"Raffa... mau ngasih tahu kalo Belinda...." "Belinda? Pacar kamu itu?" Ibu menyela ucapan Raffa. Beliau berusaha membaca raut sang anak yang nampak berbeda. Gusar dan cemas. Raffa mengangguk. "Iya." "Bukannya ibu udah pernah bilang ke kamu, mending lupain dia dan cari perempuan lain yang masih lajang," kata bu Farah mengingatkan kembali akan saran yang pernah beliau tuturkan kepada Raffa. "Tapi, Bu. Enggak segampang itu buat cari perempuan lain," sergah Raffa yang lelah dengan saran ibu yang ternyata belum berubah. Dia pikir, ibu akan mengubah pemikirannya tentang Belinda. Ibu menghela, menarik tangannya dari atas meja, kemudian memijat pelipisnya. Tak masalah jika Raffa ingin tetap bersama Belinda asal perempuan itu bukanlah istri orang atau masih ada hubungan dengan pria lain. Keinginan ibu cuma satu. Melihat putra satu-satunya itu bersanding dengan wanita yang dicintainya. Akan tetapi, jika mengingat kisah perjalanan cinta Raffa dan Belinda. Dan asal mula mereka menjalin hubu
Sepulang dari kantor, Raffa menyempatkan diri mampir ke toko kue terdekat untuk membelikan sesuatu yang diinginkan Belinda. Kekasihnya itu menelepon dan mengatakan jika sedang ingin makan Muffin Cokelat. Dan, kebetulan toko kue yang berada tidak jauh dari kantor menjual kue tersebut. Raffa memborong semua Muffin dengan aneka rasa. Sengaja melakukannya, agar Belinda bisa mencoba varian rasa lain. "Makasih," ucap Raffa kepada kasir yang ada di toko kue tersebut. Dia lantas pergi dari sana dengan menenteng dua kantung kresek transparan. Masuk ke mobil yang terparkir di depan toko, Raffa berencana akan langsung ke rumah Belinda saja agar tidak kemalaman. Roda empat berwarna hitam itu melesat dengan kecepatan sedang meninggalkan area parkir toko. Semenjak dia mengetahui kehamilan Belinda, Raffa menjadi sosok yang selalu siaga untuk perempuan berusia 33tahun itu. Dari informasi yang Raffa ketahui, bila ibu hamil akan mengalami ngidam atau semacam keinginan untuk memakan sesuatu dengan t
Bi Asri lantas pergi setelah menyelesaikan tugasnya. Sebagai seorang yang dekat dengan Belinda, wanita paruh baya itu turut merasa senang, melihat sang majikan akhirnya bisa menemukan kebahagiaan. Menurutnya, Belinda dan Raffa sangat terlihat serasa dan cocok. Dan, dari penilaian bi Asri, Raffa pemuda yang baik dan menyayangi istri dari majikannya. Bertahun-tahun tinggal satu rumah dan tahu semua tentang persoalan rumah tangga yang dijalani Belinda, beliau merasa jika perempuan berusia 33tahun tersebut sangatlah pantas mendapatkan semua ini. Laki-laki yang tulus mencintai dan menyayangi Belinda. Apalagi, saat mengetahui Belinda tengah mengandung. Bi Asri bertekad akan menjaga dan memberikan pelayanan ekstra untuk Belinda. Tak peduli bila anak yang dikandung bukanlah anak dari Bima—pria yang selama ini menggajinya. "Eh, Bu. Itu siapanya Nyonya, sih? Kok, tiap hari dateng ke sini? Emang Tuan Bima enggak masalah gitu, tahu istrinya didatengin cowok lain?" Salah satu pelayan yang beker
Pagi menjelang siang ini merupakan hari yang paling menegangkan bagi Belinda. Sejak Raffa mengajaknya masuk ke mobil, debaran di dadanya terus saja meningkat. Keringat dingin bermunculan di telapak tangan dan pelipisnya. Mencoba untuk mengenyahkan kegugupannya, Belinda pun akhirnya memilih untuk mengobrol dengan Raffa yang sedang sibuk menyetir. Dari pada dia menebak-nebak sendiri dan lama-kelamaan semakin takut. Lebih baik Belinda bertanya langsung kepada Raffa."Raf, ibu kamu gimana orangnya?" tanya Belinda, seraya memiringkan tubuhnya sedikit agar bisa menatap wajah Raffa yang semakin hari semakin ganteng saja. ck! Semenjak hamil, Belinda merasa menjadi BuCIN kepada pemuda itu. Apa yang dipakai dan menempel di tubuh sang kekasih selalu berhasil menjeratnya ke dalam pesona Raffa. "Ibu aku baik, kok," jawab Raffa singkat, lalu menoleh sekilas untuk meyakinkan Belinda jika apa yang dikatakannya adalah benar. Sang ibu sebenarnya orang yang baik. Hanya saja belakangan ini beliau menj
Raffa kembali melanjutkan laju mobilnya menuju rumah yang sebentar lagi hampir tiba. Ada rasa sedikit lega karena telah menceritakan semua hal yang perlu diketahui Belinda. Terutama tentang persoalan dan perseteruan dirinya dan sang ayah kala itu. Lalu, soal ibu yang masih belum merubah pendiriannya dan sikap yang perlu dimaklumi ketika bertemu dengan beliau. Sebagai seorang anak jelas Raffa ingin membuat ibunya itu bahagia, apalagi beliau sering sekali membelanya. Akan tetapi, saat ini ada seorang perempuan yang juga butuh tanggung jawabnya. Seorang wanita yang sangat dia cintai, tengah mengandung benihnya dan calon anak yang butuh sosok ayah. Kendati dilema dan posisinya sangat sulit, lantaran harus memilih antara kedua orang itu; Ibu dan Belinda. Raffa sebisa mungkin harus menentukan sikap dan pilihan. Belinda merupakan bagian terpenting di dalam kehidupannya saat ini. Berkat, perempuan itu juga Raffa menjadi sosok seperti sekarang. Sementara ibu juga tak kalah penting di dalam
Dari mulai melangkah masuk ke rumah hingga duduk di sofa, Raffa sama sekali tidak melepas genggaman tangannya pada Belinda. Dia yakin, jika saat ini kekasihnya itu pasti merasa sangat gugup dan canggung. Ini kali pertama Belinda berhadapan dengan ibu dan ayah, ketegangan begitu kentara di wajah perempuan berusia 33 tahun itu. Sementara ibu memerhatikan putranya dalam diam, berbeda dengan ayah yang menyambutnya dengan hangat. Ya, setidaknya ayah sudah bersikap benar, karena tidak mau menambah suasana menjadi semakin panas. Dulu, beliau pun pernah menentang dan sempat menaruh rasa tidak suka kepada Belinda. Alasannya? Tentu kalian masih ingat alasan ayah tidak menyukai kekasih anak laki-lakinya itu. Selain masih berstatus sebagai istri orang, Belinda juga alasan mengapa Bima menyuruh seseorang memukuli Raffa. Namun, saat ayah mengetahui kabar jika Belinda tengah hamil, beliau berusaha menerima semua kenyataan yang sudah terlanjur terjadi ini. Anggap saja nasi sudah menjadi bubur. D
Mendapat perlakuan tak menyenangkan, tak lantas membuat Belinda berkecil hati, apalagi marah. Dirinya cukup bisa memahami perasaan bu Farah yang belum sepenuhnya menerima kehadirannya di sini. Belinda mengerti jika ibu hanya menginginkan yang terbaik untuk Raffa. Tidak mungkin juga ada orang tua yang mau menerima begitu saja pacar anaknya yang masih berstatus istri pria lain.Ditambah dengan awal mula pertemuannya dengan Raffa, yang cukup membuat siapa saja pasti berpikiran negatif. Belinda juga tidak bisa memaksa ibu agar mau menerima dan merestui hubungan ini. Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai apa yang digariskan Tuhan. "Udah, Bel?" Raffa menghampiri Belinda yang baru saja keluar dari arah dapur. Belinda cuma mengangguk tanpa bersuara, dan tak berniat mengatakan apa yang baru saja terjadi di dapur. Cukup dia telan semuanya sendiri, tanpa memperkeruh keadaan yang awalnya sudah tidak berjalan sesuai harapan. Sudut mata Belinda melirik ibu yang sudah duduk di me
Setelah berkeliling mencari tukang rujak, akhirnya Raffa menemukannya tepat di pinggir jalan sebelum masuk ke area gedung Apartemen. Dia lantas turun dan menghampiri tukang rujak tersebut. Belinda yang tidak ikut turun hanya melongokkan kepala di jendela mobil. "Raf, minta sambelnya yang pedes sama mangganya dibanyakin," pintanya yang sudah tidak sabar ingin segera memakan buah asam itu. Sementara Raffa cuma mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Menuruti permintaan bumil agak susah-susah gampang, untuk sementara ini Belinda masih mengidam hal-hal yang wajar. Beberapa saat kemudian, Raffa kembali masuk ke mobil dan menyerahkan plastik transparan kepada Belinda. "Aku beliin sekalian sama buah-buahannya yang banyak. Itu ada dua bungkus." Manik Belinda berbinar, menerima bungkusan dari Raffa. "Udah enggak sabar pengen makan ini," cicitnya disertai ringisan di bibir. Entah mengapa semenjak hamil Belinda malah lebih sering makan buah ketimbang nasi atau pun makanan sejenisnya. Melihat
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam