"Nuraini, jangan becanda!" sentak Agus marah.Laki-laki itu memegang wajah istrinya dengan tatapan tajam. Nur memalingkan wajah. Hatinya kembali terasa sakit mengingat ucapan laki-laki yang bernama Gino tadi."Sudah Mas, kita siap-siap pulang."Nuraini beranjak namun Agus segera menyambar lengannya. Agus memeluk tubuh Nur dengan erat."Nuraini, percaya sama aku. Aku sudah jelaskan semuanya. Kamu lebih percaya sama orang yang baru kamu temui atau suami kamu, Nur?" tanyanya lirih di balik bahu sang istri. Agustus melepaskan pelukan dan kembali memegang wajah Nur. Menatap kedua mata wanita itu dengan sendu."Aku bukannya nggak tahu, aku juga bukannya nggak dengar gosip tentang aku setelah aku berpisah dengan Susan. Tapi aku nggak perlu menjelaskan apa-apa karena itu nggak penting. Aku nggak pernah berurusan dengan mereka, Nur. Dan sekarang mereka akan diam dengan sendirinya."Nuraini bertanya ragu. "Lalu, lalu ... ke-kenapa, laki-laki itu berkata begitu, Mas?"Agustus mendesah kasar lal
Agus berjingkat kaget. Nuraini memperhatikan serpihan-serpihan kertas yang berada di dalam kloset dengan kening berkerut."Kertas apa itu?" tanya Nur lagi."Eh, bukan apa-apa, Nur. Kertas nggak penting," jawab Agus gugup, lalu menekan tombol kloset. Kini perhatian Nur beralih pada suaminya. Dia yakin, ada hal penting yang disembunyikan oleh Agus. Apalagi wajah laki-laki itu terlihat murung dan sembab. Kalau tidak penting kenapa buangnya di kloset? Nur hanya bisa membatin.Nuraini mengangkat tangan, memegang wajah suaminya. "Mas menangis? Ada apa ini? Apa ada sesuatu yang serius dengan Ibuk, Mas?" cecarnya khawatir.Agustus menggeleng dan menepis pelan tangan sang istri. Dia juga tidak berani membalas tatapan mata wanita itu. Agus bergegas keluar dari kamar mandi. Nuraini yang masih penasaran mengekor."Kita siap-siap pulang, Nur," Agus segera mengambil baju-bajunya. "Mas, sebenarnya kenapa dengan Ibuk?" tanya Nur sambil memegang lengan sang suami sehingga Agus menghentikan kegiatann
Nuraini tersenyum miris. Menyesalkan sikap agresifnya pada Agus. Walaupun Agus berstatus sebagai suami, namun jika laki-laki itu tidak sungguh-sungguh berusaha mencintainya, semua yang Nur lakukan seperti sia-sia.Nur merasa dirinya tak lebih dari perempuan muda murahan. Kembali setetes air jatuh ke pipinya. Nur mengusapnya cepat, supaya tidak dilihat oleh Agus."Nuraini, kamu jangan bicara kayak begitu. Tolong pahami aku, Nur. Bersabarlah, cinta itu nggak bisa dipaksakan. Dia akan datang seiring berjalannya waktu. Kamu mengerti?""Iya, Mas. Aku sudah siap, Mas." Nuraini mengalihkan pembicaraan. Dia kembali memeriksa barang bawaannya. Agus menggeleng samar memperhatikan istrinya itu. Agustus mendekat ke arah Nur, tetapi dengan cepat Nur menghindar."Nuraini!" Merasa diabaikan, Agus menjadi geram. Dia menarik tangan Nur dan mendekap tubuh mungil itu dengan erat. Nuraini memalingkan wajah ketika Agus hendak mendaratkan ciuman di bibirnya. Wanita itu mendorong pelan tubuh Agus berusaha
"Omong kosong macam apa, ini, Nuraini!" Agus kembali terpancing emosi. Laki-laki itu bangkit dan memejamkan mata. Kedua tangannya masih terkepal dengan kuat."Arrgh!" Pyaar! Agus menggeser kasar benda di atas meja. Piring dan gelas di atas meja makan itu jatuh ke lantai dan isinya berhamburan. Nuraini bergerak pelan, lalu bersimpuh di lantai dengan air mata bercucuran. Dengan pandangan samar akibat tertutup air mata, Nur memunguti pecahan piring dan gelas. Sesekali pula dia menyeka air matanya dengan punggung tangan."Jangan sentuh. Kamu menyingkirlah!" perintah Agus tegas, tetapi tidak dihiraukan oleh Nur.Agustus menepis pelan tangan Nuraini dan kembali meminta istrinya meninggalkan tempat itu. "Pergilah ke kamar. Kamu mandi dulu. Aku antar kamu ke makam Banu," ucap Agus dengan suara melunak. Nur tertegun sejenak lalu mengangguk. Dia bangkit sambil memegang pecahan piring."Arrgh!" "Nuraini!" Agus segera mendekati istrinya yang kembali bersimpuh sambil memegangi telapak kakin
"Nggak apa-apa, Mbah. Kalau Nur ingin tidur di rumah Mbah."Nenek Kanti langsung menoleh. Dia mengikuti langkah Agus dengan pandangannya. Laki-laki itu meletakkan satu box ayam goreng berserta lalapan.Nur melirik sekilas paper food box bertuliskan Kemangi Ijo. Dia tahu, itu rumah makan milik Farrel. Tiba-tiba Nur teringat akan cinta pertamanya yang tak sampai pada Farrel karena Nur minder dan sadar diri. Sekarang, Farrel telah bahagia bersama istri dan anaknya yang lucu. Nur sedikit tahu, awal rumah tangga Farrel dan Alifa yang selalu diwarnai pertengkaran. Namun mereka berdua bisa melewati saat-saat itu seiring hadirnya Alfa. Nur berharap dirinya tidak menyerah dan bisa menaklukkan hati Agus, suaminya. Ah, seandainya dia bisa. Nur tertawa miris dalam hati.Agus mengambil tiga buah piring dan sendok, lalu meletakkan masing-masing di hadapan Nenek Kanti, Nur, dan dirinya sendiri. Agus juga mengambilkan potongan ayam untuk sang istri dan Nenek Kanti."Makan, dulu. Cocok banget ada pec
"Dua hari saja, ya, Nur. Jangan lama-lama di rumah Mbah," rengek Agus lagi seperti anak kecil.Nuraini memejamkan mata. Dia tidak tahu orang macam apa suaminya ini. Nur mendorong pelan dada Agus, meminta lelaki itu melepaskan pelukannya.Nur mendongak dan menggenggam tangan suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Aku nggak bisa di sini terus, Mas. Aku pengin tenang. Biarkan kita sama-sama berpikir," ucapnya kemudian kembali mencium punggung tangan suaminya.Dengan tak rela, Agus melepaskan pelukan. Mereka menoleh ketika mendengar suara mobil berhenti di dekat pagar rumah. Agustus kembali menatap Nur dengan tatapan penuh arti."Kamu manggil taksi, Nur? Biar aku antar," ucap laki-laki itu.Nur menggeleng pelan dan mengambil tas pakaiannya. Wanita itu bergegas keluar kamar. Langkah Nur terhenti di anak tangga paling bawah. Dia menatap datar pada Bella yang berdiri di ambang pintu. Lalu, Nur melirik suaminya yang berdiri di sampingnya. Bella melangkah mendekat dengan gaya angkuhnya dan mempe
"Lho, terus ke mana, Nduk?" tanya tukang ojek itu bingung.Nur segera naik kembali ke boncengan motor setelah memberikan sebuah alamat. Nur tidak ingin ke rumah Nenek Kanti, setidaknya untuk hari ini."Lha, kok nggak diantar sama Pak Lurah, to Nduk?" tanya laki-laki itu samar di antara desau angin."Mas Agus lagi banyak kerjaan, Pakdhe." Nur menjawab asal. Laki-laki paruh baya yang tengah fokus menyetir motor itu mengangguk samar meskipun tidak percaya alasan yang diutarakan oleh Nuraini. Tidak kurang dari 15 menit, motor berhenti di depan pintu pagar rumah cluster. "Terima kasih, Pakdhe. Kembaliannya buat Njenengan saja," ucap Nur sembari memberikan uang seratus ribu."Yuuh, matursuwun ya, Nur. Moga saja rezeki kamu dan Pak Agus tambah berkah.""Aamin!" Rupanya, pembicaraan Nur dan tukang ojek itu didengar pemilik rumah yang tengah berada di garasi. Laki-laki muda itu mendekat dan membuka pintu pagar."Nuraini, ka-kamu." Pandangan Farrel lantas tertuju pada tas pakaian yang tergel
Nenek Kanti termangu. Kini yang ada di pikiran wanita sepuh itu, di mana cucunya. Nenek Kanti menatap Agus menyelidik."Jadi, Nur pergi dari rumah karena perempuan itu lagi, Gus?" cecarnya.Agus tidak membenarkan atau pun menyalahkan. Memang, salah satu faktor kepergian sang istri karena kedatangan Bella. Juga perlakuan Bella padanya. Akan tetapi, yang membuat Nur begitu sakit hati karena perlakuannya pada istrinya itu."Nuraini pamit ke sini, Mbah. Nah, pas turun dari kamar kebetulan Bella datang. Bella berkata yang nggak-nggak sehingga membuat Nur salah paham," terangnya jujur.Tatapan Nenek Kanti berubah tajam. Dia menggeleng samar sambil sesekali menarik napas panjang. Agus tidak berani membalas pandangan wanita itu."Aku pamit, Mbah. Mau cari Nur, tadi dia ke makam Banu," ucap Agus lagi sembari bangkit.Nenek Kanti mengangguk samar dan mengantar Agus sampai ke teras. Dia juga bingung harus mencari Nur ke mana. *Agus berputar-putar di jalanan kota sambil melirik kanan kiri jalan
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,