivan muncul di sini. "Papa …," seru Danial dengan nada manja, langsung berhambur ke pelukan papanya. Di mana posisinya saat itu Kaivan tengah menggendong putri kecilnya, yang sudah rapi dan cantik dengan gaun berwarna pink susu. Kaivan meraih tubuh Danial dan menggendongnya; tangan kanan menggendong Danial dan tangan kiri menggendong Dayana. "Berapa ikan yang kau dapat dengan Kak Jake, hum?" tanya
"Ahhhh, Pak Kaivan. Tolong lebih cepat … a--aku aku suka …," rintihan nikmat Irisel, menganga ke atas dengan mata merem melek dan sesekali menggigit bibir bawahnya. Desahan tak henti-hentinya keluar dari bibirnya. Tok tok tokIrisel tergelonjak kaget, terbuyar dari lamunan gilanya dan spontan bangkit dari kursi kerja. 'Cik, siapa sih yang datang. Ganggu halusinasi orang saja!' batinnya sembari membuka pintu dengan raut muka jutek dan kesal. Namun, ketika melihat siapa yang datang, Irisel mengubah air mukanya dan buru-buru menerbitkan senyuman di bibir. "Se--selamat siang, Pak Hansel. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Irisel dengan gugup, kikuk ketika pria itu menatapnya walau hanya sekilas. Sejujurnya, saat pertama kali bekerja di sini, Irisel lebih dulu jatuh hati pada Hansel. Sebab pria ini tampan dan juga gagah. Namun, semuanya buyar ketika dia berhadapan langsung dengan Pak CEO di perusahaan ini. Kaivan bukan hanya tampan, tetapi berkarisma dan punya daya tarik yang kuat. Dia d
"Selamat datang, Nyonya Rachel." Rachel menoleh ke arah pramugari tersebut tersenyum simpul lalu mengangguk pelan. Dalam hati Rachel sebenarnya dongkol dengan Kaivan. Bagaimana tidak? Kaivan tadi malam merajuk hanya agar Rachel mau ikut dengannya. Kata Kaivan, jika bukan karena seminggu lebih di luar negeri, Kaivan juga tak akan memaksa begini. Namun, masalahnya anak mereka– Danial. Yeah, Danial tidak ikut karena harus bersekolah. Untungnya Danial setuju untuk tidak ikut dengan orang tuanya, setelah diiming-imingkan memancing ikan marlin oleh Jake. Rachel duduk di sebuah kursi yang terpisah dengan William. Karena tak mungkin dia duduk di sana, jadi Rachel memilih tempat lain. Kaivan duduk di depan Rachel, dan putrinya ia dudukan di sebelahnya. "Kau pemalas sekali, Sweetheart," gumam Kaivan pelan, menatap wajah cemberut dan ditekuk milih istrinya. Seperti sebelum-sebelumnya, Rachel kurang suka bepergian ke luar negeri. Apapun alasannya! "Aku memikirkan Danial, Mas," ucap Rachel pe
"Ini bekal untuk Tuan muda Danial, dan ini … ini bekal untuk Pak Jake," ucap Naumi sembari meletakkan kotak bekal sebelah masing-masing majikannya. Tak seperti biasa, Danial terlihat tak antusias dengan bekalnya karena itu bukan buatan Mamanya. Dia hanya melirik sekilas dan kembali fokus pada sarapannya. Sedangkan Jake, dia juga hanya melirik sekilas pada kotak bekal tersebut. Setelah menyelesaikan sarapannya, Danial memasukkan kotak bekal tersebut ke dalam tas. Lalu dia dan Kakaknya berangkat ke depan, di mana Naumi masih mengikuti karena dia juga ditugaskan untuk mengantar Danial ke depan. Katanya Nyonya-nya agar dia lebih muda dekat dengan Danial. Karena Danial suka dengan orang yang perhatian padanya dan selalu berada disekitarnya. Itu yang dikatakan Nyonya-nya."Oh, Naumi," panggil Jake tiba-tiba. Naumi yang masih di sana terlihat canggung dan gugup. Ingatannya terulang kembali pada kejadian tadi malam, di mana Jake memberikannya pakaian. Bukan hanya pakaian, tetapi juga und
Setelah satu minggu di negara orang, Kaivan dan Rachel kembali pulang. Sampainya di rumah, mereka langsung di oleh Jake dan Marc. Irisel juga pulang dengan mereka, perempuan itu sendiri yang meminta– dengan alasan jalan menuju komplek perumahannya sudah tak aman di jam malam seperti ini. Sering ada begal di tengah jalan. Rachel sendiri membolehkan karena dia malas jika harus mengantar Irisel ke sama, Rachel sudah sangat kelelahan dan mengantuk juga. Satu lagi, suaminya serta William mungkin juga sudah sama kelelahannya dengannya. Jadi kasihan jika Rachel harus menyuruh antara keduanya untuk mengantar Irisel ke rumah perempuan ini. "Mama …," pekik Danial ketika melihat Mamanya telah pulang. Dia berlari dengan semangat ke arah Rachel dan langsung melompat dalam pelukan Rachel. Rachel yang siap dan sudah lelah hampir saja jatuh terjungkal ke belakang saat Danial tiba-tiba melompat ke arahnya. Untungnya Kaivan yang berada di belakangnya dan sedang menggendong Dayana dapat menahan tub
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny