Ruangan itu mendadak hening, sesaat Raffa menyampaikan niatnya kepada Bima. Sementara Bima, hanya diam sambil menggulirkan bola matanya, menatap bergantian Raffa dan Belinda.Tadinya, Bima pikir jika Raffa tidak akan pernah berani menemuinya secara langsung dan secara terang-terangan seperti ini. Namun, persepsinya selama ini tentang Raffa sedikit goyah. Dari segi usia, Raffa memang terlihat sangat muda dan nampak masih labil. Ternyata, di luar penampilannya, pemuda berusia 23 tahun itu mempunyai pemikiran dan tindakan yang matang.Sempat, tak percaya. Akan tetapi, Bima patut memberikan Raffa kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya layak untuk Belinda. Dari segi materi, Bima yakin jika Raffa bisa memenuhi itu semua. Mobil ada, tempat tinggal pun Raffa punya, bahkan bisa dikatakan sangat layak untuk ditempati.Lalu, pekerjaan?Ah, Bima hampir lupa menanyakan hal itu."Kamu sekarang kerja apa? Jangan bilang kalo kamu masih kerja di Kelab malam?" tanya Bima, menebak-nebak profesi Raff
"Hei." Tepukan di pundak, membuat Belinda tersentak. "Ngelamunin apa?" tanya Raffa, memegang tangan sang kekasih yang kini menatapnya.Raffa merasa penasaran dengan apa yang saat ini tengah dipikirkan perempuan itu sebab wajah yang awalnya ceria seketika berubah murung.Belinda menggeleng pelan, seraya melipat bibir. Tak lama setelah itu dia pun mengulas senyum. Meraih tangan Raffa lalu mengecupnya."Aku cuma keinget masa lalu aku. Dulu, waktu pertama kali aku ke rumah ini," ucap Belinda yang Raffa pikir ingin membuka obrolan.Alis Raffa menaut. "Terus?" Dia seolah memancing Belinda untuk bercerita lebih."Aku udah pernah cerita sebelumnya sama kamu. Soal permasalahan rumah tanggaku dengan Mas Bima yang sejak awal memang enggak bahagia."Raffa mengangguk. Tentu saja dia masih ingat itu semua. Beberapa bulan yang lalu, Belinda sering menceritakan permasalahan rumah tangganya. Tak hanya bercerita, kekasihnya itu pun sering menangis apabila mengingat kebodohannya yang mau dinikahi Bima.
Sepulangnya dari rumah Belinda yang sudah hampir menjelang tengah malam, Raffa masuk ke unitnya dengan perasaan bahagia. "Baru pulang? Abis dari mana?" Vano menyambut kedatangan Raffa dan langsung memberondong pertanyaan. Pemuda itu baru saja duduk dengan secangkir kopi di tangan. "Abis nganterin Belinda pulang." Raffa menyahut sembari menghempaskan tubuhnya di sofa yang bersebrangan dengan Vano. "Kok, elu jam segini ada di sini? Emangnya, elu enggak ke diskotek?" Raffa merasa heran sebab Vano malah ada di unitnya bukannya di diskotek. "Gue lagi males," jawab Vano singkat, lalu menghela pendek dan meraih cangkir kopi yang baru saja dia buat. Menyesapnya perlahan setelah dirasa suhunya sudah tidak terlalu panas.Kening Raffa mengernyit. "Ck! Males? Udah banyak duit 'kan lu sekarang? Makanya males kerja," cibirnya dengan senyuman mengejek. Raut masam langsung terlihat jelas di wajah Vano yang baru saja meletakkan cangkir ke meja. "Amin..." selorohannya itu justru mengundang decakan
Pagi ini, Raffa hampir saja kesiangan, akibat tidur yang terlalu malam. Tidak! Bukan malam, malah hampir menjelang subuh dia baru tidur. Obrolan dengan Vano tak terasa mengalir terus hingga keasyikan dan mereka malah begadang.Singkatnya, keduanya berbagi masalah yang kini tengah mereka hadapi dan saling memberi support. Meski masalah yang menimpa nampaknya begitu rumit dan pelik. Raffa dengan masalah mengejar restunya, sementara Vano dengan masalah dikejar-kejar pelanggannya."Ck! Gara-gara Vano gue jadi kesiangan." Dengan sedikit terburu-buru Raffa menyisir rambut yang sebelumnya sudah diberi Pomade. Kemudian, mematut penampilannya sekali lagi sesekali melirik jam yang menempel di dinding.Setelah memastikan semuanya telah cukup, Raffa bergegas meraih tas kerjanya yang selalu tergeletak di atas meja. Kakinya mengayun lebar-lebar menuju pintu kamar, lalu membukanya."Kesiangan, Raf?" tanya Vano yang juga baru saja keluar dari kamar tamu. Pemuda itu semakin terlihat kusut dan itu suks
"Ibu?" Raffa sontak berdiri dengan mulut ternganga. Menatap bu Farah yang sudah berada di sampingnya sambil susah payah menelan makanan yang baru saja dia kunyah. "Ibu, kok, ada di sini?" Kening ibu mengernyit. "Emangnya kenapa kalo ibu ke sini? Kamu enggak suka?" tanya ibu seraya menggelengkan kepala. Beliau merasa lucu dengan pertanyaan konyol Raffa. "Ya... ya... enggak kenapa-napa, sih, Bu. Cuma... kaget aja." Raffa menjawabnya dengan ringisan di bibir, sesekali menggaruk tengkuknya yang terasa panas. 'Kayanya Ayah ngejebak gue, deh...' Sudut mata Raffa melirik ayah yang terlihat santai menikmati makanannya tanpa terusik sama sekali. Mendadak dia jadi curiga dengan orang tua itu.ck! Raffa kesal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. "Ibu ke sini mau ketemu sama anak ibu dan pengen makan siang bareng." Bu Farah menarik kursi lalu mendaratkan bokongnya di sana. Kemudian menaruh tas yang dibawanya ke kursi yang kosong. "Ayo duduk. Kita makan bareng," ajak ibu sembari memegang tangan
"Raffa... mau ngasih tahu kalo Belinda...." "Belinda? Pacar kamu itu?" Ibu menyela ucapan Raffa. Beliau berusaha membaca raut sang anak yang nampak berbeda. Gusar dan cemas. Raffa mengangguk. "Iya." "Bukannya ibu udah pernah bilang ke kamu, mending lupain dia dan cari perempuan lain yang masih lajang," kata bu Farah mengingatkan kembali akan saran yang pernah beliau tuturkan kepada Raffa. "Tapi, Bu. Enggak segampang itu buat cari perempuan lain," sergah Raffa yang lelah dengan saran ibu yang ternyata belum berubah. Dia pikir, ibu akan mengubah pemikirannya tentang Belinda. Ibu menghela, menarik tangannya dari atas meja, kemudian memijat pelipisnya. Tak masalah jika Raffa ingin tetap bersama Belinda asal perempuan itu bukanlah istri orang atau masih ada hubungan dengan pria lain. Keinginan ibu cuma satu. Melihat putra satu-satunya itu bersanding dengan wanita yang dicintainya. Akan tetapi, jika mengingat kisah perjalanan cinta Raffa dan Belinda. Dan asal mula mereka menjalin hubu
Sepulang dari kantor, Raffa menyempatkan diri mampir ke toko kue terdekat untuk membelikan sesuatu yang diinginkan Belinda. Kekasihnya itu menelepon dan mengatakan jika sedang ingin makan Muffin Cokelat. Dan, kebetulan toko kue yang berada tidak jauh dari kantor menjual kue tersebut. Raffa memborong semua Muffin dengan aneka rasa. Sengaja melakukannya, agar Belinda bisa mencoba varian rasa lain. "Makasih," ucap Raffa kepada kasir yang ada di toko kue tersebut. Dia lantas pergi dari sana dengan menenteng dua kantung kresek transparan. Masuk ke mobil yang terparkir di depan toko, Raffa berencana akan langsung ke rumah Belinda saja agar tidak kemalaman. Roda empat berwarna hitam itu melesat dengan kecepatan sedang meninggalkan area parkir toko. Semenjak dia mengetahui kehamilan Belinda, Raffa menjadi sosok yang selalu siaga untuk perempuan berusia 33tahun itu. Dari informasi yang Raffa ketahui, bila ibu hamil akan mengalami ngidam atau semacam keinginan untuk memakan sesuatu dengan t
Bi Asri lantas pergi setelah menyelesaikan tugasnya. Sebagai seorang yang dekat dengan Belinda, wanita paruh baya itu turut merasa senang, melihat sang majikan akhirnya bisa menemukan kebahagiaan. Menurutnya, Belinda dan Raffa sangat terlihat serasa dan cocok. Dan, dari penilaian bi Asri, Raffa pemuda yang baik dan menyayangi istri dari majikannya. Bertahun-tahun tinggal satu rumah dan tahu semua tentang persoalan rumah tangga yang dijalani Belinda, beliau merasa jika perempuan berusia 33tahun tersebut sangatlah pantas mendapatkan semua ini. Laki-laki yang tulus mencintai dan menyayangi Belinda. Apalagi, saat mengetahui Belinda tengah mengandung. Bi Asri bertekad akan menjaga dan memberikan pelayanan ekstra untuk Belinda. Tak peduli bila anak yang dikandung bukanlah anak dari Bima—pria yang selama ini menggajinya. "Eh, Bu. Itu siapanya Nyonya, sih? Kok, tiap hari dateng ke sini? Emang Tuan Bima enggak masalah gitu, tahu istrinya didatengin cowok lain?" Salah satu pelayan yang beker