"Jadi bagaimana ini, Bu Wati?" tanya Pak Danu—Kepala personalia.Aku menatap bergantian pada kedua orang itu tanpa rasa takut. Aku bisa melihat jika Bu Wati ragu untuk memutuskan. Entah karena apa. Dia terlihat gelagapan."Emh ... itu, emmh ...," ucapnya ragu."Lebih baik usut tuntas saja ke polisi, Pak. Untuk mengembalikan nama baik saya juga, karena saya tidak merasa sudah mencuri kancing-kancing ini." Aku memotong ucapan Bu Wati yang ragu."Aku akan selesaikan dulu di divisi-ku sebelum ke polisi," ucapnya tidak teguh pendirian. Aku bisa membaca raut mukanya yang memucat."Tidak, Bu. Biar lebih jelas sebaiknya kita libatkan saja polisi.""Aline! Kamu ngeyel ya sama atasan!" bentaknya dengan mata yang membesar."Lho, bukannya tadi Ibu sendiri yang mengancam saya akan dilaporkan ke polisi, kenapa sekarang malah Ibu yang takut?" cecarku."Siapa yang takut?" Suaranya kembali meninggi dan sepertinya dia hendak menamparku. Namun, sebuah suara membuyarkan kami."Ada apa ini?" Aku menoleh.
"Sebentar dulu Bu Wati, jangan dulu emosi. Menurut penuturan Nining, dia disuruh sama Ibu.""Hei, apa buktinya! Lancang sekali kamu menuduh saya, Nining!" teriak Bu Wati. Office girl itu terlihat semakin gemetar."Berikan hp-mu!" ucap Pak Ravi menadahkah tangannya pada Nining. Gadis bertubuh kurus itu ragu-ragu memberikannya."Mungkin Ibu hapal, suara siapa yang ada di sini." Pak Ravi mengotak-atik hp Nining dan tak lama terdengar sebuah rekaman suara antara Nining dan Bu Wati. Di sana jelas terdengar jika Bu Wati tengah mengintimidasi Nining agar mau menuruti permintaanya mencuri barang dari gudang. Walaupun Nining menolak, tapi Bu Wati memaksa dan mengiming-imingi akan memberikan uang.Wajah Bu Wati tampak makin memucat. Nining berdiri sambil sesekali melirik takut pada Bu Wati.Gadis yang pintar. Kamu sudah menyelamatkan diri kamu sendiri dengan merekam saat Bu Wati memaksa. Selain itu kamu juga sudah menyelamatkan orang lain dari fitnah keji, pujiku dalam hati.Aku melirik pada Bu
Aku menghentikan gerakan lalu menatap Adel yang bersandar di meja kerjaku."Udah, Del. Masalah ini udah selesai kemarin. Kita tidak perlu lagi membahas Bu Wati. Aku justru merasa kasihan sama dia. Buat apa dia melakukan semua itu, yang ujungnya malah merugikan diri sendiri," jawabku."Kamu hebat, Lin. Baru beberapa bulan udah jadi kepala gudang." Adel masih saja nyerocos dengan polos."Udah, ah. Aku ke ruang personalia dulu ya. Gak enak sama Pak Danu," pungkasku kemudian, san ditanggapi dengan cemberut oleh Adel.Betul saja, saat aku tiba di ruang personalia, Pak Danu sudah siap dengan berkas yang harus aku tandatangani. Ternyata Pak Ravi tidak main-main dengan ucapannya. Bukannya aku tidak senang dengan kepercayaan yang dia berikan, tetapi aku merasa melangkahi orang-orang yang telah bekerja jauh lebih lama dariku."Setelah ini, Pak Ravi menunggu kamu untuk memberikan job desk yang harus kamu kerjakan. Secara garis besarnya kamu pasti sudah paham, tapi pasti ada beberapa hal yang bel
Meeting berjalan lancar, walau pikiranku melayang kemana-mana. Aku hanya bisa memperhatikan lelaki itu dengan rasa yang bergemuruh di dada.Azan Ashar menghentikan meeting ini, lebih tepatnya Rimba yang menghentikannya. Dia bilang kami harus melaksanakan sholat terlebih dahulu. Aku semakin terperangah dengan perubahannya. Dia ... terlihat jauh berbeda."Kita sholat dulu. Jangan sampai dipanggil sama atasan kalian langsung menghadap, tapi dipanggil sama Yang Membolak-balikan hidup kalian, kalian masih saja lalai," ucapnya. Kami semua saling pandang. Sungguh kata-katanya sangat menohok."Ayo, kalian ambil wudu dulu, saya tunggu di mushola," ucapnya sambil bangkit berdiri.Mataku tak bisa diajak kompromi, selalu saja mengikuti setiap gerakannya yang dulu tak pernah berarti, namun sekarang terlihat begitu menarik."Ayo, Lin. Kamu sholat gak?" Bu Widya menepuk bahuku. Aku tersentak kaget karena terlalu fokus memperhatikan Rimba.Aku mengangguk cepat. "I-iya, Bu," jawabku gugup."Pak Rimba
Wow, pantas saja kamu dandan. Hhmm ... ternyata mau diajak kencan, toh," goda Adel sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku memukul pelan lengannya. "Apaan, sih."Adel ini memang polos orangnya. Sikapnya tidak pernah berubah walaupun aku sudah menjadi atasannya. Akupun demikian, tidak pernah mengubah sikapku pada siapa pun yang ada di sini.Wajahku terasa memanas, aku malu membayangkan jika bertemu dengannya nanti.Ya Tuhan, berilah momen yang baik untuk kami hari ini, doaku dalam hati.Kusambar tas selempang yang tergeletak di atas meja lalu berpamitan pada Adel.Jarak dari gedung kantorku ke parkiran terasa begitu jauh, mungkin karena aku sudah tidak sabar melihat wajahnya.Duniaku terasa berhenti saat melihat dia tertawa saat mengobrol dengan Pak Ravi. Tawa yang sudah lama sekali tidak aku lihat, kini aku menemukannya lagi."Aline, sudah sampai. Ayo, kami menunggumu," ucap Pak Ravi. Aku mengangguk hormat. Kulihat dengan ujung mata, Senyum di wajah Rimba langsung menghilang.Ambar—se
Aku menatap ponsel dalam genggaman. Jika bukan Pak Ravi lalu siapa? Rimba kah? Hatiku tiba-tiba saja berbunga. Jika memang dia yang memberikan, itu artinya ....Ah, aku bahkan terlalu bahagia membayangkannya.Aku menimbang, apakah harus ke sana dan mengucapkan terima kasih padanya, ataukah diam saja pura-pura tidak tahu?Huft!Rasanya aku sangat tidak beretika jika tidak mengucapkan terima kasih padanya. Walaupun mungkin dia tidak ingin aku mengetahui jika dia yang memberikan."Apakah aku terlalu percaya diri, jika mengira Rimba yang memberikan?" Aku berbicara pada diri sendiri, sambil mondar-mandir di depan meja kerja.Aku menatap berkas pengajuan barang-barang yang harus disetujui oleh Rimba. Apakah ini kesempatan baik bagiku untuk menemuinya? Aku harus mencairkan es batu yang bercokol di hati lelaki itu, karena aku sendirilah penyebabnya.Iya. Aku harus menemui dan berbica padanya dari hati ke hati.Aku menyambar berkas-berkas yang harus ditandatangani oleh Rimba. Biasanya aku ak
Aku berlutut dan luruh di hadapannya. Tanpa diminta, aku bersujud di depannya."Maafkan aku Rimba ... ampuni aku," ucapku diiringi tangis. Dari gerakannya aku bisa rasakan sepertinya dia bangkit dan menjauh dariku."Pergilah! Anggap kita tidak pernah saling kenal sebelumnya. Aku sudah melupakanmu. Bersikaplah layaknya kita seorang atasan dengan bawahan," ucapnya pelan.Aku bangkit dan menatap punggungnya yang masih bergetar.Luka yang kutorehkan rupanya teramat dalam. Mungkin luka itu telah busuk dan bernanah. Apakah aku juga harus mulai melupakannya? Sepertinya kehadiranku hanya menambah parah luka di hatinya.Aku meninggalkan ruangan itu dengan langkah gontai. Setelah berada di luar, aku menghapus air mata dengan punggung tangan."Hei, Aline. Kamu ngapain di depan pintu Pak Rimba?" Terdengar sapaan dari Pak Ravi. Aku melengos. Tak ingin dia tahu jika aku habis menangis."Emh ... ini tadi saya mau ngasih berkas yang harus ditandatangan sama Pak Rimba, tapi beliau menyuruh saya membe
"Apa, Pak?" tanyaku dengan mata terbelalak.Wajah Pak Ravi tampak memerah. Mungkin menahan rasa tak enak hati karena sudah mengungkapkan sesuatu yang menyangkut hati."Iya, Lin, saya suka dengan kinerja kamu, kejujuran kamu, dan ...." Kalimatnya menggantung."Dan ...?" tanyaku penasaran."Dan ... kecantikan kamu," ucapnya serius. Aku memalingkan muka. "Terima kasih atas pujiannya, Pak. Tapi saya hanyalah manusia biasa yang banyak kekurangan," jawabku sambil menunduk.""Ini bukan pujian, Lin, tapi fakta," lanjutnya lagi. Aku menyunggingkan seulas senyum."Apa, ada hal lain yang mau disampaikan lagi mengenai tugas saya nanti?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Pak Ravi tampak mengembuskan napas kasar. Mungkin dia kecewa dengan sikapku. Tapi ... aku tidak ingin memperkeruh suasana kerja dengan urusan hati."Kamu sudah punya pacar?" Pak Ravi malah menanyakan sesuatu yang menurutku sangan pribadi."Maaf, Pak?" Aku menatapnya bingung."Gak papa, saya hanya ingin tahu saja. Apa kamu sed
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi