Setibanya di Villa, Raffa dan Belinda turun dari mobil lalu memutuskan untuk segera masuk ke dalam lantaran udara dingin yang semakin menusuk tulang. Namun, pada saat keduanya berjalan beriringan menuju pintu tiba-tiba saja Belinda merasa pusing dan hendak terjatuh. Beruntung Raffa sigap memapah tubuh Belinda dan menggendongnya.
"Kamu sakit, Bel?" tanya Raffa yang cemas melihat kondisi Belinda yang agak pucat. Pemuda itu membaringkan tubuh kekasihnya perlahan di ranjang.
"Enggak tahu. Kepalaku pusing banget, Raf," jawab Belinda sembari memegang pelipisnya yang terasa berdenyut. Entah mengapa tengkuknya terasa sangat berat.
Raffa duduk di pinggiran ranjang, dia lantas menempelkan punggung tangannya ke dahi Belinda yang biasa-biasa saja.
"Enggak panas," ucapnya. "apa mungkin efek minuman yang kamu minum tadi, Bel?" duganya kemudian, lalu menarik selimut menutupi se
Hola hola! Jangan lupa like dan kasih komentarnya donk... Biar pengarang ini tau klo kalian semua pada suka enggak sama cerita karangan aku. hihi... Kesan-kesannya gimana baca kisahnya si Raffa dan Mami Belinda. Nyok komen nyok! Aku juga pengen kenal kalian lbh jauh lagi. Hehe.. Buat yang pengen tau spil dan visual si Raffa dan Belinda, kalian bisa cek di Instagram aku. Cari aja @ Aisyah Dwi Navyana. Follow ya... Btw, terima kasih sebanyak-banyaknya buat yg udah ngasih dukungan dan votenya buat pemula seperti aku ini.^^
"Sshhh ... Raf, eugh ...." Belinda mendesah kala jemari nakal Raffa malah semakin aktif menyusuri setiap lekuk tubuhnya yang polos di dalam selimut. Beberapa detik yang lalu Raffa merasakan sesuatu mendesak jiwa ke-lelakiannya. Efek minuman rupanya juga mulai beraksi di tubuhnya. Aliran darah Raffa berdesir, mengalir menjalari sekujur tubuhnya yang setengah telanjang. Kabut gairah telah menyelimuti kedua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu. Belinda menikmati setiap kecupan dan cumbuan bertubi-tubi yang dipersembahkan Raffa padanya. Jelas ini merupakan hal yang baru bagi Belinda. Bercinta dalam pengaruh alkohol. Seakan tubuhnya kian memanas dan menegang menerima perlakuan Raffa yang selalu berhasil membuatnya kepayang. "Sshhh ... ahh ... Raffa ...." Belinda bahkan sampai menggigit bibirnya sensual kala Raffa menyerukkan wajahnya di antara kedua pahanya. Pemuda itu begitu aktif memainkan lidah di milik Belinda yang masih tertutup kain segitiga berenda. "Raf ..." Meremat setiap
Semilir angin malam Puncak tak membuat seorang pemuda yang kini berdiri di balik besi pembatas balkon Villa, tempatnya menginap bersama sang pujaan hati merasa kedinginan. Kegundahan hati yang mendera membuat Raffa tidak dapat tidur dengan nyenyak. Padahal biasanya setelah bercinta dia akan tertidur pulas.Memilih untuk menghisap rokok yang dimintanya dari pengurus Villa, Raffa seakan menyalurkan kegusarannya lewat kepulan asap barang bernikotin tersebut. Pikirannya menerawang jauh ke masa depan yang entah akan seperti apa. Raffa yang merasa harus merubah semuanya demi Belinda, mau tak mau akan meninggalkan profesinya sebagai lelaki penghibur. Tak mau kejadian tadi siang terulang lantaran tidak ingin menyakiti perasaan perempuan yang dia sayang.Mungkin sudah saatnya dia meninggalkan dunia kelamnya. Mencari pekerjaan yang lebih baik lagi dan berusaha memberikan sesuatu dengan cara halal."Astaga ..." Mendesah gusar, Raffa menekan puntung rokok pada asbak. Lalu kembali mengambil rokok
"Maaf ... maafin aku. Aku enggak bermaksud meragukan niat kamu. Aku tadi cuma kaget. Tiba-tiba kamu ngajakin nikah," jelas Belinda berharap itu semua dapat mengurangi rasa kecewa Raffa.Ajakan menikah Raffa telah membuktikan bahwa pemuda itu memang tidak main-main dengan hubungan mereka. Akan tetapi, Belinda tak bisa memberi jawaban yang pasti untuk saat ini sebab ikatannya dengan Bima belum berakhir. Suaminya itu memberinya waktu sebulan untuk Belinda menemukan pria yang tepat dan siap menikahinya.Lantas, kenapa kebimbangan masih menggelayuti Belinda? Bukankah ini kesempatan bagus baginya lepas dari Bima dengan mudah. Raffa sudah memberikan sinyal padanya. Mengajaknya menikah.Namun Belinda harus menjelaskan semuanya kepada pemuda ini. Dia tidak ingin Raffa mengambil keputusan dengan tergesa-gesa dan secara emosional. Tidak. Belinda belum siap jika suatu saat Raffa pergi meninggalkan dirinya.Raffa termangu, menunggu seorang perempuan di depannya kini memberikan jawaban. Dari sorot
Satu Minggu telah berlalu, Belinda dan Raffa tengah bersiap kembali menuju Jakarta. Selama sepekan menghabiskan waktu bersama membuat keduanya semakin mesra. Raffa tak lagi sungkan mencurahkan perhatian kepada kekasihnya itu. Sejak pagi dia membantu Belinda membereskan semua barang-barang yang mereka beli dadakan di Puncak. Mulai dari baju, dan perlengkapan lainnya. Jelas Belinda merasa begitu dicintai. Dia tidak pernah menyangka jika Raffa yang dulu dia pikir cuek dan dingin, kini berubah menjadi sangat hangat. Pemuda itu tak pernah sekali pun membuatnya merasa insekyur. Mengingat, bila usia mereka terpaut sangat jauh. Status mereka pun berbeda. Namun, Raffa seolah tak pernah bosan mengikis semua perbedaan antara mereka. Pemuda itu menepati janjinya—melimpahkan kasih sayang yang tiada habisnya. Tak lupa Raffa juga selalu mengungkapkan cinta ketika bangun tidur karena menurutnya itu semua bisa menambah keterikatan dalam menjalin hubungan. "Selesai," seru Raffa sesaat memasukkan bar
"Sialan, lu!" Raffa memukul lengan Vano sampai pemuda itu mengaduh kesakitan. "Kampret! Sakit, Raf!" Vano mengusap-usap lengannya yang lumayan terasa panas. Bibirnya komat-kamit menggerutu. Terdengar decakan nyaring dari mulut Raffa. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa apabila Belinda sampai bertanya perihal Rania. "Lu kenapa enggak ngabarin gue kalo si Rania nunggu di sini!" sentak Raffa sambil sesekali celingukan ke ruang tamu. Beberapa saat yang lalu dia buru-buru menarik Vano, membawa sahabatnya itu ke pantry untuk dimintai penjelasan. Meninggalkan Rania dan Belinda di ruang tamu berdua saja. "Ck! Elu-nya aja yang keasyikan pacaran! Sampe telpon dari gue enggak diangkat." Lantas, Vano mengambil ponselnya dari saku celana. "Noh, liat! Udah berapa kali gue telpon elu. Gue juga chat elu, bego!" Menunjuk layar ponselnya ke depan hidung Raffa yang cuma berdecih. "Masa, sih?" Raffa yang masih belum percaya kemudian mengambil ponsel dari saku jaketnya. Menekan tombol on dan
Dua hari sudah Raffa tidak dapat menghubungi Belinda. Lelaki itu merasa cemas bukan main. Ponsel kekasihnya sama sekali tidak aktif semenjak kepergiannya dari Apartemen. Entah apa yang terjadi dengan Belinda sampai -sampai dia mematikan ponselnya."Apa dia marah beneran, ya, sama gue? Ck!" Raffa bergegas bangkit dari tempat tidurnya untuk segera mencari tahu keadaan Belinda. Mungkin dia akan pergi ke rumah Belinda terlebih dahulu.Pada saat Raffa membuka pintu dan hendak melangkah keluar, tiba-tiba Vano sudah berdiri di depannya."Buset, Raf! Kenapa lu? Kayak orang kesetanan?" tanya Vano memindai raut wajah Raffa yang berantakan. Dua hari ini dia sama sekali tidak keluar dari unitnya itu lantaran masih kepikiran Belinda."Gue mau ke rumahnya Belinda." Raffa menjawab sambil hendak berlalu, namun Vano buru-buru mencegahnya."Emang si Tante Belinda kenapa?" Vano penasaran dan ikut merasa cemas.Menggeleng lantas menjawab, "Gue juga enggak tahu, Van. Hpnya mati dari kemaren malem. Gue jad
"Ini rumahnya Tante Belinda, Raf?" Vano bertanya tanpa berkedip sedikit pun. Mulutnya menganga lebar seolah dia belum pernah melihat rumah semewah ini. Beberapa saat yang lalu mereka tiba di depan pintu gerbang rumah Belinda yang menjulang sangat tinggi. "Iya. Ayo turun!" Raffa melepas sabuk pengaman lantas keluar dari mobil. Vano tersentak saat Raffa membanting pintu mobil."Eh, kampret! Tungguin!" Buru-buru dia melepas sabuk pengaman dari badannya dan langsung keluar dari mobil. Keduanya lantas mendekati pos sekuriti yang berjaga. Raffa dan Vano gugup setengah mati. Baru kali ini mereka mendatangi rumah pelanggan. ck!Memang benar kalau cinta itu bisa membuat orang hilang akal. Contohnya ya seperti Raffa ini. Mana ada orang yang berani datang ke rumah pelanggannya di siang bolong begini. Sukur-sukur suami Belinda sedang tidak ada di rumah. Bayangkan saja jika ada. Pasti akan terjadi perang dunia ke empat. "Permisi," sapa Raffa begitu mendekat di pos sekuriti, sedangkan Vano me
"Apa! Kamu mau mundur dari pekerjaan ini, Fa?" Mami Kumala tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sesaat Raffa berkata ingin mundur dari Diskotek—tempatnya mengais rezeki selama tiga tahun belakangan ini."Iya, Mi. Maaf." Raffa tertunduk lesu. Tak sanggup menatap mata sendu mami Kumala yang sama sekali tidak berkedip.Di mata itu ada banyak sekali harapan mami Kumala kepada Raffa. Berkat dialah, Raffa tidak sampai jadi gelandangan. Meski pemuda itu tahu jika pekerjaan yang ditawarkan mami Kumala merupakan pekerjaan tidak halal. Namun, kala itu Raffa tidak memedulikan profesinya. Asal perutnya terisi dan mempunyai hunian nyaman dan mewah. Terutama dia bisa berdiri di bawah kakinya sendiri tanpa mengandalkan uang sang ayah.Huh! Mengingat itu Raffa jadi mengingat cacian ayahnya dulu."Mami harus bilang apa ke pelanggan kamu? Mereka semua pasti nanyain kamu, Fa?" Mami Kumala bertanya demikian tak serta-merta dia memikirkan nasib Diskotek-nya yang pastinya akan kehilangan tambang emas.
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam