Uly menggeliatkan tubuhnya yang terasa pegal karena aktivitas yang mereka lakukan semalam cukup menguras tenaga.
Uly sangat tahu Dewa, laki-laki itu tak akan melewatkan kesempatan apalagi suasana di tempat ini sangat nyaman. Walaupun Uly sadar dimana dan bagaimana pun suasananya, darah muda Dewa akan terus mengelora.
"Good Morning, Wife," bisikan di sebelahnya membuat Uly meremang pasalnya hembusan hangat pemuda itu tepat mengenai telinganya yang kian sensitif.
"Ini udah hampir siang kalau kamu nggak tahu," sahut Uly seraya menggeliatkan tubuh.
"Hmm, benarkah?" tanya seraya mengulum senyum, tahu bahwa ini semua karena ulahnya yang tak pernah merasa puas mengejar gelombang asmara.
Uly mendengkus dan hendak menggeser lengan Dewa yang membelit tubuhnya. Perlahan Dewa duduk dan mencium perut Uly dengan penuh kelembutan. "Selamat pagi, Anak Daddy."
Uly mengulu
Cekidot!Di sebuah cafe pinggiran kota, seorang wanita muda bercelemek abu-abu sedang melayani pembeli di cafe kecilnya. Ibu muda yang memiliki gadis kecil dan membesarkannya seorang diri itu begitu bersemangat melihat pelanggan yang semakin ramai berdatangan.Dendis cafe yang terletak di sebuah kota kecil dengan keramahan penduduk sekitarnya. Wanita itu memilih tinggal di sana setelah melalui banyak lika liku hidup yang membuatnya menyesal hingga saat ini.Bahkan luka fisik yang diterimanya tak sesakit luka batin yang kini terus saja menghantui kemanapun ia pergi.Andai saja waktu bisa diulang kembali, ia pasti tak akan menyia-nyiakan seseorang yang sangat menyayangi dirinya kala itu.Kini, semua hanya tinggal kenangan. Tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih mengharapkan sebuah kesempatan. Biarlah ia dianggap tak tahu diri, tapi orang tidak akan pernah tahu apa yang dirasakannya kini. Sebuah rasa y
Dewa dan Uly sudah kembali ke rumah mereka setelah menginap satu malam di vila. Hubungan keduanya semakin membaik, bahkan kini Dewa tak segan lagi menunjukkan perhatian manisnya pada sang istri dan calon bayi."Waktunya minum susu, Honey!" seru Dewa dengan gelas berisi susu khusus ibu hamil di tangan.Uly yang sedang merias diri di depan cermin tersenyum geli, masih belum terbiasa dengan panggilan manis ala pasangan kasmaran yang Dewa sebutkan."Jangan dandan cantik-cantik, nanti kamu digodain orang," ujar Dewa masam.Uly yang sedang meminum susu hampir saja tersedak. "Terus aku harus jelek-jelekin wajah aku gitu? Kamu memangnya nggak malu nanti akunya jadi bahan gibahan orang-orang?"Dewa mengedikkan bahu seraya bersandar di meja rias. "Ngapain malu, toh aku tahu kamu cantik," sahutnya kalem.Sialnya hal itu malah membuat jantung Uly berdebar tak k
Sore ini Uly sedang sibuk memasak makan malam untuknya dan Dewa. Suaminya itu sedang mengecek bangunan bengkel yang sedang direnovasi.Kali ini Uly memasak ayam asam manis dan capcay. Sebenarnya Dewa sudah mengatakan untuk mencari pelayan agar pekerjaan Uly tak semakin berat. Pemuda itu selalu mengingatkannya agar tidak kelelahan.Uly meletakkan piring terakhir yang disusunnya di atas meja saat bel rumahnya berbunyi. Wanita itu melepas celemek hang membalut tubuhnya sebelum berjalan menuju pintu depan untuk melihat siapakah gerangan tamu yang bertandang di sore hari ini.Saat membuka pintu utama rasanya Uly begitu menyesal melakukannya karena nyatanya tamu yang sedang berdiri dengan wajah angkuh di depannya adalah orang yang paling tak ingin Uly temui saat ini."Ada apa?" tanya Uly ya
Setiap manusia mempunyai rencana, tapi tak semua dari rencana itu bisa berjalan lancar seperti yang dipinta. Sama seperti halnya Maharani yang sebenarnya datang ke rumah Dewa waktu itu untuk meracuni pikiran Uly tentang Dewa lagi, tapi sialnya Maharani tak bisa menahan emosi hingga berakhir dengan tamparan Uly yang hingga kini masih terasa nyeri di pipi.Arya yang mendengar cerita Maharani menggeleng tak percaya. Selain terkejut dengan keberanian Uly, ia juga tak habis pikir dengan kebodohan Maharani. Bagaimana bisa wanita itu malah melupakan rencananya dan berakhir dengan tamparan Uly.Ini tak bisa dibiarkan, Maharani sama sekali tak bisa diandalkan karena kerap menggunakan emosi dalam menjalankan rencana. Padahal seharusnya ia tinggal menun
Uly mengeratkan pegangannya di pinggang Dewa saat pria itu menekan gas sepeda motornya. Di gelapnya malam mereka saling membisu, meresapi segala rasa yang kini bercampur aduk di dalam kalbu.Dewa menghentikan sepeda motornya di sebuah taman yang dihias lampu bermacam warna. Banyak muda mudi yang sedang bersantai di sana.Uly memilih turun dan duduk di atas kursi panjang yang menghadap langsung ke kolam buatan yang pinggirannya di hias lampu berwarna hijau muda.Dewa ikut duduk di sana, diam membisu tanpa ingin menjelaskan sesuatu.Wanita yang kini tengah mengandung itu mengusap lembut perutnya yang masih terlihat rata."Kata orang tua, nggak baik wanita hamil keluar rumah malam-malam," ucap Uly memecah keheningan.Dewa spontan menoleh, menatap Uly dengan kening berkerut sebelum menyambar helm yang tadi ia letakkan d
Sepeninggalan sang suami, Uly menyesali kata-katanya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, ia merasa dirinya menjadi penghalang antara Gladys dan Dewa. Wanita itu menggeleng pelan, mengusap wajahnya yang sudah dibasahi air mata. Ia beranjak ingin menyusul Dewa yang meninggalkan dirinya dalam keadaan emosi. Uly menuruni tangga perlahan, berjalan menuju pintu depan tapi malah terkunci. Itu artinya Dewa tidak pergi keluar. Wanita itu menebak-nebak kemana perginya suami berondongnya itu. Saat ingin melewati Dapur, Uly mendapati Dewa yang sedang mengaduk susu di dalam gelas. Wanita berbadan dua itu pun mendekati sang suami yang wajahnya masih sama datar ketika pergi dari kamar tadi. "Wa," panggil Uly pelan. Dewa menoleh, lalu menyodorkan gelas berisi susu pada Uly. "Terima kasih," ucap wanit
Uly sedang berkutat di dapur dengan beberapa pelayan yang membantunya. Sesuai janji, Dewa berkunjung ke rumah sang Papi untuk acara makan malam kali ini.Banyak menu terhidang yang beberapa di antaranya adalah hasil dari masakan Uly sendiri. Kini hanya tinggal satu masakan lagi, maka semua menu siap di sajikan.Ketukan sepatu yang semakin mendekat membuat debat jantung Uly semakin kencang. Ia bisa menebak siapa orang itu."Masih berani menunjukkan wajah di sini?" bisik wanita paruh baya itu di sebelah Uly, berpura-pura mengambil gelas agar citranya tetap terlihat baik di mata para pelayan.Uly meletakkan piring di meja dan mematikan kompor karena menu terakhir yang dimasaknya sudah matang."Aku menantu di rumah ini, Ma, tidak mungkin tidak datang," sahut Uly pelan.Tere mendengkus
Dewa melipat tangan di dada, menatap bergantian pada Gladys dan anaknya. "Lo tahu siapa papa anak ini?" tanya pemuda itu.Ada sinar keterkejutan di mata wanita itu. Mungkin ia tak menyangka Dewa akan menanyakannya."Aku nggak mau cari tahu," sahutnya pelan.Dewa mendengkus seraya terkekeh pelan. "Masalah lo sendiri aja nggak bisa lo urus, tapi malah sok sokan ngurusin masalah orang lain," sindirnya tajam.Gladys menggeleng. "Itu karena aku peduli sama kamu, Dewa.""Lo aja nggak peduli sama masalah lo sendiri!""Aku bukan nggak peduli, tapi aku nggak mau makin sakit hati. Saat itu aku mabuk berat dan terbangun di pagi hari di sebuah kamar dengan keadaan berantakan," ungkap wanita itu berlinang air mata.Uly yang mendengar hal itu merasa simpati, ingin sekali ia memeluk atau sekedar menepuk bahu wanita itu untuk menguatkan."Jadi mama sebena