Terima kasih atas dukungan dan vote-nya 💋🙏💕
Hari ini Raffa sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Hasil dari rongsen kemarin menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Raffa tidak mengalami luka dalam yang cukup serius. Hanya saja dirinya harus banyak istirahat dan dilarang banyak bergerak. Perban di wajah juga sudah dibuka. Wajah tampan Raffa terlihat lebam dan ada beberapa bekas jahitan di pelipis kanan. "Ibu ikut anter Raffa pulang 'kan?" tanya Raffa kepada sang ibu yang sudah bersiap. Mereka menunggu kedatangan Vano. "Iya. Ibu ikut anter kamu pulang. Sekalian ibu juga pengen tahu tempat tinggal kamu," jawab bu Farah seperti biasa. Lembut dan penuh perhatian. Raffa tersenyum. "Makasih, Bu. Ibu udah rawat Raffa dua hari ini," ucapnya tulus. Bu Farah mengusap lengan Raffa kemudian berkata, "Ini semua udah jadi kewajiban ibu, Nak. Kamu 'kan anak ibu satu-satunya." Beliau memandang wajah Raffa dengan sangat lama. Ada banyak perubahan dari putranya ini. Terlihat sangat dewasa dan semakin tampan. Raffa yang dipanda
Tengah malam Raffa terbangun lantaran lagi-lagi merasakan sesak di dadanya. Dia bangkit dari tempat tidur lantas keluar dari kamar dan menuju pantry. Tenggorokannya terasa kering, dia ingin mengambil air minum di kulkas.Setelah mengambil air dari kulkas, Raffa duduk di stoolbar lalu meminum cairan bening tersebut. Rasa dingin menjalar ke seluruh tenggorokan dan sedikit mengurangi sesak yang sempat menderanya. Raffa meletakkan botol air mineral yang masih tersisa separuh itu di meja."Heuh ...." Helaan napas panjang berembus di hidungnya. Bibirnya meringis menahan rasa nyeri yang terkadang masih muncul di bekas lukanya.Sampai detik ini dia masih merasa penasaran dengan sosok yang ingin menghabisinya. Selama ini Raffa merasa tidak mempunyai musuh di luaran sana. Namun, kenapa tiba-tiba ada orang yang mengeroyoknya hingga babak belur."Siapa orang itu?" Pikiran Raffa menerawang, bayangan kejadian tempo hari kembali berkelebat di ingatan.Seingatnya, orang yang memukulinya mengatakan ji
"Kenapa bisa begini, Raffa? Apa yang terjadi sama kamu? Mukamu kenapa banyak lebam dan luka-luka?" Belinda mencecar banyak sekali pertanyaan kepada Raffa yang saat ini berbaring di pangkuannya. Perempuan itu terkejut bukan main ketika melihat wajah kekasihnya yang tampan di bawah sinar lampu kamar miliknya. Bekas jahitan dan beberapa bekas luka bertebaran di seluruh wajah pemuda itu menjadi pusat perhatian Belinda. Dan, tanggapan Raffa justru membuat sang kekasih menjadi kesal bukan main. Dengan santainya dia malah menjawab, "Namanya juga anak muda, sekali-kali bandel dikit enggak apa-apa 'kan ya? Muka aku juga masih tetep keliatan ganteng 'kan?" Raffa mengerling nakal seraya mencium berulang tangan Belinda yang ada di kepalanya. Belinda menghela napas panjang, sambil memutar bola matanya ke atas. Dia heran, kekasihnya sangat percaya diri sekali. "Aku ini serius nanya, Raf. Kamu kenapa jawabnya kayak santai begitu," ujarnya sembari memindai wajah Raffa. "kamu itu malah tambah jel
Raffa mulai melumat dan memagut bibir tipis Belinda yang selama sepekan tidak dia sentuh. Bibir yang selalu terasa manis saat dia merasainya.Belinda melenguh kala tangan kokoh Raffa mulai menelusup di balik piyama tidurnya. Gesekan kulit tangan Raffa seperti sengatan aliran listrik yang membuat seluruh tubuhnya menegang."Raffa ...." Suara Belinda terdengar erotis di telinga Raffa yang sudah terbakar gairah sejak beberapa saat yang lalu.Pemuda itu mencium kening lalu turun ke kedua kelopak mata Belinda yang terpejam, lantas ganti mencium pipi putih itu."Kangen, Bel," bisiknya parau. Lantas, melumat bibir itu lagi dengan penuh nafsu. Ciuman itu turun ke leher jenjang Belinda, dan merambat ke tulang selangka, menggigitnya kecil hingga berbekas jejak keunguan."Eugh ...." Desahan kembali lolos dari bibir Belinda yang meremang dan semakin terbakar gairah.Tak berhenti di situ, pemuda yang saat ini tengah menikmati hangatnya kulit Belinda perlahan mengangkat tubuh langsing itu ke pangku
Sementara di Apartemen pemuda itu, ada dua orang yang sedang mencari keberadaan Raffa sejak tadi. Ibu Farah dan Vano kelimpungan lantaran tidak menemukan Raffa di manapun. "Vano, gimana ini? Raffa ke mana?" tanya bu Farah dengan cemas dan khawatir. Beliau tak henti berjalan mondar-mandir layaknya alat pelicin pakaian. "Hapenya pakek ditinggal lagi. Ibu jadi susah 'kan mau nelepon dia. Anak itu bener-bener." Bu Farah menggerutu kesal lantaran tak bisa mencari tahu di mana Raffa berada sekarang. Vano yang sedari tadi ikut-ikutan cemas juga turut merutuki sahabatnya itu. Dalam kondisi seperti itu, sebenarnya Raffa pergi ke mana. Hampir tiga jam dia dan bu Farah menunggu kepulangannya. "Raffa mungkin cari angin, Tante. Dia bawa mobilnya Vano," ujar Vano yang malah semakin menambah kecemasan bu Farah. Menatap terkejut sembari memijat pangkal hidungnya, bu Farah lantas berkata lagi. "Cari angin kok pakek mobil. Dia 'kan bisa di balkon kamar atau di sini." Mendesah gusar kemudian memici
Keesokannya, Vano dan Raffa tengah dalam perjalanan menuju bengkel, tempat di mana mobil Raffa di servis. Kondisi mobil yang lumayan parah memakan waktu yang juga agak lama untuk memperbaikinya. Dan, oleh karena itu Raffa harus merogoh kocek yang lumayan dalam agar bodi si Fortuner hitam kesayangannya kembali seperti semula."Ck! Gara-gara ulah itu orang mobil gue jadi dibawa ke sini. Udah bayarnya mahal lagi." Raffa berdecak nyaring hingga membuat Vano menoleh seraya menahan kesal."Sabar, Raf. Polisi juga lagi bertindak. Kita tinggal tunggu kabar dari mereka aja." Vano menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. Sudah hampir dua pekan kasus pengeroyokan itu dilaporkan. Namun, belum ada petunjuk dari pihak kepolisian mengenai perkembangan kasus tersebut. Seakan polisi sangat sulit untuk melacak keberadaan pelaku. "Huh! Kalo emang bener dalangnya si Bima, gue bakalan jeblosin dia ke penjara," ujar Raffa yang seketika ditanggapi Vano."Emang segampang itu?" Vano menautkan alisnya. "Bukannya
"Elu enggak ke diskotek?" tanya Raffa yang baru saja selesai mandi. Dia menghempaskan tubuhnya di sofa di samping Vano yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Gue lagi males. Capek, Raf!" Vano menyahuti tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Entah apa yang membuatnya sibuk seperti itu. "Ck! Bisa capek juga lu. Gue pikir enggak bisa," celetuk Raffa menanggapi keluhan Vano. Bola mata Vano memutar ke atas. "Ya kali, Raf! Emang gue robot, yang enggak bisa capek. Aneh lu!" sungutnya. "Masa sih?" Raffa melipat bibirnya seraya menahan tawa. "Bikin enak orang juga butuh tenaga kali, Raf! Apalagi kalo tante-tantenya minta lagi." Vano berseloroh seakan dia merasa tidak terima jika Raffa meragukannya. "Tapi 'kan lu dapet bonus." "Bonus apaan! Pelanggan gue pelit-pelit, Raf! Kesel gue! Jadi males kerja begituan lagi." Raffa berdecak seraya menggeleng. "Entar enggak bisa jajanin cewek lu. Kalo lu enggak kerja," ejeknya. "Udah putus gue, sama dia."Menggeser posisi duduknya, Raffa
Satu Minggu kemudian....Hari ini Raffa yang berniat ingin pergi ke pusat perbelanjaan secara tidak sengaja bertemu dengan Tante Rika. Pertemuan itu sungguh di luar dugaan, biar bagaimana pun Raffa sudah tidak ingin berurusan lagi dengan masa lalunya. Namun, demi menjaga perasaan seseorang yang pernah baik kepadanya, Raffa pun memutuskan untuk menerima tawaran Tante Rika.Perempuan itu meminta Raffa menemaninya makan. Hitung-hitung melepas kangen katanya. Dan, di sinilah mereka berada sekarang. Di sebuah foodcurt yang ada di mall."Denger-denger kamu udah enggak lagi kerja di diskotek, ya? Kenapa Raf? Kenapa kamu keluar?" tanya tante Rika yang sangat menyayangkan jika kabar yang dia dengar ternyata benar adanya.Raffa mengangguk cepat lantas menjawab, "Aku cuma mau cari kerjaan yang lain aja, Tan. Enggak mungkin juga 'kan aku selamanya kerja begituan." Jawaban yang cukup membuat perempuan di hadapannya termenung."Iya, tante paham. Tapi 'kan kamu udah banyak pelanggan, Raf? Emang engg
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam