"Sialan, lu!" Raffa memukul lengan Vano sampai pemuda itu mengaduh kesakitan. "Kampret! Sakit, Raf!" Vano mengusap-usap lengannya yang lumayan terasa panas. Bibirnya komat-kamit menggerutu. Terdengar decakan nyaring dari mulut Raffa. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa apabila Belinda sampai bertanya perihal Rania. "Lu kenapa enggak ngabarin gue kalo si Rania nunggu di sini!" sentak Raffa sambil sesekali celingukan ke ruang tamu. Beberapa saat yang lalu dia buru-buru menarik Vano, membawa sahabatnya itu ke pantry untuk dimintai penjelasan. Meninggalkan Rania dan Belinda di ruang tamu berdua saja. "Ck! Elu-nya aja yang keasyikan pacaran! Sampe telpon dari gue enggak diangkat." Lantas, Vano mengambil ponselnya dari saku celana. "Noh, liat! Udah berapa kali gue telpon elu. Gue juga chat elu, bego!" Menunjuk layar ponselnya ke depan hidung Raffa yang cuma berdecih. "Masa, sih?" Raffa yang masih belum percaya kemudian mengambil ponsel dari saku jaketnya. Menekan tombol on dan
Dua hari sudah Raffa tidak dapat menghubungi Belinda. Lelaki itu merasa cemas bukan main. Ponsel kekasihnya sama sekali tidak aktif semenjak kepergiannya dari Apartemen. Entah apa yang terjadi dengan Belinda sampai -sampai dia mematikan ponselnya."Apa dia marah beneran, ya, sama gue? Ck!" Raffa bergegas bangkit dari tempat tidurnya untuk segera mencari tahu keadaan Belinda. Mungkin dia akan pergi ke rumah Belinda terlebih dahulu.Pada saat Raffa membuka pintu dan hendak melangkah keluar, tiba-tiba Vano sudah berdiri di depannya."Buset, Raf! Kenapa lu? Kayak orang kesetanan?" tanya Vano memindai raut wajah Raffa yang berantakan. Dua hari ini dia sama sekali tidak keluar dari unitnya itu lantaran masih kepikiran Belinda."Gue mau ke rumahnya Belinda." Raffa menjawab sambil hendak berlalu, namun Vano buru-buru mencegahnya."Emang si Tante Belinda kenapa?" Vano penasaran dan ikut merasa cemas.Menggeleng lantas menjawab, "Gue juga enggak tahu, Van. Hpnya mati dari kemaren malem. Gue jad
"Ini rumahnya Tante Belinda, Raf?" Vano bertanya tanpa berkedip sedikit pun. Mulutnya menganga lebar seolah dia belum pernah melihat rumah semewah ini. Beberapa saat yang lalu mereka tiba di depan pintu gerbang rumah Belinda yang menjulang sangat tinggi. "Iya. Ayo turun!" Raffa melepas sabuk pengaman lantas keluar dari mobil. Vano tersentak saat Raffa membanting pintu mobil."Eh, kampret! Tungguin!" Buru-buru dia melepas sabuk pengaman dari badannya dan langsung keluar dari mobil. Keduanya lantas mendekati pos sekuriti yang berjaga. Raffa dan Vano gugup setengah mati. Baru kali ini mereka mendatangi rumah pelanggan. ck!Memang benar kalau cinta itu bisa membuat orang hilang akal. Contohnya ya seperti Raffa ini. Mana ada orang yang berani datang ke rumah pelanggannya di siang bolong begini. Sukur-sukur suami Belinda sedang tidak ada di rumah. Bayangkan saja jika ada. Pasti akan terjadi perang dunia ke empat. "Permisi," sapa Raffa begitu mendekat di pos sekuriti, sedangkan Vano me
"Apa! Kamu mau mundur dari pekerjaan ini, Fa?" Mami Kumala tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, sesaat Raffa berkata ingin mundur dari Diskotek—tempatnya mengais rezeki selama tiga tahun belakangan ini."Iya, Mi. Maaf." Raffa tertunduk lesu. Tak sanggup menatap mata sendu mami Kumala yang sama sekali tidak berkedip.Di mata itu ada banyak sekali harapan mami Kumala kepada Raffa. Berkat dialah, Raffa tidak sampai jadi gelandangan. Meski pemuda itu tahu jika pekerjaan yang ditawarkan mami Kumala merupakan pekerjaan tidak halal. Namun, kala itu Raffa tidak memedulikan profesinya. Asal perutnya terisi dan mempunyai hunian nyaman dan mewah. Terutama dia bisa berdiri di bawah kakinya sendiri tanpa mengandalkan uang sang ayah.Huh! Mengingat itu Raffa jadi mengingat cacian ayahnya dulu."Mami harus bilang apa ke pelanggan kamu? Mereka semua pasti nanyain kamu, Fa?" Mami Kumala bertanya demikian tak serta-merta dia memikirkan nasib Diskotek-nya yang pastinya akan kehilangan tambang emas.
Raffa pergi dari Diskotek hampir tengah malam. Sementara Vano pergi ke Hotel bersama Tante yang memakai jasanya. Meski kepalanya agak sedikit berdenyut, tetapi Raffa tetap memutuskan untuk pulang ke Apartemen. Nanti setibanya di sana, dia akan langsung tidur saja—pikirnya.Jalanan mulai terlihat sangat sepi, apalagi arah dari Diskotek menuju tempat tinggalnya terkenal rawan. Jarang sekali Raffa pulang di jam segini. Dia terbiasa pulang subuh atau pagi. Tidak ada yang perlu ditakuti. Akan tetapi, perasaannya sejak tadi tidak enak. Rasanya seperti ada orang yang tengah mengikuti mobilnya dari belakang.Raffa melirik sekilas dari kaca spion. Dan, benar saja. Dia melihat jika ada mobil sedan hitam melaju agak kencang tengah membuntutinya. Seperti hendak ingin mendahului. Namun, dengan sigap Raffa berhasil menghindar ketika sedan hitam itu berupaya menyerempet mobilnya."Brengsek!" umpat Raffa seraya semakin mempercepat laju mobilnya. "Mau nyari masalah sama gue kayaknya." Fortuner hitam m
Di sebuah kamar serba putih itu seorang pemuda dengan hampir seluruh bagian wajahnya diperban nampak mengerjap pelan. Jari-jarinya yang terdapat selang infus juga bergerak-gerak. Tentu saja hal tersebut membuat lelaki yang kini berada di sampingnya terperanjat kaget, terkejut sekaligus bahagia. "Raf ...," Vano refleks bangkit dari duduknya lalu menyentuh tangan sahabatnya yang kini membuka mata. "Elu udah sadar, Raf?" Vano bahkan hampir menangis, merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sementara Raffa nampaknya masih belum sepenuhnya sadar. Pemuda itu menyipitkan mata lantaran sinar lampu yang begitu terang terasa menyilaukan. Pemuda itu seperti orang linglung sebab kini bola matanya tengah memindai seisi ruangan serba putih dan berbau khas obat. "Van, gue ... lagi di mana? Kok, semuanya serba putih?" tanya Raffa meski suaranya masih terdengar sangat lemah. Dia menatap Vano seolah menunggu sahabatnya itu memberi jawaban. Vano yang ditanya demikian mendadak berubah kesal.
"Udah, Bu. Aku udah kenyang." Raffa memalingkan muka seraya mendorong pelan tangan sang ibu yang hendak menyuapinya lagi. Ibu tersenyum lantas menarik tangannya mundur dan meletakkan wadah makanan di atas nakas. Kemudian beliau mengambil gelas berisikan air putih, lalu menyodorkan kepada Raffa. "Minumlah." Beliau membantu Raffa minum setelah itu meletakkannya lagi di nakas. Sudut hati Raffa menghangat dengan perlakuan ibunya. Perhatian inilah yang sangat dia rindukan selama ini. Ibu selalu memperlakukannya seperti anak kecil dan tak pernah sekali pun memarahinya. Oleh karena itu Raffa tumbuh menjadi anak yang manja dan pembangkang. "Terima kasih, Bu," ujar Raffa tulus yang disambut senyuman oleh bu Farah. "Istirahatlah. Dokter tadi menyuruhmu untuk jangan banyak bergerak dulu." Bu Farah membantu putranya berbaring kembali. "Ibu akan menunggu di sini." Menarik kursi lalu mendaratkan bokongnya. Bu Farah duduk di sisi ranjang Raffa. Beberapa saat yang lalu dokter memeriksa kondisi R
Hari ini Raffa sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Hasil dari rongsen kemarin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Raffa tidak mengalami luka dalam yang cukup serius. Hanya saja dirinya harus banyak istirahat dan dilarang banyak bergerak. Perban di wajah juga sudah dibuka. Wajah tampan Raffa terlihat lebam dan ada beberapa bekas jahitan di pelipis kanan. "Ibu ikut anter Raffa pulang 'kan?" tanya Raffa kepada sang ibu yang sudah bersiap. Mereka menunggu kedatangan Vano. "Iya. Ibu ikut anter kamu pulang. Sekalian ibu juga pengen tahu tempat tinggal kamu," jawab bu Farah seperti biasa. Lembut dan penuh perhatian. Raffa tersenyum. "Makasih, Bu. Ibu udah rawat Raffa dua hari ini," ucapnya tulus. Bu Farah mengusap lengan Raffa kemudian berkata, "Ini semua udah jadi kewajiban ibu, Nak. Kamu 'kan anak ibu satu-satunya." Beliau memandang wajah Raffa dengan sangat lama. Ada banyak perubahan dari putranya ini. Terlihat sangat dewasa dan semakin tampan. Raffa yang dipanda
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam