"Dasar munafik. Pengkhianat!" Laki-laki tersebut menatap geram pada Agustus yang berenang bersama Nuraini. Laki-laki itu bergegas bangkit dari tempat duduk, namun dengan cepat lengannya ditarik oleh teman lelakinya."Oh, sekarang kamu ingin pergi begitu saja setelah melihat Agus? Ya, dia memang lebih tampan dariku, Gino!" ucap lelaki gemulai itu sembari menekan suaranya.Gino langsung melengos. Laki-laki bertubuh kekar itu kembali duduk dan mengusap-usap lengan kekasih sejenisnya. "Maaf, Sayang. Aku nggak tertarik dengannya, aku cuma geram karena dia mengkhianati temanku," dalihnya. Laki-laki gemulai dengan style rambut curly itu mencibir, memanyunkan bibir seksinya. "Ah, alasan. Paling kamu juga tertarik kan, sama dia? Dari tadi kamu lihat dia terus. Iya, badan dia bagus, atletis, nggak seperti aku, bulet," sungutnya lirih sambil mengusap-usap pipinya yang basah oleh air mata palsu.Gino mendengus, berusaha untuk sabar. "Sayang, jangan marah dong, ah," rayunya. "Kalau begitu ayo k
"Nuraini..."Nur memegang erat telapak tangan Agus dengan tatapan nanar mengarah tepat ke manik hitam lelaki itu."Mas, kenapa diam? Jawablah!" tuntut Nur lagi. Agus memejamkan matanya, kemudian memeluk tubuh sang istri. "Kita bicara baik-baik, jangan berteriak, Nur," lirihnya.Agustus membimbing istrinya duduk di tepi ranjang. Laki-laki itu memperhatikan sang istri, menggenggam tangannya kemudian menarik napas panjang."Tentang Gino..." Lagi, Agustus menjeda kalimatnya sejenak, sekedar menyusun kata-kata. "Gino terobsesi dengan aku, Nur. Aku mengenalnya ketika masih kuliah, setelah aku cerai dengan Susan. Maafkan aku, Nur. Dulu aku down. Lalu, datang Gino dan beberapa teman yang mendorongku bangkit. Tapi semakin ke sini aku semakin menyadari jika Gino terobsesi denganku," pungkasnya lirih.Agustus teringat betapa besar obsesi Gino padanya. Berkali-kali lelaki bertubuh kekar tersebut berusaha menjebak, bahkan mengancamnya. Dan akibat dari pergaulan yang salah, sering keluar masuk klu
Nuraini menoleh, menatap suaminya yang telah terbuai ke alam mimpi. Nur menarik napas pelan. Memperhatikan sang suami, betapa tampannya lelaki berusia 29 tahun tersebut. Tidak heran jika yang terpesona dengan sosok Agustus Setiadji bukan hanya perempuan."Mas, shalat Dhuhur dulu," bisik Nur sembari mengusap pipi lelaki tersebut. Agus menggeliat dan membuka sedikit matanya, namun kembali terpejam. "Mas, ayo shalat dulu," panggilnya lagi.Agustus menarik pelan lengan sang istri dan kembali memeluknya. "Sebentar, Nur. Masih ngantuk," jawabnya tanpa membuka mata."Iiih, shalat Dhuhur, terus kita makan. Aku lapar, Pak Lurah. Ibuk sama Nenek nungguin lho, Mas," rengek Nur lagi."Biar saja, mereka tahu kalau kita lagi honey moon. Kalau habis dari sini kamu positif kan, mereka juga ikut senang," jawab Agus santai."Huh!"Nuraini mendengus, kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Wanita itu segera melangkah ke kamar mandi. Bersuci, untuk selanjutnya, melaksanakan kewajiban empat rakaat."Tunggu
Nur semakin mempercepat langkah ketika merasakan langkah Agus semakin mendekat. Di belakangnya, Agus terus memanggil dengan setengah berlari."Nuraini, berhenti!"Nuraini masih tak menghiraukan. Dia malah berlari menghindari laki-laki yang telah mengajarkan banyak hal, namun juga meremukkan hatinya.Agus melirik ke sebuah jembatan yang dilaluinya. Dia menatap tubuh Nur yang kian menjauh. Agus ingin tahu seberapa besar cinta sang istri untuknya. Tentunya, dia juga masih waras untuk melakukan hal konyol tersebut."Nuraini Laila! Kamu berhenti atau aku melompat!" teriaknya sekuat tenaga. Agustus berdiri di tepi pagar jembatan dengan air sungai yang mengalir deras di bawah sana. Dia menoleh ke kanan kiri dan satu kakinya memanjat pagar tersebut. Suara beberapa orang yang meneriaki Agus, menghentikan langkah Nur. Dia membalikkan badan. "Mas Agus!" pekiknya. Agustus melirik sekilas ke arah Nur dan menyunggingkan senyum satu sudut. Laki-laki itu berbisik ke salah satu orang yang berkerum
"Nuraini, jangan becanda!" sentak Agus marah.Laki-laki itu memegang wajah istrinya dengan tatapan tajam. Nur memalingkan wajah. Hatinya kembali terasa sakit mengingat ucapan laki-laki yang bernama Gino tadi."Sudah Mas, kita siap-siap pulang."Nuraini beranjak namun Agus segera menyambar lengannya. Agus memeluk tubuh Nur dengan erat."Nuraini, percaya sama aku. Aku sudah jelaskan semuanya. Kamu lebih percaya sama orang yang baru kamu temui atau suami kamu, Nur?" tanyanya lirih di balik bahu sang istri. Agustus melepaskan pelukan dan kembali memegang wajah Nur. Menatap kedua mata wanita itu dengan sendu."Aku bukannya nggak tahu, aku juga bukannya nggak dengar gosip tentang aku setelah aku berpisah dengan Susan. Tapi aku nggak perlu menjelaskan apa-apa karena itu nggak penting. Aku nggak pernah berurusan dengan mereka, Nur. Dan sekarang mereka akan diam dengan sendirinya."Nuraini bertanya ragu. "Lalu, lalu ... ke-kenapa, laki-laki itu berkata begitu, Mas?"Agustus mendesah kasar lal
Agus berjingkat kaget. Nuraini memperhatikan serpihan-serpihan kertas yang berada di dalam kloset dengan kening berkerut."Kertas apa itu?" tanya Nur lagi."Eh, bukan apa-apa, Nur. Kertas nggak penting," jawab Agus gugup, lalu menekan tombol kloset. Kini perhatian Nur beralih pada suaminya. Dia yakin, ada hal penting yang disembunyikan oleh Agus. Apalagi wajah laki-laki itu terlihat murung dan sembab. Kalau tidak penting kenapa buangnya di kloset? Nur hanya bisa membatin.Nuraini mengangkat tangan, memegang wajah suaminya. "Mas menangis? Ada apa ini? Apa ada sesuatu yang serius dengan Ibuk, Mas?" cecarnya khawatir.Agustus menggeleng dan menepis pelan tangan sang istri. Dia juga tidak berani membalas tatapan mata wanita itu. Agus bergegas keluar dari kamar mandi. Nuraini yang masih penasaran mengekor."Kita siap-siap pulang, Nur," Agus segera mengambil baju-bajunya. "Mas, sebenarnya kenapa dengan Ibuk?" tanya Nur sambil memegang lengan sang suami sehingga Agus menghentikan kegiatann
Nuraini tersenyum miris. Menyesalkan sikap agresifnya pada Agus. Walaupun Agus berstatus sebagai suami, namun jika laki-laki itu tidak sungguh-sungguh berusaha mencintainya, semua yang Nur lakukan seperti sia-sia.Nur merasa dirinya tak lebih dari perempuan muda murahan. Kembali setetes air jatuh ke pipinya. Nur mengusapnya cepat, supaya tidak dilihat oleh Agus."Nuraini, kamu jangan bicara kayak begitu. Tolong pahami aku, Nur. Bersabarlah, cinta itu nggak bisa dipaksakan. Dia akan datang seiring berjalannya waktu. Kamu mengerti?""Iya, Mas. Aku sudah siap, Mas." Nuraini mengalihkan pembicaraan. Dia kembali memeriksa barang bawaannya. Agus menggeleng samar memperhatikan istrinya itu. Agustus mendekat ke arah Nur, tetapi dengan cepat Nur menghindar."Nuraini!" Merasa diabaikan, Agus menjadi geram. Dia menarik tangan Nur dan mendekap tubuh mungil itu dengan erat. Nuraini memalingkan wajah ketika Agus hendak mendaratkan ciuman di bibirnya. Wanita itu mendorong pelan tubuh Agus berusaha
"Omong kosong macam apa, ini, Nuraini!" Agus kembali terpancing emosi. Laki-laki itu bangkit dan memejamkan mata. Kedua tangannya masih terkepal dengan kuat."Arrgh!" Pyaar! Agus menggeser kasar benda di atas meja. Piring dan gelas di atas meja makan itu jatuh ke lantai dan isinya berhamburan. Nuraini bergerak pelan, lalu bersimpuh di lantai dengan air mata bercucuran. Dengan pandangan samar akibat tertutup air mata, Nur memunguti pecahan piring dan gelas. Sesekali pula dia menyeka air matanya dengan punggung tangan."Jangan sentuh. Kamu menyingkirlah!" perintah Agus tegas, tetapi tidak dihiraukan oleh Nur.Agustus menepis pelan tangan Nuraini dan kembali meminta istrinya meninggalkan tempat itu. "Pergilah ke kamar. Kamu mandi dulu. Aku antar kamu ke makam Banu," ucap Agus dengan suara melunak. Nur tertegun sejenak lalu mengangguk. Dia bangkit sambil memegang pecahan piring."Arrgh!" "Nuraini!" Agus segera mendekati istrinya yang kembali bersimpuh sambil memegangi telapak kakin
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,