"Mas, aku mau ke rumah Nenek," ucap Nur lirih.Agus memejamkan mata sejenak lalu dengan tidak ikhlas mengangguk samar. Agustus menyunggingkan senyum ketika Alfa mendongak dan menepuk-nepuk dagunya.Laki-laki itu mencium kening Alfa yang begitu menggemaskan. Dia juga berharap pernikahannya dengan Nur segera dikaruniai anak supaya istrinya itu tidak ada alasan meninggalkannya.Nur menatap Alfa sembari mengulas senyum samar. Rasanya, ingin sekali berada di titik itu. Bahagia bersama anak dan suami. Nuraini sudah tidak lagi mengejar cita-citanya. Saat ini dia hanya fokus ingin memperbaiki hubungannya dengan Agus. Namun, apakah itu mungkin jika lelaki itu tidak pernah mencintainya? Tanpa sadar Nur menarik napas kasar.Agus mengalihkan perhatian dari Alfa. "Di rumah Mbah jangan lama-lama ya, Nur," pintanya memelas."Sampai aku bisa memutuskan, Mas," jawab Nur dengan suara lirih.Agus mengerutkan kening. "Memutuskan?" ulangnya. "Memutuskan apa, nggak ada keputusan apa pun yang harus kamu am
"Memang itu keinginan awal aku, kan Mas? Aku ingin menginap di sini beberapa hari. Tolong mengertilah," ucap Nur lirih.Agus mengangguk pelan kemudian memejamkan matanya. Dia mengusap pelan pipi Nur dan mengecup bibir sang istri sekilas."Ya sudah, aku izinkan. Tapi jangan lama-lama. Apa kata orang kalau tahu baru nikah sudah berpisah? Mereka akan membicarakan kita, Nur," ujar Agus lirih."Aku paham, Mas. Terima kasih ya.""Hm, ya sudah, kita tidur, besok pagi-pagi bangunkan aku ya, Nur," pinta laki-laki itu sambil mengeratkan pelukan pada tubuh istrinya.Nuraini mengangguk. Dia menatap wajah tampan Agus. Kedua mata lelaki itu terpejam bersamaan dengan tarikan napas hangatnya yang teratur.Wanita itu membalikkan tubuhnya. Merasakan pergerakan dari sang istri, refleks Agus memeluk posesif tubuh polos istrinya."Jangan tinggalkan aku," bisik laki-laki itu sambil mencium kepala Nuraini. Nur tidak menjawab, dia menggigit bibirnya menahan isak tangis. Hatinya kembali dilema. Satu sisi hat
"Ih, Mas, kenapa harus ngomong gitu sih, di dekat Nenek? Kan malu aku, Mas?" Agus melirik istrinya dari spion kemudian tersenyum tanpa merasa bersalah. Dia justru menarik tangan Nur untuk melingkari perutnya."Pegangan, Nur."Nur langsung cemberut dan memalingkan wajah ketika lagi-lagi Agus meliriknya melalui spion. "Memangnya, malu kenapa? Kan, kita sudah sah. Satu desa juga tahu kalau Nuraini Laila itu istrinya Agustus Setiadji.""Ya, malu. Kenapa harus bilang keramas segala? Nur jadi ditanya-tanya sama Nenek.""Oh, ya? Tanya apa? Tapi nggak tanya urusan tempat tidur, kan?" "Ya, nggak lah!" sahut Nur cepat. Dia menepuk paha Agus ketika laki-laki itu dengan sengaja melewati jalanan yang tergenang air. Agus tertawa melihat wajah cemberut Nuraini. "Ih, Mas, ah! Basah nih kakiku!""Ya, sudah, nanti mampir ke rumah, kita mandi bareng. Gimana?" "Nggak!" Agustus kembali tertawa. Laki-laki itu memelankan laju motornya karena jalanan di area persawahan memang tidak rata dan terbuat da
"Mm-mas Agus?" Nuraini langsung melongok ke sumber suara. Agus menaikkan sebelah alis melihat keterkejutan istrinya itu. Nur kembali melongok, kali ini ke teras warung. Mencari keberadaan mobil Agus. Rupanya, laki-laki itu mengendarai motor bebeknya."Cari apa?" tanya Agus sembari bangkit. Dia mendekati sang istri dan mengusap kepala wanita itu. "Kaget aku datang lagi? Ada yang naksir tuh," sindirnya setengah berbisik.Nuraini menunduk dalam tak berani membalas tatapan dingin suaminya. Agus membuat teh sendiri dan kembali duduk ke tempat semula. Dia menatap keempat pemuda yang merupakan teman sekolah Nur. Keempatnya asyik memperhatikan handphone sambil sesekali tertawa."Ndik, ini kopimu," ucap Nur lirih. Andik langsung mendongak dan tersenyum semanis mungkin pada gadis incarannya itu. Melihat hal tersebut, Agus menggeleng samar. Hal tersebut tak disadari oleh Andik yang masih asyik karena memandangi Nur."Ehem," Agus berdehem, memancing keempat pemuda itu menatapnya sekilas, namun
"Ha ha ha, nggak nyangka aku bisa jatuh cinta secepat ini dengan anak kecil," kekeh Agus sambil mengusap-usap bahu istrinya.Nuraini mendelik dan mencubit perut rata suaminya. "Enak saja bilang kecil." Nur cemberut, dia sedikit mengangkat wajahnya. "Mas beneran cinta sama aku? Nggak cuma buat menghibur aku?" lanjutnya sangsi.Agus menatap manik hitam itu. Dia mengusap pelan wajah lembab sang istri. Nur yang merasa salah bertanya, langsung menunduk dan menyembunyikan wajah di lengan atas suaminya. Namun, Agus kembali mendongakkan wajah sang istri. Kedua pasang mata itu kembali beradu."Aku nggak bisa nggombal Nur. Aku nggak bisa membohongi diriku sendiri. Kalau aku nggak cinta, ya aku akan bilang seperti awal kita menikah itu."Nur mengangguk mengerti. Dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Agus. Agustus membalasnya dan sesaat mereka larut dalam ciuman. Nur memutus tautan bibirnya lebih dahulu dan tersenyum malu-malu."Lalu, apa enaknya melakukan hubungan tanpa cinta? Apa memang la
"Pokoknya, Mas Agus jangan tidur di sini, ngeselin banget!"Agustus terkekeh. Bukannya beranjak, dia justru memeluk erat tubuh istrinya. Agus menempelkan wajah di bahu Nur dengan mata terpejam. Lengannya melingkari perut Nuraini sembari mengusapnya."Nggak usah nggrayang tuh tangan," sungut Nur kesal. "Iya, nggak nggrayang. Cuma gini kok," bisik Agus malah memasukkan telapak tangan ke baju istrinya. "Mau dengar lanjutan ucapan aku nggak, istri kecilku?" goda Agus lirih.Nuraini semakin jengkel dikatakan "istri kecil" walaupun kenyataannya memang masih kecil di mata Agus. Nuraini membalikkan badan menghadap ke arah suaminya."Kenapa Mas Agus selalu meremehkan aku? Aku itu hampir sembilan belas tahun, Mas," protesnya."Dan aku hampir tiga puluh tahun, Nur. Ayo kita cepat punya anak, Nur," ajaknya tanpa beban.Nuraini mendelik. "Mas, anak itu bukan kita yang atur, tapi Allah. Gimana sih?""Makanya itu, kita harus sering-sering bikinnya. Biar cepat dikasih, Sayang."Nur mencibir. Dia men
"Mana ada do'a rahasia suami, Mas? Namanya suami istri itu nggak ada rahasia-rahasiaan," protes Nur.Agus tertawa lirih. Dia sudah berusia 29 tahun. Semua hal sudah dia miliki. Istri yang dia cintai dan mencintainya. Tinggal satu keinginan Agus, yaitu memiliki buah hati dalam pernikahan mereka."Aamiin." Agus mengusap wajah dan tersenyum pada istrinya. "Semoga Allah segera memberikan kita anak-anak ya, Sayang," ucapnya lirih.Nuraini mengangguk mengamini. Selanjutnya, kedua orang itu telah larut dalam kenikmatan yang halal. Nuraini menatap langit-langit kamar berwarna putih bersih itu dengan senyum tersungging di bibirnya."Kenapa kamu senyum-senyum, begitu?" tanya Agus sambil mengusap pipi lembab istrinya."Rahasia istri, Mas," jawabnya menggoda, lalu menenggelamkan diri dalam pelukan sang suami.*Puncak KuikKesibukan para alumni siswa SMU itu terlihat sejak siang hari. Ternyata tidak hanya puluhan siswa yang mengikuti camping dalam rangka perpisahan sekolah itu. Namun ada beberapa
"Dia itu kepala desa, terkenal baik dan dermawan banget. Kaya raya, punya toko furniture dan toko emas.""Ya, beruntung banget si Nur dapat duren tajir," timpal salah satu dari mereka."Aku juga bisa beruntung seperti Nur. Secara aku lebih cantik dari dia!" sahut gadis dengan rambut sebahu itu optimis.Ketiga temannya mencibir. Mereka sama-sama tahu, gadis itu memang pandai menggaet laki-laki mapan. Tidak peduli suami orang hanya demi membeli barang-barang mahal. "Apa yang akan kamu lakukan, Ces?" tanya salah satu dari mereka.Cesi, nama gadis itu pun tampak tersenyum misterius. Dia menjentikkan jarinya lalu merangkak naik ke arah Nur dan Agus."Ehem, ehem!" Salsa berdehem jahil melihat tangan Agus yang seperti tidak rela melepaskan tangan Nur. Agus dan Nur kompak menatap Salsa salah tingkah. Nuraini menarik tangannya dari genggaman Agus. Laki-laki itu nyengir kecil sembari menggaruk tengkuknya ketika Pak Fahrul ikut berdehem-dehem."Salsa, nanti pinter-pinter cari suami seperti Pak
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,