“Gue nggak kabur. Gue mau pergi terang-terangan, kok. Gue udah yakin, nih.” Prisha menepuk-nepuk kopernya. “Para penjaga nggak bakalan berani halangin gue.”“Soal saham lo gimana?” tanya Keyko.“Keuangan Healthy Light sedang merosot. Kayaknya gue bakal rugi besar, nih. Nggak ada artinya gue narik saham. Mending gue ikhlasin.” Prisha mengedikkan bahunya.Keyko melebarkan mata. “Serugi-ruginya, itu 40% loh, Sha. Healthy Light itu labanya trilyunan per bulan. Asetnya nggak terukur. Kata bapak gue, perusahaan itu salah satu raksasa Asia. Nggak mungkin bangkrut dengan mudah.”“Back to my problem. Gue nggak peduli lagi soal Healthy Light and Devandra’s family. Saham itu mau gue lepasin aja. Toh, gue masih rutin dapet nafkah dari Pak Dok.”Keyko dan Hana sama-sama memonyongkan bibir. “Huu, azas manfaat lo,” dengkus Keyko.“Kewajiban dia, kok,” sahut Prisha, cuek.“Sekilas kayaknya nggak adil buat Pak Dok. Dia nafkahin lo, tapi lo minta break. Tapi gue paham perasaan lo. Nggak bisa dipaksain
Prisha tiba di kampung menjelang Maghrib. Langit tampak kelabu mendekati ungu dengan garis jingga membara menyerupai naga yang menyemburkan api. Hati Prisha rawan hingga meneteskan air mata kala membuka pintu rumah almarhum neneknya. Kenangan indah masa kecil bersama nenek seketika menyerbu hatinya.Seorang tetangga sebelah rumah yang kebetulan keluar dan melihat Prisha, segera menyambut dengan wajah semringah. “Masya Allah, Neng Prisha .... eleuh eleuh lama nggak ketemu. Mau ziarah, ya, Neng?”Prisha menyalami tetangga tersebut. Namanya Bik Imas. Wanita berusia lima puluh tahun itu dulu kerap membantu-bantu mendiang Nenek Sarah berjualan di warung. Bik Imaslah yang rajin membersihkan rumah Nenek Sarah saat Prisha tidak ada.“Gimana kabarnya, Bik? Damang (sehat)?” “Alhamdulillah, Neng. Kabar Eneng juga gimana? Kok, datang sendirian?”“Suami sibuk kerja di kota, Bik. Sha mau magang di sini.”“Wah yang bener? Kami seneng banget ada dokter di kampung ini.” Mata Bik Imas berbinar-binar
Dokter Salman membebaskan Prisha untuk membuat jadwal rotasinya sendiri. Prisha menolak privilege tersebut karena khawatir mendapatkan sorotan dari seluruh nakes dan karyawan rumah sakit. Ia meminta Dokter Salman untuk merahasiakan status dirinya sebagai istri CEO Healthy Light Corporation. Nama Gavin Devandra sudah terkenal skala nasional dan sangat disegani oleh para dokter. Jika status Prisha terbongkar, mungkin dokter-dokter dan paramedis di rumah sakit Niskala akan segan dan mengistimewakannya. Prisha tidak mau memanfaatkan statusnya. Ia ingin merasakan berjuang dari nol agar lebih menjiwai pengabdian sebagai dokter.Akhirnya, Dokter Salman menginstruksikan kepada kepala diklat dan kepala pelayanan bidang keperawatan, untuk menyusunkan jadwal magang Prisha selama enam bulan. Awalnya mereka keberatan ikut membimbing karena rumah sakit mereka bukan rumah sakit pendidikan. Mereka juga tidak menjalin kerja sama dengan kampus kedokteran. Namun, keberatan mereka sirna ketika kepala
Prisha tak habis pikir. Kenapa ada manusia-manusia yang tega melakukan kekerasan atau berbuat licik seperti ayah tiri Ramona, Om Danu, Om Reno, atau Mama Karina. Apakah mereka puas setelah menyakiti orang lain?Meski mengerti, hukumannya terhadap ayah tiri Ramona, itu tidak sesuai hukum positif, Prisha mengabaikan rasa bersalahnya. Sepertinya ia sudah tertular cara-cara keluarga Devandra yang lebih suka menggunakan jalan belakang. Lebih praktis dan memuaskan. Lewat cara legal sebenarnya bisa, tapi urusannya jadi panjang dan terekspos publik.Prisha menghela napas panjang sambil mengeluarkan alat-alat medis dari autoclave. Autoclave fungsinya sebagai sterilisator basah. Dengan tekanan uap yang tinggi, benda itu mampu jadi alat yang membunuh bakteri, virus, jamur, dan spora. “Hei, adek koas!” Tiba-tiba Dokter Rosana muncul dengan gaya angkuhnya. “Bersihkan luka pasienku, trus konsulkan ke spesialis bedah!”Para perawat IGD saling melirik, lalu diam-diam saling melempar tersenyum miring
Hati Prisha bergetar. Ia memang sudah telat menstruasi sekitar dua bulan, tapi siklus haidnya memang kurang teratur. Jadi ia tak pernah memprediksi kemungkinan hamil. Perasaannya jadi campur aduk, antara takjub, tak percaya, bahagia, bercampur bingung.“Kamu pingsan cukup lama. Saya jadi cemas. Sepertinya kamu syok. Ternyata setelah diperiksa tekanan darahmu memang anjlok, hanya 80/50. Abis digrojok infus setengah kolf, alhamdulillah tensimu stabil ....” tutur Dokter Salman.Prisha mengangkat tangan kirinya dan baru sadar kalau di situ terpasang infus. Kanula oksigen juga menempel di hidungnya. Ada manset tensimeter di lengan kanan atas dan alat saturasi oksigen pada ibu jari kirinya. Semua kabel terhubung pada alat monitor yang menampilkan gelombang EKG.Aroma wangi khas desinfektan yang segar, memenuhi udara di ruangan bercat putih-putih. Ternyata dirinya berada di ruangan ICU. Ia seperti pasien kritis saja. Dokter Salman sungguh berlebihan merawatnya.Ada perawat dan bidan menemani
Dokter Haris menjenguk ke luar IGD beserta tim medis lainnya ketika mendengar desing helikopter. Mereka terperangah menyaksikan fasilitas moda udara milik DIMS Hospital. Di negeri itu, tak sampai lima jari IGD rumah sakit yang memiliki helikopter untuk evakuasi pasien. Sementara Dokter Rosana yang baru saja selesai memeriksa pasien di poli penyakit dalam, melihat paramedis dan staf karyawan seperti berlomba-lomba lari keluar. Wajah mereka penasaran. Dokter Rosana jadi ikut kepo.“Ada apa?” Ia bertanya pada asistennya di poli. Perawat asisten membuka layar ponsel untuk mengakses media sosial. Notifikasi chat grup WA perawat Rumah Sakit Niskala berdentingan tiada putusnya. Ternyata rumah sakit gempar karena kedatangan ahli waris Healthy Light Corporation. Perusahaan itu bergerak di bidang bisnis industri kesehatan dan membawahi puluhan rumah sakit besar tipe A berskala internasional. Pemiliknya adalah keluarga Devandra yang terkenal sebagai milyarder Asia.Walau CEO Healthy Light han
Helikopter turun di helipad di atap bangunan rumah sakit DIMS yang luas. Gavin melonggarkan dekapannya, tapi bukan untuk membiarkan Prisha bebas bergerak dan keluar sendiri dari helikopter. Melainkan untuk mengubah posisi tangannya. Ia mengulurkan tangannya yang kuat, menyelipkannya di bawah lutut dan punggung Prisha. Lantas, dibawanya sang istri keluar dari helikopter, terus menuju lift yang tersedia di atap yang jadi landasan helikopter itu.Beberapa dokter dan perawat terlihat menyambut mereka dengan brankar. Namun, Gavin mengabaikan brankar tersebut. Ia memasuki lift. Langkahnya disusul tergesa-gesa oleh dua orang dokter spesialis kandungan wanita.Prisha benar-benar malu dan tak berdaya ketika tubuhnya digendong seperti bayi. Melihat ekspresi cemas Gavin, Prisha tak tega meronta turun. Akhirnya demi menghindari sorotan orang, ia menyembunyikan muka ke dada suami.Sesampainya di lantai dasar, Gavin memasuki ruang pemeriksaan kandungan. Dua dokter spesialis kandungan wanita dan ti
“Kamu meninggalkanku begitu saja. Tidak minta izin. Nomorku diblokir. Apakah kamu begitu membenciku?” Gavin memperlihatkan wajah sedih. Di jok mobil bagian belakang mobil, ia menyurukkan muka ke leher istrinya yang tertutup kerudung. Menghidu wangi khas Prisha membuatnya tenang. “Sha masih dibayangi trauma. Maafkan Sha. Sha hanya butuh waktu merenung dan membuat rencana terbaik agar kuat di sisi Pak Dok.”“Bahkan kamu belum ikhlas mengganti panggilan pak dok itu.”Prisha menatap heran. Mengapa dokter idolanya itu meributkan hal receh semacam panggilan? Kemana karakter dingin dan arogan yang kerap diperlihatkan Gavin. Gavin selalu tampak sulit didekati. Tapi sekarang, lelaki itu tak lebih dari kucing manja yang hobi mengendus-ngendus.“Kita akan punya anak,” bisik Gavin. Nada suaranya dipenuhi kehangatan lembut. “Hentikan sikap kekanak-kanakan itu.”Bergetar hati Prisha. Ia ikut meraba perut. Kebahagiaan dan kehangatan mengaliri dadanya. Meskipun ia belum menyiapkan diri untuk hamil,