“Lepaskan mereka!” perintah Kakek Zed.Para pengawal segera melepaskan belenggu Zakki, Sean, Roni, dan Joanna.“Kalian semua bersekongkol,” kata Kakek Zed sambil menggoyang-goyang gelas minumannya yang berisi air putih. “Pilih hukuman kalian.”“Kakek, apa kesalahan kami?” jerit Joanna. “Kami tak salah apa-apa, malah dihukum!” Sean masih nekat mengajukan protes.Mata tua Zed Devandra semakin dingin, seakan-akan ada butiran es yang keluar dari sana dengan kekuatan membekukan. Bambang diam-diam merinding. Ia berharap istri dan anak-anaknya tak bersuara, karena ia mengerti arti tatapan tersebut. Tiba-tiba rasa sesal menguasai hatinya. Kenapa ia sampai lupa kalau Zed bukan orang yang mudah dimanipulasi? Zed adalah lelaki jenius yang licik. Jika tidak, mana mungkin orang tua itu berhasil merintis Healthy Light, mengembangkannya hingga menjadi perusahaan multinasional, dan mempertahankan kekuasaannya selama puluhan tahun. Bambang telah menyenggol sarang lebah. “Bambang, kamu juga engg
Dentang satu kali terdengar dari jam dinding klasik yang terpajang di dinding tengah ruang tamu. Menandakan malam telah beranjak semakin larut ke pukul 01.00 WIB.Prisha serasa ingin bertepuk tangan saking salutnya menyaksikan kepiawaian Kakek Zed mengatasi masalah. Hanya dalam tempo satu jam, orang nomor satu di kerajaan bisnis Healthy Light itu, berhasil membalik keadaan.Pak Bambang sekeluarga serta para sepupu Gavin tak mampu berkutik lagi ketika bukti-bukti dibeberkan oleh orang-orang Kakek Zed.“Gimana? Kalian menyerah sekarang?” tanya Kakek Zed, dingin. “Bagaimana caranya? Cara Abang dapatkan bukti-bukti itu?” Bambang tak kuasa menahan penasaran. Akhirnya secara tak langsung, ia mengakui kebohongannya. Terdengar pekikan kecewa dari mulut Shazia. Gadis itu menutupi muka, saking malunya. “Ayaah, Zia nggak relaa dibeginikan. Zia udah mengorbankan diri seperti ini. Pokoknya Zia harus nikah ama Mas Gavin!” tangis gadis itu.Joanna yang ada di sebelahnya, refleks meringis jijik. T
Gavin dan Prisha pulang ke rumah ketika jam telah menunjukkan pukul 01.30. Ariana menginap di mansion kakek. Setibanya di rumah, Prisha langsung ke ruang makan. Ia duduk di depan meja, mengambil dua gelas kaca setinggi satu kilan. Ia menampung segelas air putih dari dispenser. Bukannya diminum, air dari gelas pertama malah ia tuangkan ke gelas kedua. Selanjutnya, air di gelas kedua, dikembalikan lagi ke gelas pertama. Begitu terus berulang kali. Percikan air membasahi meja di depannya. Gavin menarik bangku, ikut duduk di samping Prisha. Ia hanya diam memperhatikan sang istri. Bibir mungil gadis itu mengerucut. Terlihat lucu di mata Gavin.Tiba-tiba Prisha menghentikan aktivitasnya. Wajah yang sangat cantik terlihat muram. Mata kehijauannya berkilau-kilau memancarkan api kemarahan. Gavin terpesona sekaligus merinding. Apa yang dipikirkan istri imutnya ini?Prisha sekonyong-konyong mencengkeram gelasnya sekuat tenaga. Ia kelihatan ingin sekali meremukkan gelas tersebut dengan tangann
“Packing barang sekarang? Kamu serius tetap pergi?” Gavin baru selesai berganti pakaian. Outfit-nya saat itu berupa jas cokelat berpadu kemeja putih dengan dasi cokelat bergaris hitam. Sebagai anak tunggal yang terabaikan, ia cukup mandiri menyiapkan keperluan pribadi. Selain itu, pantang baginya dilayani asisten rumah tangga wanita, selain urusan beres-beres rumah dan masak.Prisha menghentikan gerakan. Tatapannya menerawang ke langit biru cerah di luar jendela. “Keputusan Sha udah final.”“Belum setahun kita menikah, kamu sudah bersikap begini. Sukar dipercaya.”Bening mata kehijauan Prisha bergulir ke arah Gavin. Sinarnya redup. “Sha masih sukar menerima kenyataan. Mami dan Nenek terbunuh akibat ambisi kekuasaan keluargamu. Nggak mudah bagi Sha berada di sisi Pak Dok.”Tatapan Gavin menjadi nanar. Dadanya sesak oleh penyesalan. “Bisakah kamu hanya memandangku?”Prisha menggeleng.“Kenapa, Sha?”Dengan wajah letih, Prisha menatap suaminya. “Pak Dok, Sha udah jelasin berulang kal
“Gavin, kamu mungkin sulit percaya. Tapi kami benar-benar tulus menjodohkan kalian. Tak ada maksud tersembunyi.” Nenek Diana menengahi. “Aku dan kakekmu sudah tua. Kami sudah ke tanah suci. Berhaji dan umroh. Di usia senja ini, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kami di masa lalu. Kami juga ingin menanti kematian dengan tenang. Tak hendak meninggalkan kemelut di belakang kami.Kami tak ingin melakukan kesalahan lagi. Dulu, menjodohkan anak, semata demi kepentingan bisnis. Sekarang, kami ingin kamu, Vin, berjodoh dengan wanita yang kami ketahui kepribadiannya. Bukan asal usulnya. Yang membuat kami condong pada Prisha adalah mental bajanya. Prisha kebal di-bully, juga memiliki bakat menilai situasi. Kami sangat berterima kasih pada Sarah. Dia mendidik Prisha dengan sangat baik. Aku pun berutang budi atas pertolongan Sarah waktu itu,” tutur Nenek Diana.“Artinya, kami tak sembarangan menjodohkan kalian,” timpal Kakek Zed. Meskipun sedih dan berduka mendengar kisah Kakek Zed dan Nenek Dia
“Gavin, ayo kita berangkat ke kantor pusat!” Kakek Zed bangkit berdiri. “Adakan rapat dewan direksi dan komisaris!”Gavin bergegas menghubungi sekretarisnya di kantor agar mengumumkan rapat mendadak, supaya semua orang berkumpul begitu ia dan Zed tiba.Semua orang di ruangan itu terlihat tegang. Termasuk beberapa asisten rumah tangga yang bertugas melayani kegiatan sarapan keluarga sultan. Jika terjadi apa-apa pada perusahaan, mereka akan ikut terimbas, bukan?Asisten pribadi Zed berlari-lari mengambilkan pakaian kantor. Kakek Zed berganti baju dengan cepat di ruang rehat yang terletak dekat ruang makan. Nenek Diana juga dibantu asisten rumah tangga wanita untuk mengganti baju rumahannya dengan outfit formal. Mereka berangkat tergesa-gesa, sampai lupa mengajak Prisha. Gadis itu sendiri memilih bergeming, tidak berinisiatif ikut. CEO baru Healthy Light telah terpilih, buat apa ia hadir lagi? Meskipun dirinya investor terbesar dan menjadi bagian dari dewan komisaris, Prisha merasa si
“Gue nggak kabur. Gue mau pergi terang-terangan, kok. Gue udah yakin, nih.” Prisha menepuk-nepuk kopernya. “Para penjaga nggak bakalan berani halangin gue.”“Soal saham lo gimana?” tanya Keyko.“Keuangan Healthy Light sedang merosot. Kayaknya gue bakal rugi besar, nih. Nggak ada artinya gue narik saham. Mending gue ikhlasin.” Prisha mengedikkan bahunya.Keyko melebarkan mata. “Serugi-ruginya, itu 40% loh, Sha. Healthy Light itu labanya trilyunan per bulan. Asetnya nggak terukur. Kata bapak gue, perusahaan itu salah satu raksasa Asia. Nggak mungkin bangkrut dengan mudah.”“Back to my problem. Gue nggak peduli lagi soal Healthy Light and Devandra’s family. Saham itu mau gue lepasin aja. Toh, gue masih rutin dapet nafkah dari Pak Dok.”Keyko dan Hana sama-sama memonyongkan bibir. “Huu, azas manfaat lo,” dengkus Keyko.“Kewajiban dia, kok,” sahut Prisha, cuek.“Sekilas kayaknya nggak adil buat Pak Dok. Dia nafkahin lo, tapi lo minta break. Tapi gue paham perasaan lo. Nggak bisa dipaksain
Prisha tiba di kampung menjelang Maghrib. Langit tampak kelabu mendekati ungu dengan garis jingga membara menyerupai naga yang menyemburkan api. Hati Prisha rawan hingga meneteskan air mata kala membuka pintu rumah almarhum neneknya. Kenangan indah masa kecil bersama nenek seketika menyerbu hatinya.Seorang tetangga sebelah rumah yang kebetulan keluar dan melihat Prisha, segera menyambut dengan wajah semringah. “Masya Allah, Neng Prisha .... eleuh eleuh lama nggak ketemu. Mau ziarah, ya, Neng?”Prisha menyalami tetangga tersebut. Namanya Bik Imas. Wanita berusia lima puluh tahun itu dulu kerap membantu-bantu mendiang Nenek Sarah berjualan di warung. Bik Imaslah yang rajin membersihkan rumah Nenek Sarah saat Prisha tidak ada.“Gimana kabarnya, Bik? Damang (sehat)?” “Alhamdulillah, Neng. Kabar Eneng juga gimana? Kok, datang sendirian?”“Suami sibuk kerja di kota, Bik. Sha mau magang di sini.”“Wah yang bener? Kami seneng banget ada dokter di kampung ini.” Mata Bik Imas berbinar-binar