Aku membuka mata. Sepertinya hari sudah siang, karena sinar matahari mulai menembus sela-sela rerimbunan pohon. Aku palingkan wajah ke samping ternyata Rimba sedang menatapku."Udah bangun? Lelap banget," ujarnya."Iya, aku capek banget. Kenapa kamu udah bangun lagi?" Aku balik bertanya."Tadi aku haus, jadi kebangun.""Aku juga laper," timpalku."Makanlah, aku masih ada persediaan biskuit. Kamu mau?" Dia meraih ranselnya."Aku maunya makan kamu," jawabku sambil tertawa. Dia mendelik."Kamu ini," ujarnya sambil memijit hidungku."Kalau aku dimakan, habis dong.""Biarin, biar gak ada yang bisa milikin kamu lagi," jawabku serius.Dia terdiam lalu menoleh ke arahku dengan wajah yang serius. Aku pun menjadi salah tingkah."Kamu kok liatinnya gitu, sih?" Aku memalingkan muka."Kenapa kamu berubah? Bukannya dulu kamu benci setengah mati sama aku?" tanya Rimba. Aku kembali mendongak. Membalas tatapannya yang dalam."Entahlah, aku juga tidak tau." Aku menunduk malu."Cuman yang jelas ... sete
Aku menatapnya takjub pada lelaki itu. Lirik lagu itu, apakah untukku? Aku tersenyum dan menatapnya tak berkedip."Kamu suka sama dia?" Sebuah suara mengangetkanku. Pelan, namun terdengar mengintimidasi. Refleks aku menoleh pada lelaki di sampingku yang juga sedang memperhatikan Rimba mengalunkan nadanya. Emely menatap takjub di sampingnya, sambil sesekali memekik riang dan menangkupkan telapak tangan di mulutnya."Dia laki-laki yang baik," jawabku pelan. Dia mengangguk tanpa melihatku."Tapi ingat, kamu adalah milikku!" sentaknya pelan, namun penuh penekanan. Matanya menatapku nyalang. Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku kuat. Aku gemetar. Di sana Rimba masih fokus memainkan gitarnya."Lepas, aku mau tidur," pintaku. Dia masih saja menahanku dengan tatapan penuh amarah."Tolong ... aku lelah." Aku memelas. Dia melepaskan cengkeramannya perlahan. Aku bangkit dan meninggalakan mereka bertiga yang masih terlihat menikmati suasana malam pegunungan.***Entah pukul berapa aku terb
Rimba menarik lengan Ravi dengan cepat, sebelum lelaki itu masuk ke kamarnya. Tatapan nyalang dari keduanya bagai dua singa jantan yang sedang mempertahankan daerah kekuasaannya."Bukan begitu caranya memperlakukan wanita!" sentak Rimba dengan penekanan. Walau suaranya dia tekan sepelan mungkin, tapi Ravi bisa mendengarnya dengan jelas.Ravi melirik ke arah kamar Emely. Dia menarik Rimba menjauh dari sana, karena takut jika adiknya itu bisa mendengar pertengkaran diantara mereka."Hei, lu gak usah ikut campur! Aline itu cewek gue, mau gue apain itu terserah gue. Lu harusnya malu, nikung gue dari belakang!" Ravi menunjuk-nunjuk muka Rimba."Gue gak nikung!" bantah Rimba. Ravi menyunggingkan senyuman mengejek."Lu bilang kagak nikung? Tadi gue lihat dengan mata gue sendiri kalian berciuman. Siapa yang bisa jamin kalau kalian tidak melakukan apa-apa kemarin malam." Ravi mendekatkan wajahnya pada lelaki yang tiba-tiba amat dibencinya. Rimba bergeming membalas tatapan nyalang temannya itu.
"Dan kau!" tunjuknya pada Rimba. Kalimatnya menggantung."Hai ... kalian di sini rupanya! Aku mencari kalian ke mana-mana." Sebuah suara membuyarkan obrolan ketiganya."Hai Emely, kamu sudah bangun. Iya, aku tadi lagi olah raga, lalu ketemu mereka, jadi kami ngobrol dulu." Wajah Ravi kembali terlihat datar, tidak ada lagi emosi dalam wajahnya."Bersikaplah seperti tidak pernah terjadi apa-apa," bisiknya sebelum Emely benar-benar mendekat."Ayo kita sarapan," lanjutnya lagi sembari meraih bahu adiknya.Rimba dan Aline saling tatap lalu mengikuti dua orang di depannya.Empat piring nasi goreng sudah siap tersaji. Wanginya menguar menggoda rasa lapar. Mereka memilih makan di teras luar sambil menikmati suasana pagi.Rimba juga Aline makan dalam diam. Sementara Ravi sesekali menggoda sang adik. Menyadari suasana yang jadi canggung, Emely menatap Rimba dan Aline bergantian."Kalian kok diem aja sih?" tanyanya dengan kening mengerut."Sepertinya mereka kelelahan setelah tersesat kemarin. Su
Aku menatap haru bergantian pada Papa juga Rimba. Hatiku terlalu bahagia untuk bisa diungkap dengan kata-kata. Yang bisa kulakukan hanya mengangguk pasti untuk menjawab pertanyaan Papa. Pantas saja malam ini Rimba memakai baju yang rapi sekali, walaupun hanya kemeja putih dan celana abu-abu. Namun, terlihat sangat gagah."Alhamdulillah," ucap Papa.Rimba kemudian menyerahkan sebuah paper bag padaku. "Pakailah. Maaf aku hanya bisa menyiapkan ini saja."Aku mengambil paper bag itu dan melihat isinya. Sebuah kebaya dan bawahannya. Bahannya bagus sekali.Tak berapa lama, terdengar suara ramai orang dari luar mengucap salam. Mama segera membukanya. Terlihat orang-orang yang dulu pernah menjadi saksi di pernikahan pertama kami. Juga seorang yang sepertinya penghulu."Duh, mendadak sekali, Rimba. Mama nggak masak yang istimewa," ucap Mama."Nggak masalah, Tante. Habis ini kita bisa makan di restoran," kekeh Rimba.Tak lama, Pak RT tempatku tinggal juga datang bersama tiga orang lainnya. Papa
Satu jam kemudian kami kembali ke rumah. Teman-teman Rimba langsung pulang, demikian juga dengan penghulu dan tetangga yang menjadi saksi pernikahanku. Kami mengucapkan banyak terima kasih pada mereka.Hampir jam sembilan kami tiba di rumah. Aku ke kamar berganti pakaian dengan baju tidur berbentuk gaun selutut dan atasan setali. Tak lama Rimba mengetuk pintu dan mengajakku untuk sholat Isya berjamaah. Untuk pertama kalinya dia menjadi imamku dalam sholat juga dalam kehidupan nyata secara bersamaan.Selesai mengucap salam, aku meraih tangannya dan menciumnya takzim. Dia merengkuhku dalam pelukannya dan membacakan suatu doa yang samar-samar aku dengar. Setelahnya dia mencium puncak kepala dan juga keningku.Sungguh bahagia kami, ya Allah.Perlahan dia membuka mukena yang menutup tubuhku. Mendadak tubuhku terasa panas dingin. Desir aneh menjalar ke seluruh tubuh. Aku bisa meradakan jika kini dia tengah menatapku lekat. Aku menunduk malu.Dia raih daguku. Tatapannya begitu memabukkan. P
Aku tidak bisa membiarkan Aline terluka lagi. Aku tidak tahan saat melihat Ravi memperlakukannya dengan kasar. Aku memang pernah terluka dengan sikap Aline, tetapi semua itu karena dia tidak tahu alasanku memperkosanya. Aku selalu memaafkannya, karena aku sangat mencintainya.Hatiku sakit saat dia terluka, jiwaku marah jika ada yang menyakitinya. Aku bodoh. Iya! Bukankah cinta memang tidak kenal logika. Seperti itulah aku, berulang kali dia bersikap buruk padaku, aku selalu memaafkannya. Hanya satu yang paling membuatku terluka, saat dia mengabaikan Rasya. Saat itulah aku menggunakan logika. Aline keterlaluan, semua kesalahanku harus Rasya yang menanggungnya. Walaupun memang kuakui semua ini terjadi karena aku yang memulainya.Beberapa hari sebelum pernikahan Kak Rangga, aku mendengar obrolan antara Papi dan Kakakku itu. Sayup kudengar bahwa mereka hendak menjual keperawanan Aline pada seseorang bernama Bahrun dengan harga yang fantastis. Aku kalut. Berhari-hari aku memikirkan cara un
Setumpuk dokumen sudah menantiku di atas meja. Aku membukanya satu-satu. Permintaan persetujuan pembelian bahan baku, sales kontrak, PO, persetujuan klaim dan masih banyak lagi yang lainnya menunggu tanda tanganku. Jika saja aku tidak mengingat kebaikan orang itu, sebetulnya aku tidak suka dengan semua ini. Aku lebih suka jika membuka sebuah kafe atau tour dan travel. Aku lebih suka dengan kegiatan outdoor ketimbang terkurung di dalam ruangan seperti ini. Namun, orang itu memintaku mengurus ini sementara waktu.Sebuah panggilan masuk. Nama Emely tertera di sana. Walau malas aku mengangkatnya."Rimba! Ke mana aja, sih? WA aku gak dibalas-balas." Sebuah suara langsung menyerbu ke telinga. Selalu saja begitu. Mungkin sudah saatnya aku harus memberi pengertian pada gadis itu jika aku tidak bisa lagi melanjutkan semua ini. Sikap baikku, sepertinya dia salah artikan. Dia menganggap aku membalas cintanya.Kini aku bukan l
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi