"Hei." Tepukan di pundak, membuat Belinda tersentak. "Ngelamunin apa?" tanya Raffa, memegang tangan sang kekasih yang kini menatapnya.Raffa merasa penasaran dengan apa yang saat ini tengah dipikirkan perempuan itu sebab wajah yang awalnya ceria seketika berubah murung.Belinda menggeleng pelan, seraya melipat bibir. Tak lama setelah itu dia pun mengulas senyum. Meraih tangan Raffa lalu mengecupnya."Aku cuma keinget masa lalu aku. Dulu, waktu pertama kali aku ke rumah ini," ucap Belinda yang Raffa pikir ingin membuka obrolan.Alis Raffa menaut. "Terus?" Dia seolah memancing Belinda untuk bercerita lebih."Aku udah pernah cerita sebelumnya sama kamu. Soal permasalahan rumah tanggaku dengan Mas Bima yang sejak awal memang enggak bahagia."Raffa mengangguk. Tentu saja dia masih ingat itu semua. Beberapa bulan yang lalu, Belinda sering menceritakan permasalahan rumah tangganya. Tak hanya bercerita, kekasihnya itu pun sering menangis apabila mengingat kebodohannya yang mau dinikahi Bima.
Sepulangnya dari rumah Belinda yang sudah hampir menjelang tengah malam, Raffa masuk ke unitnya dengan perasaan bahagia. "Baru pulang? Abis dari mana?" Vano menyambut kedatangan Raffa dan langsung memberondong pertanyaan. Pemuda itu baru saja duduk dengan secangkir kopi di tangan. "Abis nganterin Belinda pulang." Raffa menyahut sembari menghempaskan tubuhnya di sofa yang bersebrangan dengan Vano. "Kok, elu jam segini ada di sini? Emangnya, elu enggak ke diskotek?" Raffa merasa heran sebab Vano malah ada di unitnya bukannya di diskotek. "Gue lagi males," jawab Vano singkat, lalu menghela pendek dan meraih cangkir kopi yang baru saja dia buat. Menyesapnya perlahan setelah dirasa suhunya sudah tidak terlalu panas.Kening Raffa mengernyit. "Ck! Males? Udah banyak duit 'kan lu sekarang? Makanya males kerja," cibirnya dengan senyuman mengejek. Raut masam langsung terlihat jelas di wajah Vano yang baru saja meletakkan cangkir ke meja. "Amin..." selorohannya itu justru mengundang decakan
Pagi ini, Raffa hampir saja kesiangan, akibat tidur yang terlalu malam. Tidak! Bukan malam, malah hampir menjelang subuh dia baru tidur. Obrolan dengan Vano tak terasa mengalir terus hingga keasyikan dan mereka malah begadang.Singkatnya, keduanya berbagi masalah yang kini tengah mereka hadapi dan saling memberi support. Meski masalah yang menimpa nampaknya begitu rumit dan pelik. Raffa dengan masalah mengejar restunya, sementara Vano dengan masalah dikejar-kejar pelanggannya."Ck! Gara-gara Vano gue jadi kesiangan." Dengan sedikit terburu-buru Raffa menyisir rambut yang sebelumnya sudah diberi Pomade. Kemudian, mematut penampilannya sekali lagi sesekali melirik jam yang menempel di dinding.Setelah memastikan semuanya telah cukup, Raffa bergegas meraih tas kerjanya yang selalu tergeletak di atas meja. Kakinya mengayun lebar-lebar menuju pintu kamar, lalu membukanya."Kesiangan, Raf?" tanya Vano yang juga baru saja keluar dari kamar tamu. Pemuda itu semakin terlihat kusut dan itu suks
"Ibu?" Raffa sontak berdiri dengan mulut ternganga. Menatap bu Farah yang sudah berada di sampingnya sambil susah payah menelan makanan yang baru saja dia kunyah. "Ibu, kok, ada di sini?" Kening ibu mengernyit. "Emangnya kenapa kalo ibu ke sini? Kamu enggak suka?" tanya ibu seraya menggelengkan kepala. Beliau merasa lucu dengan pertanyaan konyol Raffa. "Ya... ya... enggak kenapa-napa, sih, Bu. Cuma... kaget aja." Raffa menjawabnya dengan ringisan di bibir, sesekali menggaruk tengkuknya yang terasa panas. 'Kayanya Ayah ngejebak gue, deh...' Sudut mata Raffa melirik ayah yang terlihat santai menikmati makanannya tanpa terusik sama sekali. Mendadak dia jadi curiga dengan orang tua itu.ck! Raffa kesal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. "Ibu ke sini mau ketemu sama anak ibu dan pengen makan siang bareng." Bu Farah menarik kursi lalu mendaratkan bokongnya di sana. Kemudian menaruh tas yang dibawanya ke kursi yang kosong. "Ayo duduk. Kita makan bareng," ajak ibu sembari memegang tangan
"Raffa... mau ngasih tahu kalo Belinda...." "Belinda? Pacar kamu itu?" Ibu menyela ucapan Raffa. Beliau berusaha membaca raut sang anak yang nampak berbeda. Gusar dan cemas. Raffa mengangguk. "Iya." "Bukannya ibu udah pernah bilang ke kamu, mending lupain dia dan cari perempuan lain yang masih lajang," kata bu Farah mengingatkan kembali akan saran yang pernah beliau tuturkan kepada Raffa. "Tapi, Bu. Enggak segampang itu buat cari perempuan lain," sergah Raffa yang lelah dengan saran ibu yang ternyata belum berubah. Dia pikir, ibu akan mengubah pemikirannya tentang Belinda. Ibu menghela, menarik tangannya dari atas meja, kemudian memijat pelipisnya. Tak masalah jika Raffa ingin tetap bersama Belinda asal perempuan itu bukanlah istri orang atau masih ada hubungan dengan pria lain. Keinginan ibu cuma satu. Melihat putra satu-satunya itu bersanding dengan wanita yang dicintainya. Akan tetapi, jika mengingat kisah perjalanan cinta Raffa dan Belinda. Dan asal mula mereka menjalin hubu
Sepulang dari kantor, Raffa menyempatkan diri mampir ke toko kue terdekat untuk membelikan sesuatu yang diinginkan Belinda. Kekasihnya itu menelepon dan mengatakan jika sedang ingin makan Muffin Cokelat. Dan, kebetulan toko kue yang berada tidak jauh dari kantor menjual kue tersebut. Raffa memborong semua Muffin dengan aneka rasa. Sengaja melakukannya, agar Belinda bisa mencoba varian rasa lain. "Makasih," ucap Raffa kepada kasir yang ada di toko kue tersebut. Dia lantas pergi dari sana dengan menenteng dua kantung kresek transparan. Masuk ke mobil yang terparkir di depan toko, Raffa berencana akan langsung ke rumah Belinda saja agar tidak kemalaman. Roda empat berwarna hitam itu melesat dengan kecepatan sedang meninggalkan area parkir toko. Semenjak dia mengetahui kehamilan Belinda, Raffa menjadi sosok yang selalu siaga untuk perempuan berusia 33tahun itu. Dari informasi yang Raffa ketahui, bila ibu hamil akan mengalami ngidam atau semacam keinginan untuk memakan sesuatu dengan t
Bi Asri lantas pergi setelah menyelesaikan tugasnya. Sebagai seorang yang dekat dengan Belinda, wanita paruh baya itu turut merasa senang, melihat sang majikan akhirnya bisa menemukan kebahagiaan. Menurutnya, Belinda dan Raffa sangat terlihat serasa dan cocok. Dan, dari penilaian bi Asri, Raffa pemuda yang baik dan menyayangi istri dari majikannya. Bertahun-tahun tinggal satu rumah dan tahu semua tentang persoalan rumah tangga yang dijalani Belinda, beliau merasa jika perempuan berusia 33tahun tersebut sangatlah pantas mendapatkan semua ini. Laki-laki yang tulus mencintai dan menyayangi Belinda. Apalagi, saat mengetahui Belinda tengah mengandung. Bi Asri bertekad akan menjaga dan memberikan pelayanan ekstra untuk Belinda. Tak peduli bila anak yang dikandung bukanlah anak dari Bima—pria yang selama ini menggajinya. "Eh, Bu. Itu siapanya Nyonya, sih? Kok, tiap hari dateng ke sini? Emang Tuan Bima enggak masalah gitu, tahu istrinya didatengin cowok lain?" Salah satu pelayan yang beker
Pagi menjelang siang ini merupakan hari yang paling menegangkan bagi Belinda. Sejak Raffa mengajaknya masuk ke mobil, debaran di dadanya terus saja meningkat. Keringat dingin bermunculan di telapak tangan dan pelipisnya. Mencoba untuk mengenyahkan kegugupannya, Belinda pun akhirnya memilih untuk mengobrol dengan Raffa yang sedang sibuk menyetir. Dari pada dia menebak-nebak sendiri dan lama-kelamaan semakin takut. Lebih baik Belinda bertanya langsung kepada Raffa."Raf, ibu kamu gimana orangnya?" tanya Belinda, seraya memiringkan tubuhnya sedikit agar bisa menatap wajah Raffa yang semakin hari semakin ganteng saja. ck! Semenjak hamil, Belinda merasa menjadi BuCIN kepada pemuda itu. Apa yang dipakai dan menempel di tubuh sang kekasih selalu berhasil menjeratnya ke dalam pesona Raffa. "Ibu aku baik, kok," jawab Raffa singkat, lalu menoleh sekilas untuk meyakinkan Belinda jika apa yang dikatakannya adalah benar. Sang ibu sebenarnya orang yang baik. Hanya saja belakangan ini beliau menj
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam