Aku mencoba berontak untuk melepaskan diri, kutendang kakinya yang gempal. Aku menggigit tangannya yang kekar dan berkulit gelap itu, namun tenaganya yang jauh lebih besar sepertinya tidak terpengaruh dengan aksiku.Dia terus menyeretku ke ruangan dengan pencahayaan yang minim. Dari siluetnya aku bisa melihat jika di sana ada sebuah ranjang berukuran besar, nakas di sisi kiri dan kanannya, juga sebuah lemari di sudut ruangan.Setelah tiba di ruangan itu, Bahrun mendorong tubuhku ke atas kasur. Dalam keremangan aku melihat, Bahrun melepas bajunya satu per satu. Seringaian menjijikan samar kulihat dari mulutnya yang tebal dan berwarna gelap. Rasanya aku ingin muntah.Aku masih memikirkan bagaimana caranya bisa lepas dari makhluk gempal ini. Apakah aku harus menendang alat vitalnya, ataukah berpura-pura aku melayani dia dan menggigitnya hingga putus? Sunat dua kali pasti rasanya ajib, apalagi pakai gigi. Aku tertawa memikirkan itu.Ya, mungkin aku bisa mencobanya. Daripada aku harus mela
Selang beberapa saat pintu kembali terbuka. Muncul Rangga dan Bahrun dari sana. Suamiku itu menyeringai."Rupanya berandalan ini kembali mengacaukan rencanaku," ucapnya sambil memutar-mutarkan sebuah sabuk kulit. Aku menatapnya tak berkedip. Rasanya aku sama sekali tidak mengenal siapa lelaki biadab di depanku itu. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang manis selama ini, ternyata hanya sebuah kedok untuk menutupi kebusukannya."Dulu, saat pernikahanku yang pertama, kamu juga sengaja meperkosanya agar aku mau melepaskannya, bukan?" tanyanya sambil mendekat pada adiknya itu. Dia mencengkeram rahang Rimba dengan sangat kuat. Rimba hanya diam. Entah kenapa hatiku mendadak sakit melihatnya."Dan kau, perempuan sial! Kenapa kau tidak menurut saja agar aku tidak perlu melakukan semua ini," ucapnya padaku sambil melayangkan sabuknya sebagai cambuk. Aku menjerit kesakitan."Sakit, hah? Apalagi jika cambukan itu diguyur air," kata Bahrun sambil menyiramkan segayung air ke tubuhku. Benar saja, r
Aku hentikan langkah. Sepertinya akan jauh lebih menyakitkan jika terus mengejar Rimba. Aku mengerti posisinya. Dia amat terluka dengan semua sikapku selama ini."Ayo, kuantar pulang," ucap wanita yang tadi mengobatiku. Rupanya dialah yang bernama Rini. Aku mengangguk pelan.Dengan langkah gontai aku mengikuti Rini ke luar. Ternyata dia juga sama, mengendarai motor trail yang tinggi. Namun, memang cocok dengan sifat tomboynya.Aku segera naik ke atas motor, setelah sebelumnya memindai sekeliling untuk mengetahui keberadaan Rimba. Nihil, dia tidak terlihat sama sekali. Kenapa hati ini kembali perih saat membayangkan jika Rimba mungkin sedang bersama wanita itu."Sudah siap?" tanya Rini menoleh ke belakang. Aku mengangguk.Selama perjalanan hanya sunyi yang menemani kami. Tak ada dari kami yang memulai pembicaraan. Walaupun ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kuungkapkan, tapi rasanya tidak etis di awal pertemuan kami. Aku hanya melihat sekeliling untuk mengingat arahbjalan ini."S
Tiga hari berlalu. Rasa di hati begitu menggebu ingin bertemu dengan mantan suamiku. Luka di tubuhku sudah mulai membaik. Aku ingin berbicara banyak dengan lelaki itu.Papa menyerahkan segala keputusan kepadaku. Apakah ingin melapor polisi ataukah membiarkan Rangga begitu saja. Dia tidak mau jika kisah kelamku menjadi konsumsi publik. Hanya satu hal yang Papa sarankan, yaitu bercerai. Ya, tekadku pun memang sudah bulat untuk mengakhiri hubungan yang mengerikan ini.Setelah berpamitan pada Mama, aku pergi untuk menemui Rimba. Walaupun samar, karena gelap, aku bisa mengingat rute ke tempat kemarin. Semoga saja dia masih ada di sana. Kalau tidak, mungkin dia sedang bekerja di kafe. Dua tempat itulah yang akan menjadi tujuanku saat ini.Pertama, aku mendatangi tempat latihan karatenya. Di sana hanya ada beberapa temannya yang kemarin. Ada juga Rini di sana.Aku menanyakan keberadaan Rimba, namun sebuah jawaban yang sangat mengecewakan yang aku dengar. Rini mengatakan, jika Rimba sudah ber
Kepergian Rimba benar-benar membuatku terpukul. Aku bahkan sempat tidak mau makan jika saja Mama tidak terus memaksa.Rasa sakit ini begitu dalam. Tepat di saat kau jatuh cinta, dan di saat itu pula dia pergi meninggalkanmu. Itu yang aku rasakan saat ini.Semua sikap kejamku memang pantas berbalas duka. Namun, tak bolehkan aku memperbaiki diri? Semua terjadi hanya karena ketidaktahuanku.Aku telah membuang berlian demi sebuah batu kali. Aku menyakiti orang yang benar-benar mencintaiku demi seorang penjahat seperti Rangga. Rasa sesal sebesar bumi pun takkan pernah merubah keadaan."Lin, kamu mau melaporkan Rangga?" Suara Papa membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap dan menoleh padanya."Mau, Pa. Rencananya hari ini aku akan melapor ditemani Rini dan teman-teman Rimba yang lain," jawabku."Bagus. Papa dukung semua keputusan kamu. Biarkan dia membusuk di penjara!" ucap Papa berapi-api.Aku pun berharap seperti itu. Tidak akan ada maaf untuk makhluk bernama Rangga. Biar dia mati di dalam p
"Semua asetku sudah menjadi jaminan di bank. Sebagian besar uangnya aku invest-kan. Dan ternyata ...." Suara Papa terhenti. Dia menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Aku menghela napas panjang. Sepertinya ujian bagi keluarga ini belum berhenti pada kasusku, kini Papa pun mengalami hal buruk.Apakah mereka harus ikut menanggung keburukan yang telah aku lakukan, Tuhan? Kenapa tidak cukup aku saja yang menjalani hukuman ini? Aku berbalik dan melangkahkan kaki ke kamar. Aku hanya ingin meluapkan rasa ini dengan tangisan. Tak kuat rasanya melihat Papa dan Mama dalam kekalutan.Aku ingin tidur lelap, dan semoga saat bangun esok, semua yang terjadi hanyalah mimpi.Ternyata ucapan Papa tentang invest bodong itu bukan hanya isapan jempol belaka. Sesuatu yang aku harap hanya mimpi, ternyata semua nyata. Yang lebih buruk lagi, ada beberapa teman Papa yang menitip invest itu melalui beliau, sehingga mereka menuntut Papa untuk segera mengembalikan uang mereka.Ini sungguh ujian berat. Ter
"Jadi bagaimana ini, Bu Wati?" tanya Pak Danu—Kepala personalia.Aku menatap bergantian pada kedua orang itu tanpa rasa takut. Aku bisa melihat jika Bu Wati ragu untuk memutuskan. Entah karena apa. Dia terlihat gelagapan."Emh ... itu, emmh ...," ucapnya ragu."Lebih baik usut tuntas saja ke polisi, Pak. Untuk mengembalikan nama baik saya juga, karena saya tidak merasa sudah mencuri kancing-kancing ini." Aku memotong ucapan Bu Wati yang ragu."Aku akan selesaikan dulu di divisi-ku sebelum ke polisi," ucapnya tidak teguh pendirian. Aku bisa membaca raut mukanya yang memucat."Tidak, Bu. Biar lebih jelas sebaiknya kita libatkan saja polisi.""Aline! Kamu ngeyel ya sama atasan!" bentaknya dengan mata yang membesar."Lho, bukannya tadi Ibu sendiri yang mengancam saya akan dilaporkan ke polisi, kenapa sekarang malah Ibu yang takut?" cecarku."Siapa yang takut?" Suaranya kembali meninggi dan sepertinya dia hendak menamparku. Namun, sebuah suara membuyarkan kami."Ada apa ini?" Aku menoleh.
"Sebentar dulu Bu Wati, jangan dulu emosi. Menurut penuturan Nining, dia disuruh sama Ibu.""Hei, apa buktinya! Lancang sekali kamu menuduh saya, Nining!" teriak Bu Wati. Office girl itu terlihat semakin gemetar."Berikan hp-mu!" ucap Pak Ravi menadahkah tangannya pada Nining. Gadis bertubuh kurus itu ragu-ragu memberikannya."Mungkin Ibu hapal, suara siapa yang ada di sini." Pak Ravi mengotak-atik hp Nining dan tak lama terdengar sebuah rekaman suara antara Nining dan Bu Wati. Di sana jelas terdengar jika Bu Wati tengah mengintimidasi Nining agar mau menuruti permintaanya mencuri barang dari gudang. Walaupun Nining menolak, tapi Bu Wati memaksa dan mengiming-imingi akan memberikan uang.Wajah Bu Wati tampak makin memucat. Nining berdiri sambil sesekali melirik takut pada Bu Wati.Gadis yang pintar. Kamu sudah menyelamatkan diri kamu sendiri dengan merekam saat Bu Wati memaksa. Selain itu kamu juga sudah menyelamatkan orang lain dari fitnah keji, pujiku dalam hati.Aku melirik pada Bu
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi