Di sebuah cafe pinggiran kota, seorang wanita muda bercelemek abu-abu sedang melayani pembeli di cafe kecilnya. Ibu muda yang memiliki gadis kecil dan membesarkannya seorang diri itu begitu bersemangat melihat pelanggan yang semakin ramai berdatangan.
Dendis cafe yang terletak di sebuah kota kecil dengan keramahan penduduk sekitarnya. Wanita itu memilih tinggal di sana setelah melalui banyak lika liku hidup yang membuatnya menyesal hingga saat ini.
Bahkan luka fisik yang diterimanya tak sesakit luka batin yang kini terus saja menghantui kemanapun ia pergi.
Andai saja waktu bisa diulang kembali, ia pasti tak akan menyia-nyiakan seseorang yang sangat menyayangi dirinya kala itu.
Kini, semua hanya tinggal kenangan. Tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia masih mengharapkan sebuah kesempatan. Biarlah ia dianggap tak tahu diri, tapi orang tidak akan pernah tahu apa yang dirasakannya kini. Sebuah rasa y
Dewa dan Uly sudah kembali ke rumah mereka setelah menginap satu malam di vila. Hubungan keduanya semakin membaik, bahkan kini Dewa tak segan lagi menunjukkan perhatian manisnya pada sang istri dan calon bayi."Waktunya minum susu, Honey!" seru Dewa dengan gelas berisi susu khusus ibu hamil di tangan.Uly yang sedang merias diri di depan cermin tersenyum geli, masih belum terbiasa dengan panggilan manis ala pasangan kasmaran yang Dewa sebutkan."Jangan dandan cantik-cantik, nanti kamu digodain orang," ujar Dewa masam.Uly yang sedang meminum susu hampir saja tersedak. "Terus aku harus jelek-jelekin wajah aku gitu? Kamu memangnya nggak malu nanti akunya jadi bahan gibahan orang-orang?"Dewa mengedikkan bahu seraya bersandar di meja rias. "Ngapain malu, toh aku tahu kamu cantik," sahutnya kalem.Sialnya hal itu malah membuat jantung Uly berdebar tak k
Sore ini Uly sedang sibuk memasak makan malam untuknya dan Dewa. Suaminya itu sedang mengecek bangunan bengkel yang sedang direnovasi.Kali ini Uly memasak ayam asam manis dan capcay. Sebenarnya Dewa sudah mengatakan untuk mencari pelayan agar pekerjaan Uly tak semakin berat. Pemuda itu selalu mengingatkannya agar tidak kelelahan.Uly meletakkan piring terakhir yang disusunnya di atas meja saat bel rumahnya berbunyi. Wanita itu melepas celemek hang membalut tubuhnya sebelum berjalan menuju pintu depan untuk melihat siapakah gerangan tamu yang bertandang di sore hari ini.Saat membuka pintu utama rasanya Uly begitu menyesal melakukannya karena nyatanya tamu yang sedang berdiri dengan wajah angkuh di depannya adalah orang yang paling tak ingin Uly temui saat ini."Ada apa?" tanya Uly ya
Setiap manusia mempunyai rencana, tapi tak semua dari rencana itu bisa berjalan lancar seperti yang dipinta. Sama seperti halnya Maharani yang sebenarnya datang ke rumah Dewa waktu itu untuk meracuni pikiran Uly tentang Dewa lagi, tapi sialnya Maharani tak bisa menahan emosi hingga berakhir dengan tamparan Uly yang hingga kini masih terasa nyeri di pipi.Arya yang mendengar cerita Maharani menggeleng tak percaya. Selain terkejut dengan keberanian Uly, ia juga tak habis pikir dengan kebodohan Maharani. Bagaimana bisa wanita itu malah melupakan rencananya dan berakhir dengan tamparan Uly.Ini tak bisa dibiarkan, Maharani sama sekali tak bisa diandalkan karena kerap menggunakan emosi dalam menjalankan rencana. Padahal seharusnya ia tinggal menun
Uly mengeratkan pegangannya di pinggang Dewa saat pria itu menekan gas sepeda motornya. Di gelapnya malam mereka saling membisu, meresapi segala rasa yang kini bercampur aduk di dalam kalbu.Dewa menghentikan sepeda motornya di sebuah taman yang dihias lampu bermacam warna. Banyak muda mudi yang sedang bersantai di sana.Uly memilih turun dan duduk di atas kursi panjang yang menghadap langsung ke kolam buatan yang pinggirannya di hias lampu berwarna hijau muda.Dewa ikut duduk di sana, diam membisu tanpa ingin menjelaskan sesuatu.Wanita yang kini tengah mengandung itu mengusap lembut perutnya yang masih terlihat rata."Kata orang tua, nggak baik wanita hamil keluar rumah malam-malam," ucap Uly memecah keheningan.Dewa spontan menoleh, menatap Uly dengan kening berkerut sebelum menyambar helm yang tadi ia letakkan d
Sepeninggalan sang suami, Uly menyesali kata-katanya sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, ia merasa dirinya menjadi penghalang antara Gladys dan Dewa. Wanita itu menggeleng pelan, mengusap wajahnya yang sudah dibasahi air mata. Ia beranjak ingin menyusul Dewa yang meninggalkan dirinya dalam keadaan emosi. Uly menuruni tangga perlahan, berjalan menuju pintu depan tapi malah terkunci. Itu artinya Dewa tidak pergi keluar. Wanita itu menebak-nebak kemana perginya suami berondongnya itu. Saat ingin melewati Dapur, Uly mendapati Dewa yang sedang mengaduk susu di dalam gelas. Wanita berbadan dua itu pun mendekati sang suami yang wajahnya masih sama datar ketika pergi dari kamar tadi. "Wa," panggil Uly pelan. Dewa menoleh, lalu menyodorkan gelas berisi susu pada Uly. "Terima kasih," ucap wanit
Uly sedang berkutat di dapur dengan beberapa pelayan yang membantunya. Sesuai janji, Dewa berkunjung ke rumah sang Papi untuk acara makan malam kali ini.Banyak menu terhidang yang beberapa di antaranya adalah hasil dari masakan Uly sendiri. Kini hanya tinggal satu masakan lagi, maka semua menu siap di sajikan.Ketukan sepatu yang semakin mendekat membuat debat jantung Uly semakin kencang. Ia bisa menebak siapa orang itu."Masih berani menunjukkan wajah di sini?" bisik wanita paruh baya itu di sebelah Uly, berpura-pura mengambil gelas agar citranya tetap terlihat baik di mata para pelayan.Uly meletakkan piring di meja dan mematikan kompor karena menu terakhir yang dimasaknya sudah matang."Aku menantu di rumah ini, Ma, tidak mungkin tidak datang," sahut Uly pelan.Tere mendengkus
Dewa melipat tangan di dada, menatap bergantian pada Gladys dan anaknya. "Lo tahu siapa papa anak ini?" tanya pemuda itu.Ada sinar keterkejutan di mata wanita itu. Mungkin ia tak menyangka Dewa akan menanyakannya."Aku nggak mau cari tahu," sahutnya pelan.Dewa mendengkus seraya terkekeh pelan. "Masalah lo sendiri aja nggak bisa lo urus, tapi malah sok sokan ngurusin masalah orang lain," sindirnya tajam.Gladys menggeleng. "Itu karena aku peduli sama kamu, Dewa.""Lo aja nggak peduli sama masalah lo sendiri!""Aku bukan nggak peduli, tapi aku nggak mau makin sakit hati. Saat itu aku mabuk berat dan terbangun di pagi hari di sebuah kamar dengan keadaan berantakan," ungkap wanita itu berlinang air mata.Uly yang mendengar hal itu merasa simpati, ingin sekali ia memeluk atau sekedar menepuk bahu wanita itu untuk menguatkan."Jadi mama sebena
Wanita itu menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Wajah lelah dan mata yang bengkak karena menangis terlihat jelas di sana. Kejutan demi kejutan yang Dewa lontarkan begitu membuatnya terkejut. Apalagi kebenaran tentang Arya yang sungguh tak seperti pria yang dulu ia anggap sangat dewasa dan bijaksana.Uly menghela napas panjang. Hari ini begitu berat meski hatinya sedikit lega karena ternyata anak yang dibawa Gladys memang benar-benar bukan milik Dewa. Katakan dia wanita jahat, tapi sungguh ia tak akan bisa membayangkan jika saja anak itu adalah anak Dewa. Uly pasti akan sangat kecewa dan kemungkinan saja tak akan bisa menerima Dewa.Pintu kamar mandi terbuka, menunjukkan Dewa yang berjalan mendekat dengan bertelanjang dada."Are you okay, Honey?" bisiknya seraya mengecup pelipis sang isteri."Harusnya aku yang tanya begitu sama kamu," sahut Uly lembut.Dewa tersenyum dalam ciumannya. "Aku baik, bahkan sangat baik.""Kamu lega?" t
Suatu pagi yang cerah di sebuah kediaman milik Angkasa, matahari menyapa lewat sinarnya yang menembus dari celah gorden. Di atas ranjang yang cukup berantakan itu tidur seorang pria yang masih bergelung dengan selimut bersama sang istri di dalam pelukannya. Kedua manusia itu begitu menikmati waktu istirahat mereka setelah menakhlukkan gelombang asmara yang menggulung keduanya hingga hampir subuh tadi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu bersama celotehan seorang bocah satu tahun yang merengek di dekat kaki sang kakek. "Cup ... cup ... cup. Tunggu sebentar, opa bangunkan dulu orang tuamu yang seperti kerbau itu," ujarnya berusaha menenangkan sang cucu yang mencari papinya saat baru bangun tidur itu. "Pi ... Pii ... Piii ...." rengek Bara sembari menarik narik celana Abas. "Astaga! Dasar Anak kurang ajar," gerutu pria paruh baya itu sebelum mengumpulkan suara dan menambah
Menjelang fajar, Dewa dan sang Papi tiba di rumah setelah memberi beberapa keterangan di kantor polisi dan menyerahkan semuanya kepada petugas yang berwajib. Rasa lelah dan juga letih yang dirasakan oleh pria itu seolah hilang tak bersisa ketika melihat wajah damai anak dan istrinya yang masih tertidur pulas di dalam kamar. Dewa segera membersihkan diri dengan kilat lalu ikut bergabung di atas ranjang dan memeluk istrinya dengan erat. Hal itu tentu saja langsung membuat Uly terjaga dan membalikkan tubuh menatap wajah suaminya yang tersenyum sangat lebar. "Kamu kenapa?" tanya wanita itu heran karena wajah pria itu yang terlihat sangat cerah. "Kangen kamu," sahut Dewa sembari mengecup sudut bibir wanita itu yang masih terperangah karena merasa heran. "Aneh," gumam Uly Yang masih bisa didengar oleh Dewa.
Arya dan Gladys menyadari bahwa mereka saat ini sudah terkepung dan tidak bisa melarikan diri dengan mudah begitu saja."Papa," ujar Arya yang jauh di lubuk hatinya masih menyimpan rasa hormat dan segan pada orang tua yang telah menyekolahkannya hingga ke luar negeri itu."Sudah kuduga kamu tidak datang sendiri," desis Gladys yang menarik sebuah pistol dari saku Arya."Jangan macam-macam, Gladys! Ingat anakmu," ucap Abas memberi peringatan kepada wanita itu yang sudah mengacungkan senjata ke arah Abbas dan Dewa secara bergantian.Wanita itu menatap keduanya dengan penuh kebencian. "Tidak perlu repot-repot menasehatiku! Anak bukan sesuatu hal yang begitu penting untukku," desis wanita itu.Abbas terperangah tak percaya. Bagaimana bisa wanita yang dulu begitu lugu dan pendiam itu kini menjelma jadi wanita yang tak memiliki perasaan bahkan kepada darah dagingnya sendiri.&nbs
Mereka tiba di kediaman Abbas Angkasa saat matahari mulai terbenam di ufuk barat. Tepat saat sang Papi baru saja pulang dari kantor."Wow ... kalian datang bersama cucu opa!" serunya tampak begitu bahagia seperti dugaan Dewa sebelum mereka datang kemari."Eits. Papi dari luar rumah dan langsung ingin menggendong Bara? Yang benar saja!" tegur Dewa galak.Abas yang tadi sudah mengulurkan tangan ingin mengambil Bara dari gendongan Uly kini mengurungkan niatnya dengan wajah ditekuk masam.Dewa mengabaikan ekspresi berlebihan papinya itu dan segera menarik Uly untuk masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Abbas yang protes karena diabaikan padahal dirinya lah tuan rumah yang sebenarnya di sini.Setelah Abas selesai membersihkan diri, pria paruh baya itu langsung meminta Bara ke dalam gendongannya. Bahkan ketika waktu makan malam tiba, Papi Dewa itu tetap enggan untuk melepaskan Bara dan mengatakan dirinya akan makan malam sendiri nanti setelah Bara tert
Hari ini Dewa dan Uly bersiap untuk memenuhi panggilan dari pihak kepolisian yang akan memintai keterangan pada kedua orang tua bayi tersebut. Sebenarnya bisa saja hanya Dewa yang datang ke kantor polisi karena mengingat Uly yang masih dalam penyembuhan luka pasca melahirkan.Namun wanita itu ngotot ingin ikut dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan berjanji tidak akan berlama-lama di sana membuat Dewa tak kuasa untuk menolak meski sebenarnya ia tak tahu pasti berapa lama waktu yang diperlukan oleh pihak kepolisian dalam memintai keterangan kali ini.Ibu Uly masih tinggal di rumah mereka, sementara Ayahnya sudah lebih dulu pulang ke kampung karena ada beberapa pekerjaan yang harus diurusnya. Maka dari itu Dewa berinisiatif untuk meninggalkan anaknya di rumah bersama mertua dan beberapa pelayan serta bodyguard yang menjaga dengan ketat karena biar bagaimanapun ia cukup merasa trauma dengan kejadian penculikan itu.
Uly menyambut kepulangan anak dan suaminya dengan penuh sukacita. Wanita itu bahkan menangis sesenggukan sembari memeluk bayi mungil yang menatapnya dengan mata berkedip lucu. Tak ada yang bisa Uly katakan selain ucapan penuh syukur.Dewa tersenyum dengan mata berkaca-kaca, sungguh ia lega luar biasa meski sebenarnya masalah ini belum benar-benar selesai karena dalang dari kekacauan ini belum benar-benar bisa dipastikan.Memang Abas sempat mendapat kabar bahwa Arya melarikan diri dari penjara beberapa hari yang lalu. Tapi jika mengingat tentang pengakuan Marina sebelum diseret polisi beberapa jam yang lalu, maka bisa dipastikan bahwa bukan hanya pria itu yang menjadi otak dari penculikan ini.Meski sempat meragu, tapi Dewa meminta pihak kepolisian untuk memeriksa Maharani di mana yang ia tahu wanita itu adalah mantan kencan dari Arya bahkan sempat mengandung anak pria itu yang dulu sempat menjadi sorotan di acara pesta p
Dewa sudah memeriksa semua CCTV, melapor pada pihak kepolisian serta mengerahkan semua orang kepercayaannya serta detektif yang juga papinya sewa. Tak banyak yang mereka dapatkan selain seorang suster yang membawa anak mereka keluar dari ruang bayi karena wanita yang mereka lihat dengan masker putih itu menghilang di zona yang memang tidak terpasang CCTV.Namun ada informasi yang Dewa terima dari seorang satpam yang mencurigai gerak-gerik seseorang saat keluar rumah sakit dengan membawa sebuah tas besar serta memakai topi dan masker dan juga jaket tebal di siang bolong yang terik.Orang itu pergi menggunakan taksi menuju arah barat, dan hal itu cukup membantu bagi Dewa untuk segera menghubungi perusahaan taksi tersebut dan mencari informasi sedetail-detailnya agar mengetahui kemana perginya orang yang mencurigakan itu."Kamu yakin dia orangnya?" tanya Uly masih dengan isak tangis yang benar-benar tak bisa berhenti
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, pukul sepuluh pagi, Uly dan Dewa sudah berada di sebuah rumah sakit yang telah dijanjikan oleh dokter kandungan sebagai tempat Uly menjalani operasi sesar. Papi Dewa dan orang tua Uly juga hadir di sana untuk menemani putra-putri mereka yang jelas terlihat sekali gugup sekaligus cemas.Apalagi Dewa yang bahkan sampai berkeringat karena mengingat banyak sekali kasus kematian seorang ibu setelah melahirkan anaknya. Sungguh, Dewa tak ingin kehilangan salah satu dari mereka."Kamu harus tenang. Malu sama anak kamu nanti kalau pas dia lahir, papinya malah pingsan," ucap Abas berusaha untuk melemparkan lelucon agar suasana hati Dewa sedikit mencair.Tapi ternyata hal itu sia-sia saja karena putra semata wayangnya itu tak menggubris ucapan Abas dan hanya melirik sekilas tanpa respon karena memang saat ini dia tidak ingin berdebat dengan papinya.Uly sendiri sudah memulai
Pagi yang cerah dan begitu membahagiakan apalagi bagi kedua insan yang sedang menikmati udara segar di taman yang terlihat semakin indah dan rapi karena beberapa bulan belakangan mereka sudah menambah beberapa pekerja untuk mengurus rumah mereka hingga kini terlihat lebih rapi dan nyaman untuk ditinggali keluarga kecil mereka. Kehamilan wanita itu sudah hampir tiba di hari perkiraan lahir yang mana dokter telah menjadwalkan operasi sesar untuk Uly dan bayinya. Hal itu disebabkan karena Dewa yang meminta agar wanita itu tidak merasa kesakitan saat melahirkan karena setahu Dewa sikap perempuan yang lahir secara sesar maka dirinya akan diinfus dan tidak merasakan sakit. Padahal Uly sudah memberitahu agar suaminya itu paham bahwa melahirkan secara normal maupun sesar sebenarnya sama-sama menyakitkan karena setelah operasi, kegunaan bius itu juga akan hilang dan semua ibu akan berjuang untuk memulih