"Sejak awal ibu rasa kalian tak cocok." Wanita lima puluh tahunan meletakkan gelas kopi di depan putranya.
"Tapi ibu tak pernah beritahu sebelumnya." Pemuda gondrong menatap lembut pada wanita behijab warna gelap.
"Ibu pikir jika kau cepat menikah itu akan baik."
"Tidak bu, itu tidak akan mudah. Menemukan wanita yang bisa menerimaku apa adanya kurasa sulit."
"Karenanya izinkan ibumu ini turun tangan. Meski pun hanya wanita tua, aku berpengalaman mencari pasangan yang baik. Kau lupa sehebat apa ayah yang kuberikan untuk kalian."
"He, he he. Nenek nenek ini! Jadi ibu sedang pamer sekarang? Hem, tapi itu benar! Beliau ayah yang luar biasa, sayang sekali kita tak punya banyak waktu bersama." Pemuda itu menghela napas berat. Untuk menutupi perasaannya ia segera meraih gelas kopi, menyesapnya pelan.
"Tapi, Nak. Kau juga salah. Kau terlalu banyak menghabiskan waktu bersama 'Affa dan 'Affiyah. Kau juga terus menempel pada ibumu. Mana ada gadis yang betah dengan pria yang tak pernah punya waktu untuknya. Terlebih lagi gadis seperti Dinda. Kau tahu sendirilah bagaimana manjanya ia sebagai anak tunggal dari keluarga kaya."
Mendengar wejengan panjang ibunya, pemuda berambut gondrong meletakkan minumannya. Meraih tangan sang ibu. "Aku yang diputuskan kenapa ibu yang sedih. He he he he, lagi pula 'Affah dan 'Affiyah adalah keponakanku. Mereka mengambil perwalian kepadaku, apa salahnya? Kasian kakak ipar ia harus menjanda di usia begitu muda."
Wanita yang dipanggil ibu hanya bisa terdiam. Ia khawatir sikap terlalu baik putranya tak bisa dimaklumi pasangannya nanti. Lalu bagaimana ia tega melihat putra yang tinggal satu-satunya dicampakkan.
Suara azan menggema dari corong masjid, waktu salat telah tiba.
"Ibu jangan terlalu banyak pikiran, jodohku sudah dipersiapkan Tuhan, jadi aku pergi dulu untuk memintanya sekarang. Meminta pada pemiliknya" Anak muda itu melepaskan pegangannya pada tangan sang ibu. Ia menghirup kopi terakhir sebelum melangkah ke luar rumah.
* * *
Gadis berusia dua puluh enam tahun masih berkutat dengan laptop dan HP-nya. Mata berbulu lentik itu sibuk mengecek email yang masuk. Sebagai seorang akuntan publik, ia bisa bekerja di mana saja selama sambungan internet lancar. Pendidikan sampai pekerjaannya mungkin berhubungan dengan ilmu pasti dan membuatnya menjadi pribadi yang realistis. Namun, tentu saja Karla tak sekaku itu jika sedang bersama Chiko, teman dekatnya dan Lala sepupunya. Ia bisa menjadi sangat urakan.
Akuntan muda ini bukanlah wanita dengan kacamata tebal yang selalu menutupi wajah cantiknya. Ia bahkan lebih terlihat bak seorang model. Bentuk tubuh yang menjulang dengan busana elegan membuatnya terlihat menikmati hidup.
Meski ia lama hidup di negeri bebas. Terlahir dari keluarga berpendidikan dan berpikiran terbuka, entah kenapa orang tuanya merasa penting untuk memintanya bekerja di Indonesia? Itu sedikit aneh, padahal jika di luar sana karirnya bisa lebih menjanjikan. Ia bisa saja menentang Papi dan Maminya, tetapi tak ada salahnya mencoba mendengarkan mereka sekali-kali.
(Ui, angkat teleponnya.) Pesan dari Chiko.
"Apa?" Gadis itu bicara dengan mata masih menatap layar laptop.
"Lala mengajak kita ke tempat baru, bagus katanya." Suara pria di dalam layar terdengar bersemangat.
"Lagi sibuk. Lagian Lala jalan sama suaminya ngapain ngajak-ngajak? Terus aku ngeliatin dia mesraan gitu?" Gadis itu terlihat tak tertarik.
"Yaeleh, lo kayak anak-anak aja Kir. Kan aku ikut juga."
"Kir kir, emang aku bukir? Kamu gak niat cari pasangan apa? Jika terus nempel dengan sahabatmu bagaimana gadis-gadis akan punya peluang? Mereka minderlah denganku."
"Ha ha haaaaaa ha. Gila lo PD-nya gak ilang-ilang." Suara pria tampan di seberang sana terdengar memekakkan telinga Karla.
"Udah? Gua tutup ni."
"Eh, bentaran! Si andaikan saja ia belum menikah bagaimana kelanjutan ceritanya?"
Tut.
Karla memutuskan sambungan telepon. Mengingat pria yang pernah ia kagumi sekilas di restoran, membuat mood-nya menjadi tak baik. Meski harus mengakui ketelatenan pemuda itu dalam mengurus anak-anaknya, tetapi ia yakin orang asing itu bukan pasangan yang baik. Buktinya gadis cantik itu marah-marah. Bukankah mustahil wanita itu emosi tak jelas jika tak ada alasan kuat, mana mau ia mempermalukan diri sendiri di muka umum.
Karla akhirnya senyum sendiri, mengapa sosok yang sama sekali tidak dikenali bisa mempengaruhinya begitu jauh? Ia kemudian mengendalikan diri, urung mengagumi pria bermata elang.
Gadis itu membawa tangannya ke depan wajah, memerikasa letak jarum arloji. Musim pajak bagi seorang akuntan adalah masa sibuk. Karla bahkan biasa bekerja di akhir pekan. Namun, menolak tawaran Chiko dan Lala bukanlah pilihan yang baik. Mereka adalah sedikit dari penghuni bumi yang memiliki selera persis sepertinya. Melakukan hal yang kita sukai, terlebih bersama orang yang pas adalah hal yang tak bisa ditunda. Gadis itu mengemasi barang-barang. Membawa beberapa peralatan yang tak bisa ditinggalkan sebelum meluncur dengan kenderaan mungil antik berwarna merah hati.
"Pergilah, Nak. Ayahmu juga pasti bangga di sana, mengetahuinya komputer yang ia hadiahkan membawamu makin dekat pada mimpimu. "Wanita berpenampilan sederhana itu menatap layar persegi dengan lelehan bening yang tak tertahan. Air mata bahagia bercampur haru. Putranya baru saja mendapatkan undangan dari perusahaan besar Rusia. Salah satu perusahaan yang sangat diperhitungkan di bidang IT. Ini tak lain sebab kegilaan Rayyan pada bidang programmer sejak SD. Bidang yang sebenarnya berbeda dari apa yang ia pelajari di bangku sekolah."Aku tidak akan pergi, Bu. Aku sudah bosan hidup di perantauan." Anak muda berambut sebahu itu mematikan layar di meja kerjanya. Menatap lurus pada sang ibu."Anak ini! Kau tahu berapa banyak orang yang mengharapkan ini? Menyia-nyiakan kesempatan sama dengan tak bersyukur." Wanita bertatap lembut tak sepakat dengan alasan sang putra."Bu--" Pemuda itu tak melanjutkan ucapannya melihat reaksi sang ibu. Ia memilih tak berde
Di sebuah pesantren yang baru berdiri beberapa tahun belakangan. Di antara hiruk pikuk santri yang membawa mushaf dan kitab dengan aksara tanpa kumis, tampak seorang pemuda gondrong sedang membersihkan taman. Ia terlihat fokus menata bunga-bunga anaeka jenis. Bentuk fisiknya tak terlalu tinggi, tetapi juga tidak rendah. Tumbuhan hias kini telah terpangkas rapi, bekas potongan daun telah dibawa ke tempat sampah. Pemuda dengan hidung mancung masih memindahkan beberapa anak bunga. Terlihat jelas ia begitu menikmati pekerjaannya, tak peduli meski pakaiannya telah basah oleh keringat.Santri yang melewatinya menegur ramah. Sepertinya ia cukup dikenali di tempat ini. Meski secara penampilan ia harusnya tak berada di tempat ini, karena cara berpakaian yang sangat berbeda dengan tapipenghuni pesantren. Namun, mungkin dewan asatiz memiliki alasan. Alasan kenapa menerima pemuda gondrong dengan celana jeans selutut? Padahal di lingkungan pesantren semu
Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan."Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama."Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengan
Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang.(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan. Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang
"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh."Maaf," pinta Dinda.Tak ada jawaban."Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik. "Ok, sudah.""Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan."Sudah kumaafkan.""Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong."Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan."Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya."Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama
"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya."Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana."Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla."Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur."Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik
Jalanan masih sepi, baru jam tujuh kurang. Rayyan memacu kendaraan roda empat menuju kediaman 'Affiyah dan 'Affa. Semalam kakak iparnya memberitahu, bahwa ia harus berangkat pagi-pagi sekali, jadi tak akan sempat mengantarkan dua bocah ke play group.Untunglah Rayyan memiliki pekerjaan yang tidak mengikat, hingga saat kakak ipar dan ibunya ke kantor dan ke sekolah ia selalu ada untuk dua bocah itu. Paling biasanya pagi-pagi ia berkeliling sebentar di perkebunan. Karena ia tak bisa terus memelototi layar komputer.Ketika pemuda berambut sebahu tiba, dua bocah sudah menunggu di teras. Jadi mereka langsung berangkat setelah berpamitan dengan mamanya. Jarak sekolah dua bocah tak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima menit.Setelah Rayyan mengantar 'Affa dan 'Affiyah pada guru di Play Group, pemuda itu bersiap kembali ke mobil. Namun tiba-tiba saja bocah leleki mengejarnya."Bah, bekal Abang ketinggalan di rumah," rengek bocah tiga tah
Rayyan yang mendapat kejutan dari sang teman tak habis pikir. Apa yang ingin Ammar sahabatnya tunjukkan dengan para tamu? Bukankah ini bisa saja memperburuk citra pondok dengan membawanya ke depan. Membiarkan pria berpenampilan berantakan mewakilinya. Namun, mendapati mata-mata yang mengarah padanya, Rayyan tak punya pilihan, selain mengikuti permainan sahabatnya. Pemuda gondrong itu menyugar rambut tebalnya sebentar sebelum berdiri.Ia kini berdiri dan berjalan melewati barisan santri, para ustadz juga empat orang tamu. Tamu yang kelihatannya dari kalangan atas. Bukan, ia bukan grogi, tidak sama sekali. Bicara di depan umum bukan masalah bagi Rayyan. Ia bahkan sudah terbiasa dengan aktifitas mohadhoroh zaman nyantri dulu. Hanya ia heran, kenapa begitu tiba-tiba Ammar berbuat di luar kesepakatan? Bukankah sejak awal mereka telah memilih tempatnya masing-masing. Urusannya hanya di bagian belakang layar. Selebihnya adalah tugas Ammar.Sampai di depan audiens Rayyan menoleh
Jam kerja baru saja dimulai. Di sebuah kantor yang tak terlalu besar, tapi terlihat ekslusif. Beberapa orang saja penghuni ruang berarsitektur unik itu, dan mereka terlihat sibuk dengan tugasnya masing-masing. Di antara beberapa orang yang telah saling mengenal dengan baik tersebut, terlihat wajah asing. Sepertinya ini kali pertama ia berada di sini. Ia adalah seorang pemuda. Perawakannya gagah dengan wajah di atas rata-rata. Tatap matanya memperlihatkan dengan jelas, bahwa ia sosok yang cerdas.Meski dalam biodatanya tertulis jelas, jika ia harus dipertimbangkan ke mana saja ia memasukkan surat lamaran. Nyatanya ia harus menunggu begitu lama untuk menemui pemilik kantor kecil ini. Sebuah kantor akuntan yang belum terlalu lama berdiri. Pemiliknya adalah seorang gadis cantik, yang masih baru di bidang ini. Gadis itu bernama Karla. Seorang akuntan publik lulusan master luar negeri. Walaupun belum bisa dikatakan matang, tetapi sepeakterjangnya patut diperhitungkan. Itu tentu saja
Malam bergerak pasti mengikuti pergerakan waktu. Atap bumi gelap tanpa bintang yang biasanya berpendar indah. Sedangkan di sebuah kamar temaram, tampak sosok tubuh yang bergerak gelisah. Suara keluar dari lisannya tak terdengar jelas, keringat kini memenuhi wajah yang biasanya tenang. Wajah berhidung mancung dan memiliki pesona di senyum dan tatapan matanya. Mimpi itu sepertinya datang lagi. Mimpi yang sering mengusik secara berulang, terutama di masa lalu."Mungkin ia telah kehilangan ayah, tapi ia punya kakak laki-laki. Jadi jangan sekali-kali mengganggunya atau aku akan membuat hidung kalian berdarah." Bentakan itu tak terdengar main-main. Terlebih yang mengatakannya adalah anak bertubuh jangkung dengan tatapan mata tajam. Tubuhnya juga terlihat kekar di bandingkan anak seusianya."Dik, dengar! Tak ada yang salah dari menjadi yatim. Ayah akan terus mengawasi kita dari sana. Atau begini saja, apa yang ingin kau beritahu pada ayah, kau sampaikan saja pada kakak." Suara
Seperti biasa, saat bosan memelototi layar komputer, Rayyan beranjak dari kamar. Pekerjaan seperti yang digelutinya tak bisa dilakukan saat fokus teralih. Jika sedang berkonsentrasi Rayyan bisa menghabiskan berjam-jam. Namun, saat tidak mood, ia memilih beristirahat.Saat keluar kamar, Rayyan merasa heran. Tidak biasanya rumah lengang setelah keberadaan dua kurcaci kembar. Apa keduanya sedang tidur siang? Saat tak melihat keponakannya di kamar, pemuda itu memutuskan keluar. Padahal tadinya ia ingin bermain-main dengan keduanya. Itu cukup untuk mengembalikan semangat.Akhirnya ia memutuskan pergi ke pesantren. Sudah beberapa hari tak melihat keadaan di sana.Tentu saja sebagai penyempurna penyamaran, Rayyan tak pernah datang ke pondok dengan kenderaan roda empat. Ia lebih memilih naik ojek. Jam-jam sebelum salat asar di sini sangat lengang. Karena seluruh santri masih sibuk di kelasnya. Selepas zuhur mereka memiliki jadwal materi pengembangan diri. Setiap s
"Jangan salah paham. Aku hanya memanfaatkanmu." Karla berhenti, menatap pemuda yang berjalan di sampingnya."Aku tak salah paham. Aku mengerti," ujar Rayyan cuek."Tapi terima kasih." Bagaimanapun Karla tahu yang harus diucapkan pada pemuda yang telah melepasnya, meski sementara dari Gery."Baiklah. Aku pergi." Rayyan melangkah lebar meninggalkan Karla."Tunggu." Suara gadis tinggi semampai menahan langkah pemuda berambut sebahu."Kau menolak ganti rugi waktu itu, setidaknya aku harus mentraktirmu kali ini.""Ah, aku masih kenyang. Baru sudah makan." Rayyan tersenyum lebar. Namun, bersamaan dengan ucapan mengatakan ia kenyang, perutnya tak berkompromi. Suara cacing di dalam sana bergurau nakal. Apa yang terjadi embuat pemuda berambut sebahu menyugar rambut. Bagaimanapun ia tak nyaman bersama orang asing. Apa lagi seorang gadis."Ayo! Aku tahu makanan enak di sekitar sini." Karla melangkah mendahului, memandu.Kini R
"Pemilik baru?" Rayyan menautkan alis. Reaksi wajahnya tak bisa ditebak."Anda keluarga Bu Rima?" Lelaki enam puluh tahunan menatap pemuda yang masih mematung. Tatapannya penuh selidik.Cakra tak menjawab, hanya sepasang mata itu menatap lekat pada bagunan dua tingkat yang berdiri kokoh."Saya permisi dulu. Masih harus menurunkan barang-barang." Pemilik baru rumah megah undur dari hadapan Rayyan.Pemuda dua puluh tujuh tahun hanya bisa mengangguk. Sekali lagi ini tak salah. Kak Rima boleh saja menjual rumah ini. Mungkin wanita itu punya alasan sendiri. Ia mungkin merasa lebih aman menabung untuk menggunakan uangnya nanti untuk anak-anak. Itu haknya. Namun, entah kenapa Rayyan sulit menerima. Rumah yang memiliki sejarah penting bagi kakak kandungnya, kini telah beralih kepemilikan. Seandainya kakak iparnya bicara padanya, ia yang akan mengamankan istana tersebut. Berapa pun uang yang dibutuhkan kak Rima? Selama dalam kesanggupannya, ia akan membayarnya.
Di mobil, Ammar beberapa kali memeriksa wajah istrinya dengan ekor mata. Pemuda itu serba salah sekarang. Rayyan yang berotak encer dan mudah nyerap pelajaran zaman dulu, entah kenapa sekarang bisa menjadi pikun. Apakah ini pengaruh usia? Atau sang teman sengaja tak ingin bekerja sama? Anak itu, andai saja mereka hanya berdua tadi? Ammar pasti akan mengajaknya bergulat.Lagi pula bukankah semalam ia sudah wanti-wanti agar bersiap-siaplah. Memberikan kesan baik dipertemuan pertama itu penting. Pasti Rayyan sengaja, bisik Ammar dalam hati.Lalu kini bagaimana tanggapan gadis yang duduk di kursi belakang? Ia pasti mengira mereka benar-benar datang untuk meminta bunga dari Bu Rina, seperti alasan yang diberikan Maryam."Rayyan, dia sebenarnya--" Ammar baru akan menjelaskan sesuatu, tetapi jari kaki sang istri di balik kaus telah memijaknya.Ammar hanya bisa menoleh pada Maryam, yang ditatap seolah-olah tak terjadi apa-apa."Hati-hati bawa mobilnya, Su
"Tapi, suami. Asal tahu aja, Afifah sahabat dinda sejak MI, kami belajar bersama. Dinda tak akan rela ia mendapatkan sembarang suami. Ia pantas untuk pria yang hebat." Wanita yang duduk bersisihan dengan Ammar bicara lembut."Rayyan juga begitu, Din. Kami bukan cuma teman, tapi sudah seperti saudara kandung. Walaupun memang di tubuh kami mengalir darah yang berbeda." Pemuda tampan yang bersandar di tempat tidur tak mau kalah.Gadis bermata jeli merengut, mengira sang suami hanya mengikut-ngikuti ucapannya."Yang kulihat dia tak begitu," ungkap Maryam."Tak begitu gimana?" Ammar menggeser tempat duduknya. Membiarkan jaraknya dan sang istri semakin dekat. Bahkan mata itu kini menatap lekat wanita berwajah bulat."Aku sedikit khawatir Abahnya Afifah syok melihat penampilan Rayyan. Bukankah keluarganya pasti berharap putri solehahnya akan berjodoh dengan pria yang--.""Yang apa coba?" tanya Ammar memotong ucapan sang istri."Setidak
Rayyan memeluk erat dua bocah. Matanya berkaca-kaca, tetapi tinjunya tergenggam erat. Kemarahan menggelegak di dada bidang itu. Apa masalahnya? Kenapa menolak pernikahan baik-baik? Tidak ada yang akan mempersulit mereka, bahkan ia dan ibunya bersedia membantu sebanyak yang diperlukan. Namun, dengan pergi begitu saja meninggalkan dua bocah yang adalah anak kandungnya sendiri, takkah hati lembut sebagai wanita baik-baik saja? Apa cinta bisa semembutakan itu?Lalu kini ke mana mereka berdua akan pergi? Seindah apa dunia yang bisa membuat seorang ibu melepaskan tangan anak-anaknya? Rayyan tak habis pikir. Sangat ingin rasanya mematahkan leher pria yang merampas ibu bagi keponakannya. Akan tetapi, ada yang lebih penting untuk dilakukan sekarang, yakni menenangkan Affa dan Affiyah. Ia juga harus membuat cerita yang lebih masuk akal bagi ibunya, karena jika tidak bisa-bisa wanita berhati lembut itu pingsan."Malam ini kita nginap di rumah nenek, ya." Rayyan menyibak rambut Af
Rayyan memandang kartu nama yang di letakkan di samping komputernya. Kiara Anarulita itulah nama yang tertera di sana dan dia adalah seorang akuntan publik. Nama yang unik dan pekerjaan yang bergengsi. Dilihat dari garis wajahnya, gadis itu memang memiliki darah campuran. Semoga saja ia baik-baik saja setelah insiden kemarin, harap Rayyan.Pemuda berkaus dengan celana santai kemudian gelang kepala dengan apa yang ia pikirkan. Apa gunanya mengingat gadis asing itu? Ia kembali fokus pada layar di depannya. Melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda, ia sedang menikmati rancang terbarunya. Masih lama untuk sampai di garis pinish, ia masih di separuh perjalanan. Membutuhkan pengujian lanjutan dan analisis program sebelum software ini siap untuk diperkenalkan pada khalayak umum.Rayyan bisa duduk di depan layar berjam-jam. Sang ayah bukan hanya berhasil menularkan hobinya. Anak itu bahkan kini telah berhasil membuat namanya dikenal di dunia maya. Karna di dunia nyata ia lebi