"Bunda. Sudah lama Bunda di sini?"Bunda Theodora dan Doni termangu menatap laki-laki yang melangkah cepat ke arah mereka. Laki-laki itu perwujudan Isco dalam raga lain. Nyaris tidak berbeda. Yang membedakan, Isco lebih tinggi dan berkacamata. Evan tersenyum canggung. Laki-laki itu kemudian meraih tangan Bunda Theodora dan menciumnya dengan takzim. Lalu, dia merangkul bahu Doni."Astaga, Isco benar. Kalian begitu identik, Nak. Terima kasih Evan, sudah memanggil Bunda. Bagaimana keadaan Amelia?" Evan mengangguk samar, kemudian duduk di samping pusara sang saudara kembar. Evan meletakkan serangkai bunga mawar putih dan berdo'a untuk adik kembarnya."Bunda bisa menemui aku kapan saja. Bunda dan Mas Doni kalau ada waktu. Amelia sekarang sudah sehat."Doni dan Bunda Theodora tersenyum samar. Doni diam-diam mengamati Evan. Laki-laki itu juga merasa bersalah karena justru mendukung Isco, bukan berusaha mendamaikan.Evan menepuk pelan bahu Doni dan tidak ingin mengungkit semua kesalahan Isc
"Mas, tolong jelasin. Maksudnya apaan? Apa yang terjadi selama aku koma?" tanya Amelia beruntun.Inno melirik ibunya, kemudian mendesah pelan. "Nggak apa-apa, Sayang. Salah paham saja. Ya, sudah. Gimana nih, Gabriele kita ajak atau di rumah saja?" tanya lelaki itu meminta persetujuan ibu dan istrinya."Biar dia di rumah. Kalian nggak lama, kan?" jawab Bu Rini cepat sambil mengusap-usap kepala cucunya."Cuma ke makam Rianti dan Isco saja, Bu!" jawab Inno sembari menciumi pipi chubby anaknya.Gabriele langsung tertawa kegelian. Bayi itu memberontak. Kedua tangan mungilnya mendorong-dorong wajah papanya. Inno merasa gemas sendiri setiap kali dekat dengan si kecil.Amelia memilih diam. Begitu tiba di depan rumah, ternyata Heri sudah menunggu mereka. Inno dan Amelia segera pamit. "Bye-bye Papa, Mama, Om Heri!"Bu Rini melambaikan tangan mungil Gabriele ke arah mobil Heri. Inno memperhatikan Amelia yang hanya diam sembari menatap ke arah luar kaca mobil. Merasa diperhatikan, Amelia langsun
"Bunga, benarkah kamu di situ, Sayang?"Amelia tersenyum lebar dengan pandangan fokus ke arah samping Evan. Inno langsung menatap istrinya, lalu mengikuti arah pandangan Amelia. Begitu juga dengan Heri.Bunga yang merasa diperhatikan terlonjak bahagia. Dia menepuk-nepuk lengan Evan yang membuat Evan terkekeh pelan sembari memegangi tubuh kecil sang anak."Sudah, sana. Kamu dekatin Tante Cantik kesayangan kamu," titah Evan lirih yang langsung diangguki oleh Bunga. Hantu kecil itu bergerak cepat ke arah Amelia dan memeluk Amelia dengan senyum terulas di bibir pucatnya."Dia meluk kamu, Mel. Bunga juga bilang ingin tetap bermain dengan Gabriele, tapi itu kalau kalian izinkan." Inno dan Amelia langsung berpandangan. Amelia melingkarkan kedua lengannya di depan tubuh. Walaupun tidak bisa melihat Bunga lagi, wanita itu bisa merasakan kehadiran Bunga. Aroma khas Bunga tercium samar di indera penciumannya."Iya, boleh, nggak apa-apa. Kami tahu, Bunga sangat baik," jawab Inno pelan."Lha, jad
Cerita ini fokus mengisahkan perjalanan cinta Marvinno dan Amelia. Dari sebelum konflik di TEROR BUNGA TASBIH HITAM dan setelahnya.Cinta yang besar dan cinta yang diperjuangkan semenjak masa remaja, ternyata tidak cukup membuat seseorang bertahan selamanya. Begitu pula yang dialami oleh Amelia. Dia terpaksa menyerah di angka ke-5 tahun pernikahan mereka, ketika kesetiaannya dikhianati oleh Marvinno, sang suami.Fakta lain terkuak yang membuat pernikahan keduanya harus kandas. Di saat bersamaan, masalah datang dari Michelle Daniel.Laki-laki itu kabur dari penjara Sardinia, Italia, untuk membalas kematian sang anak, Isco Daniel Ferdinand. Daniel menyakini jika kematian Isco disebabkan oleh Marvinno, anak dari musuh besarnya, yakni Agosto Morelli.Ikuti terus ya pembacaku. Kisah mereka berdua manis, romantis, tapi terpaksa berakhir. Yang penting happy ending. 😍😍
Sering mendengar istilah, roda berputar?Begitu pula kisah cinta Marvinno. Cinta yang dia perjuangkan semenjak dirinya berusia 19 tahun. Ketika Marvinno berusaha mencari jati dirinya di antara kehidupan baru bersama orang asing yang disebut ayah dan adik sambung.Dia memberontak dan menyalahkan takdir yang menurutnya tak berpihak kepadanya. Sang ayah sambung yang anggota TNI itu, mendidiknya dengan disiplin tinggi. Marvinno yang nakal, yang sering terlibat perkelahian di jalanan, dan tak terhitung berapa kali mendapatkan tilang karena sering melanggar rambu lalu lintas."What? Apa aku nggak salah dengar, Yah?" Marvinno terbelalak kaget. Dia menatap kedua orang tuanya bergantian. Pemuda berambut coklat di high light pirang dengan iris mata coklat hazel itu tidak percaya akan keputusan kedua orang tuanya. "Kamu tinggal pilih. Menikah setelah lulus SMA atau pulang ke Italia?" ulang sang ayah dengan tegas.Marvinno mengepalkan tangannya. "Yah, kenapa Ayah lakukan ini sama aku?" tanyanya
"Kak, di sana yang krasan, ya! Jangan kabur manjat pagar pondok. Belajar agama yang benar. Oh, ya, nggak boleh godain anaknya Om Usman. Dia masih kecil," ucap gadis menginjak remaja sambil memainkan ujung rambutnya yang dikuncir kuda. Gadis remaja itu menekan kata "kecil" sembari mengacungkan jari kelingkingnya di depan hidung. Dia mengikuti ke mana pun Inno berjalan. Inno hanya meliriknya malas sembari memasukkan koper kecil berisi pakaian ke dalam bagasi mobil."Eh, Kak. Aku doain jadi santri yang husnul khotimah," ucapnya lagi sambil cekikikan. Sontak Inno menghentikan aktivitasnya. "Heh, bocil. Kamu pikir aku mau mati?" tanyanya dengan tatapan dingin.Gadis remaja itu kembali tertawa. "Husnul khotimah, bersih dari dosa-dosanya ngegombalin teman sekolah!" sindirnya."Heh, bisa diam nggak, Krucil? Nggak usah seneng di atas penderitaan orang. Mau aku mutilasi apa?" sahut Inno dengan ketus.Gadis 12 tahun itu cemberut. "Ayaah, Ibuuuu! Aisyah mau dimutilasi Kak Innoooo!" teriak Aisya
Gadis remaja dengan wajah sangat cantik itu mundur selangkah. Tatapan mata bulatnya tertuju pada setangkai bunga lili peri di tangan Inno."Kamu terima dong, bunganya!" pinta Inno sembari bangkit.Gadis itu menatap sekilas pada Inno dengan tatapan tanpa ekspresi. "Terima kasih," ucapnya acuh, lalu meraih bunga dari tangan Inno dan beranjak pergi."Amelia!" Panggil Abah kemudian, setelah diam-diam memperhatikan interaksi puterinya dengan Inno.Amelia, nama gadis itu, mengangguk dan mempercepat langkahnya. Dia segera mengambil beberapa biji jambu kristal yang sudah siap konsumsi dan memasukkannya ke keranjang yang tadi dibawanya."Biar aku bantu bawa, ini berat!" ucap Inno sambil meraih keranjang yang tergeletak di depan Amelia. Inno beralih menatap Abah. "Boleh kan, Abah, Inno bantu bawain?" tanyanya meminta persetujuan.Abah mengangguk sembari mengulas senyum. "Boleh, tapi jangan semua, Nak. Berat. Nanti ada yang ambil bawa ke mobil. Sudah cukup, ayo pulang. Waktunya shalat Dhuha dan
Abah Hussain terdiam, lalu menarik napas panjang. Laki-laki berwajah Indo-Mesir itu, mengusap pelan bahu Inno yang kembali menunduk dalam. Abah Hussain cukup terkejut dengan keberanian anak muda di depannya itu.Entah apa yang ada di benak Inno saat ini. Namun, pengakuan jujur tentang perasaannya pada Amelia di depan Abah membuat hatinya lega."Maafkan Inno yang sudah lancang, Abah." Inno berkata sangat lirih tanpa berani membalas tatapan Abah.Abah tersenyum dan menautkan jari-jarinya di atas pangkuannya. "Abah senang kamu jujur. Sudah lama Abah memperhatikan kamu. Abah akan bicara pada Amelia, tapi apa pun keputusan dia, Abah minta kamu tetap bersabar karena kalian masih terlalu muda. Amelia masih tujuh belas tahun. Begitu juga dengan kamu, Nak. Usia kamu baru sembilan belas tahun dan tentu masih banyak yang ingin kamu gapai. Abah akan bicarakan pada puteri Abah, ya, Nak," ucapnya bijak.Inno mengangguk pelan. "I-iya, Abah. Terima kasih," jawabnya santun.Sekali lagi laki-laki itu t
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak