Di sebuah pesantren yang baru berdiri beberapa tahun belakangan. Di antara hiruk pikuk santri yang membawa mushaf dan kitab dengan aksara tanpa kumis, tampak seorang pemuda gondrong sedang membersihkan taman. Ia terlihat fokus menata bunga-bunga anaeka jenis. Bentuk fisiknya tak terlalu tinggi, tetapi juga tidak rendah. Tumbuhan hias kini telah terpangkas rapi, bekas potongan daun telah dibawa ke tempat sampah. Pemuda dengan hidung mancung masih memindahkan beberapa anak bunga. Terlihat jelas ia begitu menikmati pekerjaannya, tak peduli meski pakaiannya telah basah oleh keringat.
Santri yang melewatinya menegur ramah. Sepertinya ia cukup dikenali di tempat ini. Meski secara penampilan ia harusnya tak berada di tempat ini, karena cara berpakaian yang sangat berbeda dengan tapipenghuni pesantren. Namun, mungkin dewan asatiz memiliki alasan. Alasan kenapa menerima pemuda gondrong dengan celana jeans selutut? Padahal di lingkungan pesantren semua berbusana rapi, disiplin dan tertata. Aturan ketat membatasi semuanya. Bayangan bahwa para pekerja, juru masak, dan tukang kebun wajib berbicara Bahasa Arab demi mendukung kemampuan para santri.
Ba'da asar adalah waktu di mana para santri bebas dari pelajaran. Sebagian dari mereka berolahraga di lapangan. Sebagian lainnya mandi, mencuci atau sekadar duduk-duduk bercengkrama sesama mereka. Biasanya beberapa menit sebelum magrib anak-anak itu akan berduyun-duyun menuju masjid. Memenuhi ruangan besar berdinding putih.
"Akhiy Abqary?" Pemuda berbusana rapi dengan kain dan Koko putih membulatkan matanya menatap pemuda gondrong. Wajah tampannya bersinar makin cerah.
"Hay, Kaif hal?" Wajah penuh keringat pemuda yang dipanggil akhiy tersenyum lebar.
Dua pemuda kini saling peluk erat. Tak peduli meski dua tangan tukang kebut penuh tanah dan pakaiannya bau keringat. Keduanya kini duduk bersama di taman. Tak lama langsung terlibat percakapan seru, tawa kecil menyelingi pembicaraan mereka.
Keakraban dua pemuda berbeda memancing perhatian para santri yang berada di sekitar mereka. Jika pemuda berbusana muslim adalah pimpinan tertinggi di pesantren. Ia alumni universitas yang ada di Cairo sana. Lulus dengan nilai mumtaz. Maka sang teman yang berpenampilan apa adanya mereka kenali sebagai tukang kebun.
Mungkin mereka teman lama? Atau guru mereka menerima pemuda gondrong karena ia berniat tobat. Atau mungkin juga ia seorang mualaf? Entahlah, yang jelas itu menambah kekaguman para santriwan dan santriwati pada mudir pesantren. Sosok pintar berwibawa yang tak pilih-pilih teman. Statusnya sebagai ustadz muda yang dihormati tak menghalanginya untuk bergaul dengan segala kalangan. Tidak peduli dengan penampilan luar manusia. Akhlak yang mendapat pujian dan mengundang kekaguman dari banyak pihak.
Ustadz muda itu bernama Ahmad Ammar Athaya pemilik nama yang indah. Jika Ahmad adalah nama yang terambil dari sosok manusia termulia, maka Ammar adalah salah satu sahabat utama yang juga berarti kuat imannya. Sedangkan Athaya bermakna hadiah atau karunia. Begitulah ustadz Ammar seperti karuni yang tak ternilai, kekuatan imannya, keelokan pribadinya tersebar mengharum. Konon banyak kiai besar dan pemimpin pesantren yang mendambanya menjadi menantu. Ia seperti bibit unggul untuk melanjutkan kelangsungan pesantrennya. Namun, ia telah memilih. Wanita beruntung itu kini tinggal di sini, bersamanya membesarkan pondok pesantren yang baru dirintis beberapa tahun terakhir. Istrinya adalah teman sesama pelajar Indonesia di negeri Piramida Mesir.
Lantunan Kalam Suci yang bergema megah dari masjid, menuntaskan percakapan yang sepertinya belum usai. Dua pemuda beranjak dari tempat duduknya, bersiap-siap.
* * *
Selepas zikir dan berdoa sosok berkoko putih naik ke atas mimbar. Suara bak lebah yang tadi memenuhi masjid kini hening. Semua mata tertuju pada pemuda yang membetulkan posisi microphon. Ia mengucap salam dengan suara berwibawa. Jawaban salam kompak menggema, seperti bisa meruntuhkan bangunan kokoh.
Lalu pria di atas mimbar mulai melantunkan puja-puji dan sholawat. Ia memiliki pemilihan kata yang serasih juga mendalam. Membuktikan jika ilmu linguistiknya memang mumpuni. Retorika dan gaya bahasa yang memikat ditambah lidahnya sangat fasih.
Ah, inikah alasannya kenapa banyak ustadz memiliki istri lebih dari satu? Jika ada pria sememesona ini, bagaimana bisa manusia biasa menahan diri? Tampan, muda, jenius, fasih, dan berakhlak baik. Paket yang lengkap. Jika lebih banyak generasi yang lahir darinya barangkali bumi yang kita tinggali akan lebih baik. Namun, tetap saja seperti gambar Al-Qur'an sendiri, poligami bukan pilihan mudah.
Di barisan paling belakang pada kerumunan santriwan. Tampak pemuda gondrong ikut duduk khusyuk. Ia mendengarkan dengan serius. Ia tak beranjak sampai solat isya selesai ditunaikan.
* * *
(Ini sudah dua hari. Dan kau tak menghubungiku juga.)
(Ish, benar-benar tidak berperasaan.)
(Kau di mana? Ayo bicara.)
(Hubungan kita baru juga tiga bulan. Kita bahkan belum pergi berdua, berdua saja tanpa dua keponakanmu. Kurasa inilah penyebabnya kita tak bisa saling memahami.)
Nada di HP terus berulang. Memaksa Rayyan meraih benda yang terletak di samping komputernya. Pesan dari Dinda. Deolinda Arabelle.
"Siapa yang memintaku tak menghubunginya?" lirih Rayyan. Ia kembali meletakkan benda tersebut.
(Kau tak berniat membalas pesanku? Baiklah aku akan datang ke sana.)
Rayyan ingin mengabaikannya pesan Dinda, tetapi jika ia melakukan itu maka gadis itu akan terus mengirim pesan. Tangan lembutnya kuasa saja mengetik ratusan pesan. Itulah kenapa pemuda itu tak betah berteman dengan orang kaya, mereka memiliki terlalu banyak waktu luang.
Rayyan mengetik balasan. (Apa orang yang sudah tidak memiliki hubungan harus terus saling mengabari?)
(Kau gila, bahkan saat berpacaran kau tak mengabari.) Dinda membalas secepat kilat. Sepertinya jari lentik itu sangat terlatih.
(Aneh sekali kau memacari pemuda gila.) Setelah terkirim Rayyan langsung matikan data di ponselnya.
Sepasang mata pemuda itu kembali ke layar komputer. Dengan tak menyesal ia memutuskan menolak tawaran pekerjaan dari Rusia. Email-nya dikirim.
Bagaimana ia bisa meninggalkan ibunya sendirian? Meski transportasi lancar jarak Indonesia dan Rusia tak sedekat itu. Meski dunia kini bagai tanpa jarak karena canggihnya teknologi. Tetap saja, keberadaannya secara fisik berbeda dengan hanya wajah di layar. Ia ingin sangat terbangun melihat wanita lembut itu sedang mengenakan telekung putihnya. Mengurus tanaman di taman bersama, dan sekali-kali membantu sang ibu membuat masakan bersama. Ia ingin kapan pun ia mau bisa mendatangi wanita yang mulai menua itu. Karena tak ada yang tahu berapa lama lagi waktu yang mereka punya untuk terus bersama.
Mengenai hobinya, ia tentu saja tetap bisa membuat software tanpa terikat dengan perusahaan. Meningkatkan skill kombinasi akurasi dan kecepatan, membangun branding diri yang lebih kuat. Lalu semoga ada kesempatan untuk memasuki rangking di platform Hacker rank.
Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan."Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama."Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengan
Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang.(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan. Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang
"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh."Maaf," pinta Dinda.Tak ada jawaban."Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik. "Ok, sudah.""Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan."Sudah kumaafkan.""Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong."Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan."Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya."Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama
"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya."Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana."Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla."Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur."Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik
Jalanan masih sepi, baru jam tujuh kurang. Rayyan memacu kendaraan roda empat menuju kediaman 'Affiyah dan 'Affa. Semalam kakak iparnya memberitahu, bahwa ia harus berangkat pagi-pagi sekali, jadi tak akan sempat mengantarkan dua bocah ke play group.Untunglah Rayyan memiliki pekerjaan yang tidak mengikat, hingga saat kakak ipar dan ibunya ke kantor dan ke sekolah ia selalu ada untuk dua bocah itu. Paling biasanya pagi-pagi ia berkeliling sebentar di perkebunan. Karena ia tak bisa terus memelototi layar komputer.Ketika pemuda berambut sebahu tiba, dua bocah sudah menunggu di teras. Jadi mereka langsung berangkat setelah berpamitan dengan mamanya. Jarak sekolah dua bocah tak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima menit.Setelah Rayyan mengantar 'Affa dan 'Affiyah pada guru di Play Group, pemuda itu bersiap kembali ke mobil. Namun tiba-tiba saja bocah leleki mengejarnya."Bah, bekal Abang ketinggalan di rumah," rengek bocah tiga tah
Rayyan yang mendapat kejutan dari sang teman tak habis pikir. Apa yang ingin Ammar sahabatnya tunjukkan dengan para tamu? Bukankah ini bisa saja memperburuk citra pondok dengan membawanya ke depan. Membiarkan pria berpenampilan berantakan mewakilinya. Namun, mendapati mata-mata yang mengarah padanya, Rayyan tak punya pilihan, selain mengikuti permainan sahabatnya. Pemuda gondrong itu menyugar rambut tebalnya sebentar sebelum berdiri.Ia kini berdiri dan berjalan melewati barisan santri, para ustadz juga empat orang tamu. Tamu yang kelihatannya dari kalangan atas. Bukan, ia bukan grogi, tidak sama sekali. Bicara di depan umum bukan masalah bagi Rayyan. Ia bahkan sudah terbiasa dengan aktifitas mohadhoroh zaman nyantri dulu. Hanya ia heran, kenapa begitu tiba-tiba Ammar berbuat di luar kesepakatan? Bukankah sejak awal mereka telah memilih tempatnya masing-masing. Urusannya hanya di bagian belakang layar. Selebihnya adalah tugas Ammar.Sampai di depan audiens Rayyan menoleh
Sebelumnya saat pikirannya tak tenang, Rayyan cukup pergi ke pesantren atau bermalam di kebun buah duriannya. Namun, setelah mencoba banyak hal, pikiran tentang pria yang bersama kakak iparnya terus mengganggunya. Lebih menyedot perhatiannya dibandingkan dengan masalah Dinda. Bukan saja karena ia bingung cara membagi hal ini pada sang ibu, lebih dari itu ia memikirkan masa depan dua keponakan yang sangat ia sayangi.Bagaimana jika pria itu tak benar-benar bisa menerima 'Affa dan 'Affiyah? Ah, Rayyan mengeluh resah. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi kekediaman Aldo, mungkin dengan bicara pada sang teman masalahnya menjadi sedikit terangkat. Tangan kiri pemuda berambut sebahu meraih kunci mobil di samping komputer, lalu ia berlalu ke luar rumah.."Apa ini bisa bekerja?" Rayyan menatap pada flashdisk yang diberikan Aldo."Coba saja, masalah perempuan sudah pas kau berkonsultasi denganku." Pemuda tiga puluh tahun, tetapi masih membujang itu bicara ban
"Tentang pria 'andai ia belum menikah'. Kau kecewa ia tak sesempurna harapanmu?" Chiko menertawakan Karla."Aku tak pernah berharap apa-apa padanya. Bagaimana aku bisa berharap pada seseorang yang sama sekali tak dikenal? Bahkan seseorang yang kukenali bertahun-tahun saja, tak bisa kuharapkan.""Memang apa yang kau harap dariku?" Chiko menatap Karla dengan memiringkan tubuhnya."Aku berharap kau berhenti bicara tentang orang asing. Bagaimana kalau kau membuatnya cegukan?" Karla melotot kesal pada sang teman."Baguslah jika ia keselek sekalian, pemain hati wanita layak mendapatkan lebih dari itu." Chiko memasang wajah sok pembela kaum perempuan."Ya Ampun, kalian tak punya bahasan selain mengenai si 'andai ia belum menikah'?" Lala menghempaskan tubuhnya di kursi samping Karla. Plastik di tangannya yang berisi banyak camilan diletakkan begitu saja di atas meja.Chiko langsung meraih plastik tersebut, mengaduk-aduk isinya. "Minuman ini, ini, dan ini,
Jam kerja baru saja dimulai. Di sebuah kantor yang tak terlalu besar, tapi terlihat ekslusif. Beberapa orang saja penghuni ruang berarsitektur unik itu, dan mereka terlihat sibuk dengan tugasnya masing-masing. Di antara beberapa orang yang telah saling mengenal dengan baik tersebut, terlihat wajah asing. Sepertinya ini kali pertama ia berada di sini. Ia adalah seorang pemuda. Perawakannya gagah dengan wajah di atas rata-rata. Tatap matanya memperlihatkan dengan jelas, bahwa ia sosok yang cerdas.Meski dalam biodatanya tertulis jelas, jika ia harus dipertimbangkan ke mana saja ia memasukkan surat lamaran. Nyatanya ia harus menunggu begitu lama untuk menemui pemilik kantor kecil ini. Sebuah kantor akuntan yang belum terlalu lama berdiri. Pemiliknya adalah seorang gadis cantik, yang masih baru di bidang ini. Gadis itu bernama Karla. Seorang akuntan publik lulusan master luar negeri. Walaupun belum bisa dikatakan matang, tetapi sepeakterjangnya patut diperhitungkan. Itu tentu saja
Malam bergerak pasti mengikuti pergerakan waktu. Atap bumi gelap tanpa bintang yang biasanya berpendar indah. Sedangkan di sebuah kamar temaram, tampak sosok tubuh yang bergerak gelisah. Suara keluar dari lisannya tak terdengar jelas, keringat kini memenuhi wajah yang biasanya tenang. Wajah berhidung mancung dan memiliki pesona di senyum dan tatapan matanya. Mimpi itu sepertinya datang lagi. Mimpi yang sering mengusik secara berulang, terutama di masa lalu."Mungkin ia telah kehilangan ayah, tapi ia punya kakak laki-laki. Jadi jangan sekali-kali mengganggunya atau aku akan membuat hidung kalian berdarah." Bentakan itu tak terdengar main-main. Terlebih yang mengatakannya adalah anak bertubuh jangkung dengan tatapan mata tajam. Tubuhnya juga terlihat kekar di bandingkan anak seusianya."Dik, dengar! Tak ada yang salah dari menjadi yatim. Ayah akan terus mengawasi kita dari sana. Atau begini saja, apa yang ingin kau beritahu pada ayah, kau sampaikan saja pada kakak." Suara
Seperti biasa, saat bosan memelototi layar komputer, Rayyan beranjak dari kamar. Pekerjaan seperti yang digelutinya tak bisa dilakukan saat fokus teralih. Jika sedang berkonsentrasi Rayyan bisa menghabiskan berjam-jam. Namun, saat tidak mood, ia memilih beristirahat.Saat keluar kamar, Rayyan merasa heran. Tidak biasanya rumah lengang setelah keberadaan dua kurcaci kembar. Apa keduanya sedang tidur siang? Saat tak melihat keponakannya di kamar, pemuda itu memutuskan keluar. Padahal tadinya ia ingin bermain-main dengan keduanya. Itu cukup untuk mengembalikan semangat.Akhirnya ia memutuskan pergi ke pesantren. Sudah beberapa hari tak melihat keadaan di sana.Tentu saja sebagai penyempurna penyamaran, Rayyan tak pernah datang ke pondok dengan kenderaan roda empat. Ia lebih memilih naik ojek. Jam-jam sebelum salat asar di sini sangat lengang. Karena seluruh santri masih sibuk di kelasnya. Selepas zuhur mereka memiliki jadwal materi pengembangan diri. Setiap s
"Jangan salah paham. Aku hanya memanfaatkanmu." Karla berhenti, menatap pemuda yang berjalan di sampingnya."Aku tak salah paham. Aku mengerti," ujar Rayyan cuek."Tapi terima kasih." Bagaimanapun Karla tahu yang harus diucapkan pada pemuda yang telah melepasnya, meski sementara dari Gery."Baiklah. Aku pergi." Rayyan melangkah lebar meninggalkan Karla."Tunggu." Suara gadis tinggi semampai menahan langkah pemuda berambut sebahu."Kau menolak ganti rugi waktu itu, setidaknya aku harus mentraktirmu kali ini.""Ah, aku masih kenyang. Baru sudah makan." Rayyan tersenyum lebar. Namun, bersamaan dengan ucapan mengatakan ia kenyang, perutnya tak berkompromi. Suara cacing di dalam sana bergurau nakal. Apa yang terjadi embuat pemuda berambut sebahu menyugar rambut. Bagaimanapun ia tak nyaman bersama orang asing. Apa lagi seorang gadis."Ayo! Aku tahu makanan enak di sekitar sini." Karla melangkah mendahului, memandu.Kini R
"Pemilik baru?" Rayyan menautkan alis. Reaksi wajahnya tak bisa ditebak."Anda keluarga Bu Rima?" Lelaki enam puluh tahunan menatap pemuda yang masih mematung. Tatapannya penuh selidik.Cakra tak menjawab, hanya sepasang mata itu menatap lekat pada bagunan dua tingkat yang berdiri kokoh."Saya permisi dulu. Masih harus menurunkan barang-barang." Pemilik baru rumah megah undur dari hadapan Rayyan.Pemuda dua puluh tujuh tahun hanya bisa mengangguk. Sekali lagi ini tak salah. Kak Rima boleh saja menjual rumah ini. Mungkin wanita itu punya alasan sendiri. Ia mungkin merasa lebih aman menabung untuk menggunakan uangnya nanti untuk anak-anak. Itu haknya. Namun, entah kenapa Rayyan sulit menerima. Rumah yang memiliki sejarah penting bagi kakak kandungnya, kini telah beralih kepemilikan. Seandainya kakak iparnya bicara padanya, ia yang akan mengamankan istana tersebut. Berapa pun uang yang dibutuhkan kak Rima? Selama dalam kesanggupannya, ia akan membayarnya.
Di mobil, Ammar beberapa kali memeriksa wajah istrinya dengan ekor mata. Pemuda itu serba salah sekarang. Rayyan yang berotak encer dan mudah nyerap pelajaran zaman dulu, entah kenapa sekarang bisa menjadi pikun. Apakah ini pengaruh usia? Atau sang teman sengaja tak ingin bekerja sama? Anak itu, andai saja mereka hanya berdua tadi? Ammar pasti akan mengajaknya bergulat.Lagi pula bukankah semalam ia sudah wanti-wanti agar bersiap-siaplah. Memberikan kesan baik dipertemuan pertama itu penting. Pasti Rayyan sengaja, bisik Ammar dalam hati.Lalu kini bagaimana tanggapan gadis yang duduk di kursi belakang? Ia pasti mengira mereka benar-benar datang untuk meminta bunga dari Bu Rina, seperti alasan yang diberikan Maryam."Rayyan, dia sebenarnya--" Ammar baru akan menjelaskan sesuatu, tetapi jari kaki sang istri di balik kaus telah memijaknya.Ammar hanya bisa menoleh pada Maryam, yang ditatap seolah-olah tak terjadi apa-apa."Hati-hati bawa mobilnya, Su
"Tapi, suami. Asal tahu aja, Afifah sahabat dinda sejak MI, kami belajar bersama. Dinda tak akan rela ia mendapatkan sembarang suami. Ia pantas untuk pria yang hebat." Wanita yang duduk bersisihan dengan Ammar bicara lembut."Rayyan juga begitu, Din. Kami bukan cuma teman, tapi sudah seperti saudara kandung. Walaupun memang di tubuh kami mengalir darah yang berbeda." Pemuda tampan yang bersandar di tempat tidur tak mau kalah.Gadis bermata jeli merengut, mengira sang suami hanya mengikut-ngikuti ucapannya."Yang kulihat dia tak begitu," ungkap Maryam."Tak begitu gimana?" Ammar menggeser tempat duduknya. Membiarkan jaraknya dan sang istri semakin dekat. Bahkan mata itu kini menatap lekat wanita berwajah bulat."Aku sedikit khawatir Abahnya Afifah syok melihat penampilan Rayyan. Bukankah keluarganya pasti berharap putri solehahnya akan berjodoh dengan pria yang--.""Yang apa coba?" tanya Ammar memotong ucapan sang istri."Setidak
Rayyan memeluk erat dua bocah. Matanya berkaca-kaca, tetapi tinjunya tergenggam erat. Kemarahan menggelegak di dada bidang itu. Apa masalahnya? Kenapa menolak pernikahan baik-baik? Tidak ada yang akan mempersulit mereka, bahkan ia dan ibunya bersedia membantu sebanyak yang diperlukan. Namun, dengan pergi begitu saja meninggalkan dua bocah yang adalah anak kandungnya sendiri, takkah hati lembut sebagai wanita baik-baik saja? Apa cinta bisa semembutakan itu?Lalu kini ke mana mereka berdua akan pergi? Seindah apa dunia yang bisa membuat seorang ibu melepaskan tangan anak-anaknya? Rayyan tak habis pikir. Sangat ingin rasanya mematahkan leher pria yang merampas ibu bagi keponakannya. Akan tetapi, ada yang lebih penting untuk dilakukan sekarang, yakni menenangkan Affa dan Affiyah. Ia juga harus membuat cerita yang lebih masuk akal bagi ibunya, karena jika tidak bisa-bisa wanita berhati lembut itu pingsan."Malam ini kita nginap di rumah nenek, ya." Rayyan menyibak rambut Af
Rayyan memandang kartu nama yang di letakkan di samping komputernya. Kiara Anarulita itulah nama yang tertera di sana dan dia adalah seorang akuntan publik. Nama yang unik dan pekerjaan yang bergengsi. Dilihat dari garis wajahnya, gadis itu memang memiliki darah campuran. Semoga saja ia baik-baik saja setelah insiden kemarin, harap Rayyan.Pemuda berkaus dengan celana santai kemudian gelang kepala dengan apa yang ia pikirkan. Apa gunanya mengingat gadis asing itu? Ia kembali fokus pada layar di depannya. Melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda, ia sedang menikmati rancang terbarunya. Masih lama untuk sampai di garis pinish, ia masih di separuh perjalanan. Membutuhkan pengujian lanjutan dan analisis program sebelum software ini siap untuk diperkenalkan pada khalayak umum.Rayyan bisa duduk di depan layar berjam-jam. Sang ayah bukan hanya berhasil menularkan hobinya. Anak itu bahkan kini telah berhasil membuat namanya dikenal di dunia maya. Karna di dunia nyata ia lebi