"Memangnya Mas David kenal siapa dia?!" Dahlia mengangkat telunjuknya ke arah Mama."Jangan lancang kamu, Dek!" David dengan cepat menepis tangan istrinya. "Beliau itu orang yang paling penting dalam dalam masa depan perusahaanku!""Mas David ngelindur, ya? Kemarin salah mengenali tukang ojek sebagai CEO, sekarang salah juga mengenali ibunya." Dahlia melotot tak percaya."Itu semua memang kenyataannya, Dek! Aku tidak salah orang." David masih berusaha menjelaskan."Omong kosong apa sih ini, David?" Bu Nani tiba-tiba menimpali. "Kamu tahu tidak, kalau kami berdua lebih mengenal mereka lebih dari siapapun di dunia ini!"David seketika mengerutkan kening."Maksud Ibuk?" tanyanya.Bu Nani menatap ke arahku dan Mama dengan pandangan mengejek."Si Damar dulu pernah berpacaran dengan Dahlia selama hampir empat tahun. Dan tiga tahun yang lalu mereka sempat melamar Dahlia, tapi kami tolak. Dulu mereka memang punya usaha kecil, tapi bangkrut!" ucapnya kemudian panjang lebar."Jadi Ibuk dan Dahl
Lita menghentikan langkah sejenak ketika mendengarnya, dan menatap ke arahku. Kubalas tatapannya seraya menggeleng pelan."Jangan berbalik lagi, Dek. Semua itu sudah bukan urusan kita lagi. Kita sudah tidak boleh ikut campur," ucapku lirih.Lita menggangguk lemah, lalu kami berdua melanjutkan langkah dan menuju ke arah motor yang terparkir di halaman. Lita menatap ke arah rumah Ibunya sekali lagi, sebelum akhirnya menaiki motor dan merangkul pinggangku. Perlahan kami pergi meninggalkan tempat itu."Alhamdulillah, kita sampai, Dek," ucapku sambil mematikan mesin motor.Rumah kontrakan tempat kami tinggal memang tak jauh dari rumah Bu Nani. Lumayan luas juga tempatnya. Kabarnya, sebenarnya rumah itu dijual oleh pemiliknya. Namun karena belum laku, jadi untuk sementara dikontrakkan. Dalam hati aku berniat membeli rumah itu jika nantinya. Mungkin dengan membayar sebagian dulu jika Rudi sudah mengirimkan uang padaku besok."Masyaa Allah, Mas. Gak menyangka kita bisa tinggal di rumah sebagu
"Mas ... Mas Damar."Aku menggerakkan mata yang masih terpejam. Rasa kantuk masih begitu dalam menyergap, sehingga masih berat untuk membukanya. Aku seperti mendengar suara Lita. Entah mimpi apa bukan."Mas Damar." Terasa seseorang menggoncang lenganku pelan. Ternyata bukan mimpi. Itu memang suara Lita.Aku perlahan bangkit duduk, lalu mengucek mata sebelum membukanya seraya mengucap dengan malas. "Masih malam, Dek .... ada apa?"Kedua mataku langsung membola begitu melihat Lita sudah duduk di depanku, dengan lilin yang menyala di atas kue, menyinari kamar kami yang temaram."Selamat ulang tahun, Mas," ucap Lita pelan dengan senyumnya yang tampak samar.Aku mengucek mata sekali lagi. Baru aku ingat jika aku dan Lita lahir di hari yang sama. Sungguh kebetulan memang. Tapi yang membuatku sedikit malu, Lita bahkan membuat kejutan untukku lebih dulu."Ya Allah, Dek." Aku sungguh terharu, menerima kejutan seperti ini tepat di tengah malam begini. "Terima kasih, Dek.""Ayo Mas, berdoa lalu
Kulihat Bu Nani dan Dahlia sudah berdiri menatap ke arah Lita begitu aku sampai di dalam. Napas Lita terlihat memburu, baru kali ini kulihat dia begitu emosi."Padahal Mas Damar tidak bersalah, tapi kalian enggan minta maaf karena sudah memfitnahnya! Kalian bahkan tidak bicara pada kami tentang hal itu!" ucap Lita lagi."Halah, Lita! Namanya juga Ibuk lupa!" jawab Bu Nani dengan wajah tanpa rasa bersalah. "Kamu itu selalu saja membesar-besarkan masalah!""Karena ini memang masalah besar, Buk! Seandainya Mbak Lia waktu itu tidak membuat video klarifikasi, Mas Damar sudah pasti kehilangan pekerjaan. Dan aku juga akan kehilangan pelanggan, Buk!" ucap Lita lagi."Lah, bukannya mertuamu sekarang sudah kaya, Lita? Kamu tinggal minta bantuan padanya, apa susahnya? Apa karena mertua sombongmu itu masih belum menerimamu sebagai menantu? Bahkan jangan-jangan Damar juga sudah tidak dianggap anak?""Buk!" Nada suara Lita meninggi. Dadanya turun naik. Ditatapnya wajah Ibu dan Kakaknya bergantian.
"Kenapa Bang David bisa ada bersama Mbak itu dalam foto, Mas?" tanya Lita, masih belum bisa menghilangkan keterkejutan."Bang David selingkuh? Atau ...."Aku tak bisa menjawab pertanyaan Lita. Kuamati kembali foto yang terpasang di sana. Aku memutar kembali ingatanku. Wajah kedua orang itu ... aku pernah melihat di mana?Tiba-tiba aku tersentak oleh ingatanku sendiri. Tunggu ... aku ingat sekarang.Aku memang pernah melihat wajah David dan wanita itu sebelumnya. Dulu, dulu sekali. Saat aku dan Dahlia masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Saat itu aku pernah mengantarkan Dahlia untuk menghadiri pernikahan sahabatnya. Dan yang menikah saat itu adalah ...."Mas." Lita menepuk pundakku. "Kok malah ngelamun?""Ah, tidak, Dek," jawabku tergagap."Mungkin lebih baik kita kembalikan dulu dompet ini ke pemiliknya. Untuk masalah siapa dia ... mungkin nanti saja kita mencari kejelasan," ucapku kemudian."Iya, Mas." Lita mengangguk setuju."Kalau begitu kita pergi sekarang."Lita kemb
"Mas, kita lihat ibuk sebentar, ya? Takutnya darah tingginya kambuh," ucap Lita kemudian, wajahnya terlihat cemas."Iya, Dek. Kita ke sana sekarang," sahutku."Terima kasih informasinya, Bu Tatik. Kami pergi ke sana dulu," ucapku kemudian pada Bu Tatik."Iya, sama-sama Mas," jawab Bu Tatik.Aku dan Lita tanpa pikir panjang lagi langsung meluncur menuju rumah Bu Nani. Terlihat ada beberapa orang tetangga yang ada di sana. Mereka segera berjalan ke arah kami begitu motor berhenti."Eh, Lita. Syukurlah kamu sudah datang," ucap Bu Sulis, salah satu tetangga kami. "Kami sudah menelpon Mbakmu dari tadi siang. Katanya baru bisa datang malam. Sampai sekarang malah belum muncul juga.""Bagaimana kondisi ibu saya, Bu?" tanya Lita kemudian."Alhamdulillah, gak apa-apa. Sudah minum obat dari puskesmas. Tensinya naik karena kaget," jawab Bu Sulis lagi."Ngomong-ngomong kamu kemana aja, Lita? Padahal saya sudah suruh beberapa orang buat nyari kamu ke kontrakan, katanya gak ada. Terus dicari ke tem
"Nadia?" Dahlia seketika tersenyum sinis menatap ke arah Nadia."Wah, dunia ini sempit, ya? Setelah sekian tahun kita bertemu di sini," ucapnya kemudian."Aku juga tidak berharap akan bertemu lagi denganmu, Lia," jawab Nadia, wajahnya terlihat tenang meskipun awalnya dia tampak terkejut."Kenapa? Masih sakit hati padaku? Kukira kamu sudah move-on." Dahlia tertawa tertahan."Tidak, kamu tahu aku bukan orang yang pendendam," jawab Nadia lagi."Baguslah kalau begitu." Dahlia mengibaskan rambut panjangnya. "Biar bagaimanapun, aku dan Mas David sudah menikah dan punya anak, hal yang tidak bisa kamu berikan untuk Mas David! Jadi kamu juga harus bisa move-on. Kamu sudah menikah lagi sekarang?""Tidak, Lia. Aku masih suka sendiri.""Astaga, Nad. Kamu itu masih cantik, masih bisa mencari yang lebih dari Mas David. Jangan bilang kamu masih menunggunya, ya? Kamu pasti tahu Mas David tidak akan pernah meninggalkanku," ucap Dahlia lagi dengan angkuhnya."Aku tahu kok, Lia. Aku harap kalian selalu
"Iya, Ma, Lita hamil," jawabku seraya duduk di samping Lita.Kulihat ada binar di kedua mata Mama. Berulang kali dia seperti bersikap biasa saja, tapi dari bahasa tubuhnya, aku tahu Mama ikut bahagia."Mama bahagia, gak? Sebentar lagi Mama jadi nenek, loh," ucapku lagi."Ah, biasa saja. Namanya menikah, sudah pasti hamil lah," sahut Mama dengan raut wajah yang dibuat secuek mungkin.Aku tersenyum melihat tingkah Mama itu. Kutatap Lita yang juga tersenyum membalas tatapanku."Hadiah yang waktu itu ... terima kasih ya, Ma? Saya suka sekali," ucap Lita kemudian."Kalau suka kenapa gak dipakai?" Mama menatap ke arah Lita dengan tatapan judesnya."Eh, itu ...." Lita menatap ke arahku, sepertinya tak tahu bagaimana harus menjawab."Lita gak terbiasa pakai perhiasan mewah, Ma. Bisa-bisa mata para tetangga copot dari tempatnya kalau Lita memakainya," jawabku kemudian."Halah, alasan saja. Biarpun tinggal di kampung, tetap harus menghargai diri sendiri, dong," sahut Mama."Besok akan Lita paka