["Happy birthday, Amelia. Sehat-sehat ya, kamu dan Gabriele."]Dada Amelia terasa sesak membaca pesan dan foto bunga mawar di direct message. Amelia menelan salivanya berat. Perhatian kecil dari Inno seolah kembali merobek lukanya yang masih basah.Wanita itu mengabaikannya begitu saja. Dia memang tidak memblokir akun sosial media mantan suaminya itu. Karena dia tahu, Inno sangat jarang menggunakan aplikasi tersebut.Hanya ucapan itu saja. Tidak ada pesan lanjutan dari Inno. Amelia kembali meletakkan handphone ke tempat semula. Dia juga tidak berniat membalasnya. Perhatian Amelia lantas tertuju pada Gabriele yang tidur di depannya.Amelia mengangkat pelan lengan mungil Gabriele yang berada di atas dahi. Namun, refleks bayi itu kembali memposisikan lengannya di situ."Nak, nanti tangannya pegel. Jangan gitu," bisik Amelia.Bukan itu alasannya. Akan tetapi, cara tidur Gabriele juga mirip dengan Inno. Semakin besar, bayi itu justru semakin banyak memiliki kemiripan dengan papanya. Menja
["Buang mimpimu jauh-jauh, Her!"]["Nggak akan ada ayah sambung untuk anakku."]["Sialan, kamu Her. Mirip banget sama ibu tukang ghibah. Shit!"]Heri cengengesan membaca pesan beruntun dari Inno. Laki-laki itu juga tidak berniat untuk membalasnya. Semenjak mengetahui Inno mengkhianati Amelia, terlebih membiarkan Amelia pulang ke Indonesia hanya dengan Gabriele, Heri ikut marah pada sahabatnya itu."Nggak usah cari perkara, Her. Aku yakin, hati Amelia nggak secepat itu terbuka untuk orang lain," ucap Evan lirih.Heri melirik sekilas sahabatnya itu. "Kamu ngomong gitu bukan karena cemburu kan, Van? Aku juga yakin hati kamu nggak secepat itu melupakan Amelia. Apalagi dia sekarang sudah free. Aku hanya ingin melihat Amelia bahagia, Van!" sahut Heri tanpa basa-basi.Evan mendengus keras. Dirinya tidak munafik. Rasa cinta untuk Amelia itu masih ada meskipun dirinya sudah menikahi Haznia. Namun, Evan terus berusaha mengubur rasa itu, seperti halnya dulu ketika Amelia masih bahagia dengan Inn
Amelia tersentak. Dia menatap Haznia dalam, lalu tertawa. Apa yang baru saja diutarakan adik sepupunya itu sangat menggelikan. Tidak. Amelia tidak percaya jika Evan mencintainya. Laki-laki itu sahabat baiknya Inno. Meskipun dulu Amelia sempat mendengar desas-desus mengenai cinta segitiga setelah dirinya koma, wanita itu selalu menyanggahnya. Apalagi Inno dan Heri juga sudah menjelaskan jika semua itu hanya persepsi orang-orang saja.Kalaupun hal itu benar, Evan sekarang adalah adik iparnya. Mana mungkin Amelia akan menerima pinangan konyol itu? Lagipula, hatinya belum siap untuk memulai kisah baru.Amelia masih trauma akan cinta yang terasa indah, namun pada akhirnya menghempaskan ke dasar bumi.Dia tidak ingin mengalami sakit yang sama lagi."Mbak, kok malah ketawa, sih?" tanya Haznia cemberut.Amelia mengusap kepala Gabriele yang lumayan anteng di pangkuannya. Biasanya, bayi itu merangkak, merambat, dan tertatih ke sana kemari. Gabriele menjerit ketika Amelia menarik pelan telinga
Treviso, 25 Mei pukul 19.10 waktu Italia.Pesta pernikahan bertema outdoor itu begitu meriah. Daniela yang berdiri di samping pria bertuxedo abu-abu, tidak berhenti menyunggingkan senyum. Laki-laki tampan itu memang sangat serasi dengan Daniela yang cantik. Keduanya tampak begitu bahagia, bahkan sesekali saling berbalas ciuman.Setelah acara pemberkatan pernikahan sore hari, dilanjutkan resepsi yang mengundang ratusan undangan. Di antara undangan penting itu beberapa orang dari Morelli's dan Il Giorno Group.Suasana sunset mengiringi pesta romantis tersebut yang bertepatan dengan musim panas. Celia melirik handphonenya yang bergetar. Wanita cantik itu segera pamit walaupun pesta belum usai. Sedangkan Matteo sudah pulang lebih dahulu.Celia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke kota Venezia. Gadis itu ingat jika malam ini anak buah Michelle Daniel akan memasuki pelabuhan Trieste."Oh, God!" pekik Celia ketika melihat sebuah truck tangki melintang di tengah jalan beradu d
Leonardo mengangguk patuh. Di sebelahnya, Michelle Daniel tertawa puas. Mengecoh pihak kepolisian masih menjadi keahliannya. Bagi seorang Michelle Daniel, banyak jalan menghancurkan Morelli's Group."Your idea is perfect, Leo!" puji Michelle Daniel pada pengawal kesayangannya itu. Iya, semua itu adalah ide briliant dari Leonardo Campani.Dua puluh kilogram bubuk kokain akan dimasukkan ke dalam mesin-mesin pencampur bahan utama es krim. Yang lebih menggembirakan dari aksi itu, Michelle Daniel akan membiarkan Celia Morelli menyaksikan hal tersebut.Setelahnya, Morelli's Group tidak akan lolos lagi dari jeratan hukum. Sangat menyenangkan melihat musuh besarnya itu mendekam di penjara bersama cucu-cucunya. Michelle Daniel juga semakin leluasa memperluas jaringan bisnis ilegalnya di Italia.Dia juga bisa menyingkirkan keturunan Agosto Morelli menjadi tak tersisa dengan mudah. Leonardo, pria 35 tahunan itu kembali mengangguk patuh. Dia tidak pernah membantah perintah Michelle Daniel selama
"Arghh, Allahu Akbar!" Inno merintih menahan sakit akibat dua tembakan di bahu dan lengan atasnya. Celia tersentak kaget. Inno menatap ke arah Michelle Daniel. Bos mafia itu tersenyum puas melihat anak dari musuh besarnya itu tersungkur.Dengan gerakan lemah, Inno mengarahkan pistol yang masih di tangan pada Michelle Daniel. Menyadari dalam bahaya, Michelle Daniel tidak tinggal diam. Dia hendak kembali melepaskan tembakan untuk mengakhiri hidup Inno. Namun, sebuah tembakan dari Inno, Leonardo, dan seorang polisi, lebih dahulu mengenai kepala serta dada Michelle Daniel.Akibat berondongan peluru itu, bos mafia tersebut tersungkur dan tak bergerak lagi. Tanggal 26 Mei jam 4 pagi, langkah Michelle Daniel benar-benar terhenti. Di tempatnya, Inno tersenyum samar. Dia bahagia karena bisa membalas kematian papanya dengan tangannya sendiri. Bayangan wajah lucu Gabriele dan Amelia bergantian menari di pelupuk mata."Aku mencintai kalian," bisik laki-laki itu. "Allahu Akbar, Allahu Akbar," uca
Evan tidak bisa menjawab. Dia tidak ikhlas jika melihat Amelia bersama pria lain, selain Inno. Tetapi menikahi Amelia? Bukankah itu sama saja berkhianat?Laki-laki itu mendongak dengan mata terpejam. Berkali-kali dia menarik napas panjang kemudian kembali menunduk menatap Haznia. Lagi-lagi istrinya itu mengangguk menyakinkan."Sayang, apa kamu tahu kalau berbagi itu butuh keikhlasan? Kalau kamu nggak ikhlas, itu sama saja menjerumuskan aku pada dosa. Aku takut nggak bisa berbuat adil, Haznia. Tolong jangan lakukan ini," ucap Evan lirih.Haznia menyingkirkan tangan Evan dari wajahnya. Wanita itu merebahkan tubuh di samping Evan dan menutupnya dengan selimut sampai batas leher."Kalau aku nggak ikhlas, aku nggak akan nyuruh Mas Evan. Kalau aku nggak sayang Mbak Amelia dan Gabriele, aku nggak akan lakukan ini. Mas pasti bisa berbuat adil. Kan kita tinggal tetap berdekatan nggak beda rumah!" Evan memeluk Haznia dari belakang. "Kita pikirkan hal ini matang-matang. Pernikahan itu bukan mai
Amelia tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangan dari laki-laki yang berdiri di sampingnya itu. Melihat sikap diam Amelia, Danu berdehem lirih. "Saya mengerti, Mbak," ucap Danu sembari tersenyum."Em, Mas. Saya harus tanya dulu sama Umi," jawab Amelia lirih.Sekali lagi, Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu kembali tersenyum. "Tentu, Mbak. Saya tunggu jawabannya. Saya pulang dulu, assalamualaikum!" pamitnya.Amelia mengangguk dan menjawab pelan, "Waalaikumsalam warrahmahtullah." Dia menatap punggung Danu yang melangkah keluar dari butik.Tidak lama berselang, Ambar kembali muncul. Gadis itu menatap Amelia dan melongokkan kepala menatap ke tempat parkir. Di sana, tubuh tegap Danu sudah menghilang di balik pintu mobil."Kamu jawab apa, Mel?" tanya Ambar penasaran.Amelia mengangkat bahunya sekilas. "Aku tanya dulu sama Umi, Mbar. Kalau Umi nggak bisa, ya aku nggak datang. Orang sepertiku serba salah, Mbar. Baru setahun jadi janda, masa iya, sudah dekat sama lelaki!" ucapnya sembari
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak