Bang Ravi, begitu kini aku memanggilnya. Aku bisa merasakan jika dia benar-benar mencintaiku. Jahatkah jika aku hanya memanfaatkan situasi ini? Karena hatiku tidak pernah sedetik pun berpaling dari Rimba. Namun, aku harus berusaha untuk move on, atau membuktikan pada Rimba akan perasaannya padaku.Jika saja Tuhan menentukan aku harus terus bersama dengan Bang Ravi, aku akan berusaha menjalaninya. Namun, jika kebersamaanku dengan Bang Ravi justru membuat Rimba sadar, aku akan lebih bersyukur."Kita liburan ke vila-ku, yuk!" ajak Bang Ravi pada kami; aku, Emely dan Rimba, di satu malam. Setelah aku bersama Bang Ravi, dia memang sering mengajak kami jalan bersama. Ada curiga dalam hatiku jika dia memang sengaja ingin semakin mendekatkan Emely dengan Rimba. Wajar, karena bagaimanapun Bang Ravi pasti mau adik sepupunya itu bahagia."Ayok! Aku udah kangen suasana pegunungan." Emely menjawab sambil melirik pada lelaki di sampingnya yang sibuk dengan ponselnya."Rimba, kamu maen hape aja, sih
Tak lama, mobil berbelok ke arah kanan. Di halaman yang luas itu terlihat seorang lelaki paruh baya sedang menyapu daun-daun kering. Bang Ravi membunyikan klakson. Lelaki itu menoleh dan mengangguk hormat."Bu ... Den Ravi sudah datang," teriak lelaki tua itu. Kami pun turun.Seorang wanita paruh baya muncul dari dari dalam dan mempersilakan kami masuk. Saat di ambang pintu, sudah tercium wangi aneka masakan yang membuat perut keroncongan."Aden sana Neng pasti lapar, ayo makan dulu. Tadi Bibi udah siapin, saat tahu kalau Den Ravi mau ke sini," ucapnya. Dia mengajak kami ke ruang tengah di mana sebuah tikar sudah terhampar dan aneka makanan ada di atasnya.Kami berempat sepertinya memang sudah kelaparan. Tak menunggu perintah lagi, kami langsung duduk dan menikmati makanan itu sambil mengobrol ringan.Sepertinya bapak itu sudah lama bekerja pada Bang Ravi, terlihat dari keakraban mereka. Dan ternyata bapak itu juga kenal dengan Rimba, karena langsung menanyakan kabarnya. Hanya aku saj
Setelah dirasa aman, kami berhenti berlari. Dengan napas yang tersengal aku tertawa melihat muka Rimba yang pucat tertimpa cahaya rembulan."Kamu takut juga?" tanyaku sambil terkekeh. Dia diam masih mengatur napas."Dia itu bisa menyerang kita kapan saja, karena bisa mendeteksi panas tubuh. Sedangkan kita, gak bisa lihat makhluk itu. Mana gelap, gak bawa alat buat nyerang juga, gimana " jawab Rimba kemudian. Aku terdiam. Benar juga yang dia katakan. Aku menatap jari kami yang masih saja bertautan erat, lalu tersenyum. Hati memang tidak pernah bisa berbohong. Namun, saat dia menyadari itu, segera dia lepaskan dan meminta maaf padaku. Rasanya tidak perlu dia meminta maaf, karena aku juga menginginkannya."Kita dirikan tenda sebelah sana saja. Sepertinya aman. Sudah terlalu malam juga, aku lelah," ucapnya seraya menurunkan ransel. Aku mengangguk setuju.Dia mulai menyusun tenda yang dibawa. Beruntung tenda yang dibawanya memang yang bisa dipasang dalam waktu singkat. Hanya memasang pasak
"Kenapa kamu harus memperkosa aku malam itu?"Mata Rimba terbelalak, lalu memalingkan muka. Aku segera meraih tangannya agar dia kembali menghadapku."Katakan yang sejujurnya. Kenyataan sepahit apapun, aku akan menerimanya," pintaku lagi. Dia kembali mendongak. Aku menatap manik coklat itu dalam, mencari kebenaran di sana."Malam itu, aku sudah tidak punya cara lain. Karena Kak Rangga sudah menelepon seseorang bernama Bahrun."Aku tersentak kaget."Bahrun?" tanyaku dengan kening mengernyit. Dia mengangguk."Beberapa hari sebelum pernikahan kalian, aku tak sengaja mendengar percakapan antara Papi dan Kak Rangga. Mereka berniat menjual keperawananmu dengan harga yang mahal pada Bahrun." Ucapannya terhenti. Aku terpaku tak percaya pada apa yang baru saja kudengar. Tetapi mengingat kejadian waktu itu, saat Mas Rangga benar-benar menjualku pada bandot tua itu, aku mempercayai semuanya."Lalu?" tanyaku menyelidik."Aku langsung mengambil kesempatan, saat Kak Rangga pergi. Aku menunggu denga
Rimba berdiri menatap langit malam. Aku beranjak dari tenda dan ikut keluar. Aku tahu jika kebersamaan kami ini sangat rawan terjadi sesuatu yang diinginkan. Kami, terutama aku, begitu merindukan kehadirannya.Aku menatap punggungnya yang kokoh, lalu mendekatinya. Aku bisa mendengar berkali-kali dia mengembuskan napas kasar. Aku merengkuhnya dari belakang. Dia tersentak dan sepertinya ingin melepaskan rengkuhan tanganku."Sebentar saja, Rimba. Biarkan aku menikmati aroma tubuhmu. Aku sungguh merindukannya," bisikku dengan wajah melekat di punggungnya. Dia turunkan kembali tangannya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdebar lebih cepat dan embusaan napasnya yang tersengal seperti menahan sesuatu."Kamu, tau? Dulu saat hamil Rasya, aku begitu suka dengan aroma kopi juga aroma tubuhmu. Begitu menenangkan," ucapku kemudian. Dia bergeming, namun aku rasakan tubuh Rimba mulai bergetar. Apakah dia menangis?"Rimba ... maafkan aku," bisikku semakin mengeratkan pelukan. "Aku ingin me
"Aku berniat untuk memperbaiki diri dulu, baru setelah itu aku mendekatimu. Lah, dikasih nafkah sedikit kan kamu pasti gak mau."Deg!Aku kembali teringat peristiwa dulu, saat aku melempar amplop berisi gajinya yang dia berikan. Hatiku mendadak sakit mengingatnya, bagaimana dengan perasaan lelaki ini?"Terlalu banyak kesalahan yang aku perbuat padamu, dulu. Sekarang ... aku ingin memperbaikinya."Dia kembali mendesah, resah."Terlalu banyak yang harus kita korbankan," ucapnya."Aku nggak peduli!" sergahku."Kamu gak boleh egois, Lin." Dia menatapku sendu."Jadi aku harus bagaimana? Melepasmu begitu saja? Aku tidak mau!" Aku kembali meneluknya erat."Kita selesaikan dulu masalah kita. Kamu selesaikan dulu dengan Ravi, dan aku akan selesaikan dengan Emely. Gadis itu sangat rapuh. Aku harus pelan-pelan mengatakannya.""Aku berharap, kita tersesat saja di sini selamanya sama kamu," ucapku asal."Hei, kamu gak boleh berucap sembarangan! Bagaimana tanggung jawabku pada perusahaan yang aku
Aku gelagapan mendengar pertanyaan dari Bang Ravi. Apakah aku harus mengatakan yang sejujurnya? Sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat."Mmh ... kami cuman ngobrol. Bahas soal kerjaan," ucapku bohong. Aku melirik sekilas pada Rimba yang menerima secangkir susu jahe dari Emely. Dia pun sama melirik padaku dan melanjutkan aktifitasnya."Kenapa kita malah tersesat bukan dengan pasangan kita, ya?" tanya Bang Ravi."Iya, nih. Tau mau tersesat, aku akan milih berdua sama Rimba. Eh, malah sama Kak Ravi." Emely mendengkus kesal. Sementara aku tertawa dalam hati. Bahagia karena sudah bisa sedekat itu dengan Rimba."Setelah selesai sarapan, kita lanjutkan mendaki. Biar bisa melihat keindahan dari atas sana," ujar Bang Ravi. Rimba mengangguk. Entah mengapa, suasana terasa kaku. Atau ... mungkin hanya perasaanku saja, karena merasa berdosa pada Bang Ravi.Aku makan dalam diam, menahan gejolak di dada yang ingin berteriak pada orang-orang di sini, bahwa aku dan Rimba saling mencintai. Rasanya
Aku lihat ke atas, jurangnya lumayan tinggi. Aku menenangkan diri dulu, nanti aku akan coba manjat. Aku tidak mau tinggal di sini sendiri, apalagi jika ada makhluk melata itu datang. Hiih, aku bergidik ngeri menatap sekeliling.Suasana agak redup karena terhalang pepohonan. Aku menjulurkan kaki dan memijitnya perlahan. Semoga saja mereka bisa menemukanku di sini. Aku membuka perbekalan, meraih sebotol air dan membasahi tenggorokanku yang terasa kering.Untung saja ranselku tidak jatuh saat berlari tadi.Aku bersandar sejenak di batu besar yang ada di sana. Merasakan pergelangan kakiku yang semakin berdenyut nyeri. Aku mencoba berdiri, tetapi kakiku rasanya terlalu sakit untuk menopang.Coba sebentar lagi. Semoga saja kakiku akan baikan.Aku menatap sekeliling, hanya semak belukar dan pohon-pohon yang rindang. Hatiku ketar-ketir, takut jika ada binatang buas yang datang dan menjadikanku santapan mereka. Duuh, kenapa aku ikut mendaki segala, jadi gini deh! Rutukku dalam hati.Etapi, ka
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi