Ceklek' Rachel melirik takut ke arah pintu kamar. Dia bisa melihat Kaivan masuk ke dalam kamar ini dengan langkah santai namun penampilan yang cukup berantakan. "Dia kenapa?" gumam Rachel diam-diam melirik Kaivan. "Ah, jangan peduli, Chel, jangan peduli!" ucapnya kemudian, masih bergumam pelan~mensugesti dirinya agar tak peduli pada keadaan Kaivan. Lagi-lagi karena sangat gugup dan takut, Rachel memilih memainkan game bubble shoot di HP-nya. Dia berupaya tidak peduli pada Kaivan, meski hatinya terus khawatir pada pria itu. Dan … dia juga berupaya untuk melupakan pertengkarannya dengan pria ini. Itu mengerikan! Hampir saja Kaivan kembali mengasarinya. Hampir!Dug'Rachel melirik hati-hati. Deg deg deg.'Jantungnya langsung berpacu dengan cepat, matanya melotot ke arah layar Handphone dan jempolnya asalan menelan layar. Beberapa kali kalah, tetapi Rachel terus mengulang. Dia benar-benar gugup dan tremor, Kaivan tiba-tiba duduk disebelahnya. "Ini." Pria itu merampas handphone Rache
"Sepertinya aku memilih untuk mencari pekerjaan yang perhari gitu deh. Supaya aku bisa ngumpulin uang dua puluh jutanya. Kalau cari pekerjaan yang gaji perbulan, ada yang dua puluh juta tapi nggak langsung gitu ajah--baru kerja langsung digaji dua puluh juta. Ya kali." Rachel bermonolog sendiri, berjalan dengan langkah ringan di lorong rumah. Kali ini dia ingin mencari pekerjaan lagi. Dia termotivasi oleh ucapan Kaivan semalam. Entah kenapa, Rachel merasa Kaivan sedang mendukungnya. Namun pria itu melakukannya secara diam-diam dan tak langsung. Mungkin Kaivan ingin Rachel lebih tangguh, membuktikan diri jika Rachel layak dan lebih berani lagi. 'Mas Kaivan bilang aku bisa memilih untuk mengabaikan Nenek Tapasya atau mendengarkannya. Tapi aku ingin membuktikan diri pada Nenek Tapasya itu jika aku bisa menghasilkan uang sendiri dan tidak bergantung pada Mas Kaivan. Aku bisa mandiri, aku bukan matre. Apalagi beban di sini. Aku wanita hebat dan cerdas, bukan wanita bodoh seperti yang se
"Coba saja Pak Kaivan mencintaimu, aku pasti mendukungmu. Tetapi ini … sekalipun kamu bertahan, kamu nggak akan dapat apa-apa, Chel. Hinaan, caci dan makian yang akan kamu terima dari keluarga doi." Alsya kembali menasehati. "Cukup kita jadi badut ayam, Chel. Jadi badut kehidupan jangan." Rachel lagi-lagi menoleh ke arah Alsya. Dia menganggukkan kepala sembari kembali tersenyum manis. "Aku merasa aku semakin lemah.""Aku juga merasakannya. Kamu lebih banyak melamun." "Menurutmu aku harus bagaimana, Al? Di satu sisi kamu dan Kak Melisa menyuruhku mundur saja, sedangkan di satu sisi Pak Kaivan mengancamku jika berani meminta cerai."Mendengar itu, Alsya membelalak tak percaya. Dia menatap sepenuhnya pada Rachel, bahkan memegang tangan perempuan itu. Dia benar-benar kaget. "Pak Kaivan me--mengancammu?" Rachel menghela nafas. "Aku juga tidak tahu itu ancaman atau tidak. Tapi tadi malam aku mencoba meminta damai, cerai maksudku. Dan …-" Rachel memilih menggantungkan kalimatnya. "Pak K
"Dia siapa, Kaivan?"Kaivan menoleh sebelahnya, mendapati Claudia sudah berdiri di sana. Kaivan di dalam kamar nya, duduk merenung sembari menemani istrinya yang masih belum sadarkan diri. Mungkin karena terlalu larut dengan pikirannya sendiri, Kaivan tak menyadari jika sosok ini masuk dalam kamarnya dan kini berdiri di sebelah sisi ranjang~tepatnya di sebelah Kaivan. "Istrimu?" Claudia berkata lirih, menatap Kaivan dengan mata berkaca-kaca kemudian beralih menatap gadis cantik dan menarik tersebut dengan tatapan sayup dan sedih. "Humm." Kaivan berdehem sebagai jawaban. "Kau pulanglah," lanjutnya dengan nada datar, tanpa menoleh ke arah Claudia dan hanya menatap wajah Rachel yang masih pingsan. "Dia perempuan di pesta pernikahan Novan dan Ratih. Dia … duduk di depan kita saat itu, dan kau terus memandanginya. Aku pikir saat itu kau hanya berusaha membuatku cemburu karena itu kau melihat perempuan lain sedangkan aku di sebelahmu. Ternyata kau sedang melihat istrimu yang mengobrol d
"Ichi?" gumamnya pelan, kembali memutar ingatannya lagi. Maskot anak ayam kuning itu terus menatapnya, bahkan saat menari dan saat Claudia mengajaknya berfoto bersama. Lalu ketika maskot itu jatuh, dia juga sempat menatap ke arah Kaivan. Kemudian saat Kaivan membantunya, maskot itu buru-buru pergi masuk ke dalam restoran dan selama Kaivan di sana dengan Claudia, anak ayam kuning itu sering mencuri pandang padanya. Kaivan tahu itu! Alasannya karena orang yang dalam maskot tersebut adalah … istrinya?! ***Rachel membuka mata, bersamaan dengan satu bulir bulir kristal yang jatuh melalui ekor matanya. Sangat pedih! 'Kau mencintaiku kan?''Humm.'Rachel mengingat lagi percakapan antara Claudia dan suaminya tadi. Maid itu bilang Kaivan menutupi wajahnya karena dihina oleh mantannya dan karena ditinggal menikah juga. Tapi sebenarnya Claudia terpaksa menghina wajah Kaivan karena dia juga mengalami hal yang sama di pahanya. Pahanya terbakar, Papanya membawanya keluar negeri dan itu alasan
"Bos datang." Suara bising terdengar, bersama dengan para karyawan yang berbaris memanjang di depan kubikel paling depan untuk menyambut Kaivan dan rombongannya yang baru tiba di kantor. Mereka semua menunduk dan tak sada satupun yang bersuara. Hanya hening! Rachel yang memperhatikan di buat melongo tentunya. Jadi begini situasi pagi saat karyawan menyambut bos besar mereka? Ini bagian dari rutinitas atau sudah seperti tradisi? Mereka masuk ke sebutan lift dengan pintu berwarna gold, setelah masuk di sana Rachel melihat barulah para karyawan itu bubar--mengincar lift yang bersebelahan dengan lift yang Rachel dan suaminya gunakan ini. Setelah sampai di lantai yang mereka tuju, lagi-lagi Rachel dan Kaivan disambut. Kali ini disambut oleh tiga orang wanita berpakaian sangat formal dan juga dua laki-laki mengenakan jas hitam yang rapi. Kelima orang ini sama-sama mengenakan ID card."Selamat pagi, Pak Kaivan." Kelimanya membungkuk hormat saat Kaivan melangkah. Kaivan tak menjawab, b
"Kau yakin ingin aku bersikap profesional padamu, Humm?"Rachel seketika terdiam dan langsung mempertimbangkan. 'Aku kan dodol. Lambat nangkap, cuma tahu main dan becanda. Aku salju alias salah jurusan. Passion di art, bukan di bisnis dan manajemen. Fakultas Ekonomi? Preet … itu cuma gaya-gayaan karena waktu jaman aku lulus SMA lagi nge-trennya ambil tuh Fakultas. Aku dan dua begundal itu kemakan sama motivator bangsat yang pernah seminar di sekolah. Anjay! Kalau Mas Kaivan beneran Profesional ke aku, pulang-pulang dari sini langsung jadi gulai kambing aku.' batin Rachel yang sudah memucat dengan wajah tegang dan pias~seperti seseorang melihat hantu. Tak sampai di sana, Rachel juga membayangkan betapa gilanya dia jika Kaivan bersikap profesional padanya. 'Laporan macam apa ini? Selama kuliah kau belajar apa saja? Membuat laporan yang benar saja tidak becus.' 'Terlambat mengantar laporan. Mana disiplinmu?! Kau tahu itu laporan penting, hah?!''Ini salah, ini juga salah. Salah salah
"Ka--Kaivan?" Rachel tersadar dari ciuman memabukkan Kaivan, wajahnya sontak memerah malu dengan spontan berdiri dari pangkuan Kaivan. Dia membelakangi Kaivan dan juga perempuan yang baru masuk ke ruangan suaminya ini, mengusap bibirnya dengan air muka meringis dan tak enak. Kepergok itu sangat memalukan! Beda dengan Rachel, Kaivan terlihat biasa saja. Malah terkesan marah dan kesal. Kaivan menatap perempuan tersebut dengan raut tak bersahabat, alisnya menekuk tajam dengan tatapan dingin serta tampang yang sangat flat. "Kau tidak bisa mengetuk pintu sebelum masuk?" kesal Kaivan dengan nada berdesis dan mengeram. "Ini aku, Claudia." Perempuan itu berusaha tersenyum walau rasanya sakit dan cemburu ketika melihat Kaivan berciuman panas dengan perempuan lain. "Kau pernah bilang padaku jika aku bebas masuk ke ruanganmu, tak perlu izin atau mengetuk pintu, Kai," ucap Claudia dengan nada lembut dan manis, sengaja agar membuat perempuan yang belum ia tahu siapa itu merasa panas dan tah
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny