Dia langsung menyambar benda pipih itu."Halo. Apa? Segawat itu? Ah iya, ok sebentar lagi aku ke sana. Tunggu saja," ucapnya pada seseorang di telepon."Ada apa, Mas?" tanyaku penasaran."Ah, itu ... bahan baku datang. Di gudang tidak ada orang yang bisa nerima barangnya, karena sebagian belum aku bayar. Kamu tunggu dulu di sini, ya. Aku janji akan segera kembali," ucapnya terburu-buru. Aneh. Masa iya tidak ada yang bisa handle pekerjaan seperti itu. Kenapa juga barangnya datang malam-malam?"Kenapa malem-malem datangnya? Terus pembayarannya tidak bisa besok saja ditransfer?" tanyaku menyelidik."Ah, itu ... emh ... supliernya agak primitif sih, dia hanya terima uang cash," lanjutnya sambil memasukan ponsel ke saku celana."Kamu tidur dulu saja, ya, Sayang. Nanti kalau aku kembali, aku bangunin kamu. Bye, Sayang," ucapnya sambil mengecup keningku sekilas dan berlalu.Aneh. Kenapa kejadian ini terulang lagi? Dia meninggalkanku di saat malam pertama kami.Aku mendengkus kesal. Persiapan
Selang setengah jam, pesananku datang. Aku segera menerima dan membayar semuanya.Mami dan Papi sudah menunggu di meja makan sambil menikmati secangkir kopi. Mencium aroma kopi, aku kembali teringat dengan Rasya. Saat kehamilannya dulu, aku begitu menyukai aroma itu. Entah kenapa ada rasa perih saat mengingatnya. Apakah aku memang sayang pada anak itu?"Cepet, Lin, Papi sudah kelaparan, nih," ujar Mami dari meja makan. Aku bergegas mengambil empat piring dari dapur dan segera menyajikan nasi goreng itu. Wanginya menguar membuat lapar.Mas Rangga turun dari lantai atas dengan pakaian yang baru. Sepertinya dia sudah mandi, karena wajahnya terlihat segar."Sarapan dulu, Mas," tawarku. Dia mengangguk sambil menarik kursi dan duduk di sana."Bikinkan teh hangat juga buat Rangga, Lin," titah Mami di sela suapannya. Aku yang hendak duduk, segera bangkit lagi dan kembali ke dapur untuk menyiapkan secangkir teh. Setelah siap, aku kembali ke meja makan dan menaruh cangkir itu di depan Mas Rangg
Tubuhku benar-benar lelah karena seharian ini bekerja. Tanganku sudah nggak indah lagi rasanya. Apalagi tadi tiba-tiba tetangga ada yang mengirim ikan hidup buat Mami. Dan dengan entengnya Mami menyuruhku buat mebgurus ikan itu hingga mateng. Oh, shit! Kalau bukan ibu mertua, rasanya sudah ingin kulemparkan saja ikan itu ke mukanya. Perasaan dulu dia selalu bersikap baik padaku, tapi sekarang? Ah, kenapa dia seperti ingin menjadikan aku seorang kacung di sini? Sialan memang!Ikan-ikan hidup itu menggelepar ke sana kemari, membuatku menjerit ketakutan saat membersihkannya. Dia melihatku dari ambang pintu sambil tertawa. Membuat aku geram saja.Membantu saja tidak, malah ngetawain! Gak ada akhlak emang.Dapur menjadi kotor karena ikan itu berlompatan. Aku mengejarnya seperti mengejar hantu, saking licinnya. Napasku tersengal karena cape dan kesal. Ternyata sesulit itu membersihkan ikan.Belum lagi saat menggorengnya. Aku menjerit ketakutan saat tubuh ikan itu bersatu dengan minyak pana
Beres memasak dan membersihkan dapur yang super-duper berantakan, tubuhku rasanya seperti habis maraton sejauh 50 kilometer. Aku merebahkan tubuh di kasur sambil menunggu Mas Rangga pulang.Kenapa dia lama sekali ya? Padahal ini sudah lewat Magrib, bahkan hampir Isya. Aku sudah mempercantik diri, walau kukuku kuning semua karena kunyit.Mataku hampir saja terpejam saat kudengar knop pintu diputar. Wajah tampan Mas Rangga muncul di sana. Aku segera bangkit untuk menyambutnya."Cape gak, Mas?" tanyaku berbasa-basi. Dia mulai melonggarkan dasi hendak melepasnya, aku memeluknya dari belakang. Dia hanya menjawab dengan gumaman."Kata Mami, kamu tadi bikin kekacauan di dapur?" tanyanya. Aku langsung melepaskan pelukan dan melangkah ke hadapannya."Nah ini yang ingin aku bicarakan padamu sekarang, Mas." Aku menatap wajahnya yang terlihat lelah."Membicarakan? Membicarakan apa?" tanyanya dengan kening berkerut."Rumah ini terlalu besar, sepertinya Mami tidak sanggup merawatnya. Terlebih lagi
Saat membereskan lagi baju-baju yang kubawa ke rumah ini. Aku baru teringat, jika aku membawa beberapa koleksi berlian. Aku ambil kotak itu, membuka dan menatapnya. Sudah agak lama, tidak aku pakai.Aku mengambil anting-anting dan memasangkannya. Cantik. Gelang dan kalungnya pun aku pasang. Sangat cantik. Ini memang koleksi kesayanganku makanya aku bawa.Sebetulnya, masih ada beberapa lagi, tapi aku masih menyimpannya di rumah Mama."Aliiiinnne ...." Terdengar teriakan dari mulut Nenek Lampir. Tuh, kan, jadi aja aku manggilnya begitu. Abis dia jahat terus sih. Kesel, kan aku jadinya.Ada apalagi ya? Gak pagi, siang, malem ... nyuruuhh aja kerjaanya. Gak boleh sedikit pun aku santai. Kalau bukan ibunya Mas Rangga, udah kupites tuh, leher angsanya.Mami itu memang cantik. Aku akui itu. Lah, anak-anaknya juga ganteng-ganteng gitu.Wait! Apa? Anak-anaknya? Ganteng-ganteng? Berarti aku mengakui kalau berandalan itu juga ganteng. "Aliine ... apaan, sih, kamu?!" Aku bergumam sendiri sambil m
Tak lama, wanita itu kembali lagi menyusulku yang hendak ganti baju ke kamar.""Hei, Aline, jangan lupa, siapkan uang lima juta buat iuran arisan nanti," ucapnya dan kembali lagi menuju kamarnya.Shit! Nih, orang, bener-bener pemerasan. Aku harus lapor Mas Rangga. Biar dia tahu kelakuan ibunya.**Sehabis mandi dan berganti baju, aku bergegas mengambil dompet. Seperti kata Mami, aku takut jika sampai telat mengambil kue pesanan Mami.Tak kusangka, bersamaan dengan aku hendak memutar knopnya, pintu itu terbuka. Raut wajah cemas tergambar dari wajah Mas Rangga."Mas, kenapa kamu pulang jam segini?" tanyaku heran."Eh, itu ... mmhh." Dia tampak kebingungan."Kok kamu kaya yang resah gitu,Mas? Ada apa?" tanyaku lagi."Lin, aku pinjem uangmu dulu ya. Pak Bahrun nagih-nagih terus. Mana bunganya terus membengkak lagi," ucapnya resah.Alisku bertautan."Kamu pinjem uang sama lintah darat, Mas?" tanyaku. Dia diam sesaat, lalu mendekat ke arahku."Saat itu aku gak punya pilihan lain, Lin. Aku b
"Pa, Aline butuh bantuan," ucapku di telepon. Sedangkan lelaki yang berstatus suamiku itu masih berdiri menatapku dari belakang sambi berkacak pinggang. Berulang kali aku menoleh padanya, tatapannya tetap tak berubah. Marah.Kenapa aku takut padanya? Ke mana Aline yang pemberani? Hatiku mencelos."Bantuan apa, Sayang?" Terdengar suara Papa di ujung telepon."Bisa pinjami aku uang?" ucapku ragu."Uang? Untuk apa? Bukannya kamu sudah pegang kartu kredit? Kamu bisa pake itu dulu 'kan, Lin.""Eemmh, Mas Rangga butuh tambahan modal,Pa. Tolong, ya, Pa." Aku merengek."Tambahan modal?""Iya, Pa. Bisa 'kan, Pa? Tolong sekali ini, Pa." Aku kembali merengek. Terdenger dengkusan dari mulut Papa."Ya, sudah. Berapa?" tanyanya. Aku melirik lelaki di belakangku yang mendengarkan percakapan kami yang ku-loudspeaker."Emmh ... 5 milyar, Pa.""Apa?! 5 milyar?" Terdengar teriakan kaget dari mulut Papa."Uang sebesar itu, Papa gak bisa ngasih seenaknya. Perusahaan Papa juga sedang tidak sehat."Aku mel
Tiba-tiba saja dia menyeretku ke kamar mandi dan melempar tubuh ini ke dalam bathtub. Tubuh dan kepalaku terasa sakit, terlebih lagi hati ini.Dia menyalakan shower dan menuangi tubuhku dengan sabun. Dia robek semua kaian yang melekat di tubuhku. Matanya beringas seperti singa yang mendapat mangsa."Wah ... wah ... kamu begitu menggairahkan kalau seperti ini," ucapnya dengan seringaian menjijikan. Aku beringsut mundur dan mendekap bagian atas tubuh.Tidak sampai di situ, Mas Rangga mengambil sabuk yang dipakainya lalu mencambuki tubuh ini bagaikan pada seekor kuda. Sekujur tubuhku terasa perih. Pandanganku memudar. Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.***Lelaki durjana itu menyeret tubuh kurus sang istri ke tempat tidur. Dia sama sekali tidak menyentuhnya. Namun tak berapa lama dia memakaikan baju pada wanitanya.Setelah wanita itu memakai baju, Rangga meraih tubuh itu dan menyampirkannya ke pundak bagai seonggok mayat.Melangkah pasti menuruni tangga dan berlalu melewati sang ibu
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi