Aris memarkirkan kendaraannya di parkiran khusus untuk presiden direktur Tulip. Beberapa orang karyawan menyapanya dengan hormat. Di Tulip, Aris mendapatkan kehormatan dan penghargaan. Tak ada yang menyangka bahwa seorang anak yatim piatu yang puluhan tahun lalu tinggal berdesakan di sebuah panti asuhan itu kini telah menjelma menjadi seorang yang disegani dan dihormati. Oma Lili sudah memberikan gemerlap dunia ini dalam genggamannya.Pria itu terus melangkah, sementara Pras yang sudah menunggunya di depan tadi mengikuti langkah Aris dari belakang. Begitulah perlakuan yang diterima Aris sehari-hari, ditunggui dengan setia oleh seorang asisten muda yang dulunya adalah orang kepercayaan kakak angkatnya, lalu dihormati oleh setiap orang di perkantoran ini yang berpapasan dengannya. Pengabdian, mungkin sebuah kata itulah yang kini tengah dijalani Aris, karena setelah derajad hidupnya diangkat tinggi-tinggi oleh keluarga angkatnya, kini saatnya ia mengabdi dan menuruti semua keinginan Oma
“Ngapain ke sini? Mas Aris ada meeting sebentar lagi.”Aris mengabaikan kalimat Alea dan memilih meraih tangan gadis itu lalu mengajaknya ke bagian paling atas.“Aku nggak mau putus, Lea. Aku nggak bisa.”“Kita hanya belum terbiasa, Mas. Tadi malam, sesuai dengan isi pesanku ke Mas Aris, aku emang nggak bisa tidur. Beberapa bulan terakhir aku udah terbiasa dengan obrolan malam dari Mas Aris. Dan mungkin tadi malam hatiku sedang mencari itu, tapi tenang aja, Mas. Aku pasti akan membiasakan diri.”Aris menghela napas. Tadi malam sebelum tenggelam dalam obrolan yang dalam bersama Dinara, ia sudah berusaha mengobrol seperti yang biasa dilakukannya pada Alea, tetapi justru gadis itu yang menolak dan hanya membahas pekerjaan. Lalu ia tak lagi memegang ponselnya ketika Dinara dan semua tingkahnya mengalihkan dunia Aris semalam tadi.“Kenapa Mas Aris terlambat hari ini? Apa Mas juga nggak bisa tidur tadi malam?”Aris menggaruk tengkuknya. Bagimana ia menjawab pertanyaan Alea ini? Semalam ia m
“Ini ... yang punya mobil udah pulang ke rumah?” Aris menunjuk mobil sedan milik Dinara yang tadi pagi dipakainya ke kampus.“Sudah, Pak.” Seorang pria paruh baya yang sedang mencuci mobil itu menjawab.Aris mengangguk. Ia memang belum mengenal dengan akrab semua karyawan di rumah besar milik kakak angkatnya ini karena merasa ia hanya akan sementara berada di rumah ini. Tanpa bertanya apa pun lagi, Aris segera masuk, lalu benar-benar mendapati Dinara di ruang tengah.“Halo, Om.” Dinara menyapa malas ketika menyadari kehadiran Aris.“Tumben.”“Tumben apanya?”“Tumben jam segini udah pulang. Biasanya kalo bawa mobil pasti pulang malem.”“Ck!” Dinara berdecak. “Kenzo nggak ngampus hari ini.”Aris menautkan alisnya. “Kamu ke kampus mau belajar apa mau pacaran, Nara?!”“Dua-duanya lah, Om.”“Bocah ini! Emang kamu pikir setelah kejadian di rumahnya malam itu Kenzo masih mau nganggap kamu pacarnya? Dia tau kamu udah nikah, dia tau aku suamimu.”“Nara bakal jelasin. Nara juga bakal kasih bukt
“Mas Aris tinggal ngeyakinin mereka.”Alea kembali berada di dalam ruangan Aris siang ini, setelah beberapa pemilik saham kembali datang lalu mempertanyakan posisi Aris. Kenzo memang sudah meralat berita yang dibuatnya tentang Aris yang menyusup masuk ke rumahnya tanpa permisi, dan berita itu pun sudah kembali menjadi konsumsi bagi orang-orang yang berkepentingan, tetapi tidak membuat pemilik saham Tulip Corp berhenti mengawasi tindak-tanduk Aris.“Caranya gimana, Alea? Aku nggak bisa mikir, mereka terus bertanya padahal jelas-jelas Kenzo sudah meralat tuduhannya.”Alea menatap wajah Aris yang duduk di hadapannya berjarak meja. Ia tahu persis bahwa Aris sebenarnya bukan orang yang berambisi duduk di jabatan paling atas di Tulip, tetapi ia terpaksa berada di sana demi keluarga angkatnya. Bahkan terkadang ada hal-hal penting tentang Tulip yang selalu ingin diabaikan Aris, hingga akhirnya Alea lah yang turun tangan mengaturnya. Seperti pertanyaan-pertanyaan beberapa pemilik saham tentang
Aneh memang, Alea yang mengusulkan, tetapi dia pula yang akhirnya merasa tak nyaman. Mungkin memang seharusnya ia meninggalkan Tulip untuk menjaga hatinya sendiri, tetapi rasanya ia belum bisa meninggalkan Aris yang masih selalu semberono. Lalu juga tak ingin kehilangan gaji yang fantastis di Tulip karena kedepannya Alea mungkin saja akan memerlukan dana yang tak sedikit untuk pengobatan sang ayah. Dia masih membutuhkan Aris, masih membutuhkan Tulip, meski ia harus menjadi orang yang dengan munafik meminta Aris memperlihatkan kemesraan pernikahannya pada publik meski ia tahu itu akan menyakitinya.“Seminggu ini Mas Aris tahan Dinara dulu untuk tidak berkomunikasi apa pun dengan Kenzo. Aku juga udah minta itu pada Kenzo dan ia sudah setuju. Sekarang tergantung Nara dan cuma Mas Aris yang bisa ngendalikan itu. Paling tidak seminggu ini, hingga mereka nggak lagi menyelidiki Kenzo.”“Oke. Gampang.” Aris menyeringai. Mengendalikan Dinara selama seminggu? Ia harus sanggup melakukannya, agar
“Pulang bareng.”Alea sudah membereskan meja kerjanya ketika sebuah tangan menarik lengannya. Buru-buru gadis itu menoleh memindai seisi ruangan.“Nggak ada orang. Udah pada pulangan.” Aris menyadari kekhawatiran Alea.Gadis berkulit kuning langsat itu menepis tangan Aris yang masih mencekal lengannya. “Jangan cari perkara, Mas! Kalo ada yang liat gimana? Mas Aris hanya akan menambah masalah. Belum juga kelar masalah Kenzo.”Aris tersenyum mendengar jawaban panjang Alea. “Aku cuma pengen pulang bareng,” kata pria itu.“Mas! Tolong jangan bikin posisiku bertambah sulit.”“Bertambah sulit gimana, sih! Aku cuma pengen nganterin kamu pulang. Itu aja!”“Dan aku nggak mau diantar pulang sama suami orang, Mas!”Aris menghela napas kasar. Alea gadis penurut yang hampir tak pernah menolak keinginannya. Kelembutan dan kecerdasan seorang Alea-lah yang membuatnya berhenti berganti-ganti wanita dan menetap pada hati gadis itu. Akan tetapi Alea yang sekarang terlihat sungguh berbeda dari Alea-nya.
Satu jam setelah membalas pesan Dinara dan berteriak frustasi atas jawaban jawaban gadis itu dalam isi pesannya, Aris sudah memarkirkan kendaraan tepat di depan rumah mewah kakak angkatnya. Beberapa pekerja di rumah mewah itu menunduk dan memberi hormat pada pria itu.“Om Aris lama banget, ih. Nara udah hampir ketiduran tadi.” Alih-alih menyapa, Dinara justru langsung melayangkan protes ketika berdahadapan dengan Aris.“Nih anak mulai nggak sopan, ya. Suami pulang bukannya disambut salam malah protes nggak jelas.” Aris menjawab kesal.“Abisnya Om Aris lama. Nara udah hampir bawa mobil sendiri tadi, tapi kata Novi kalo mau bersandiwara dengan Oma itu perginya harus dengan Om Aris. Biar kayak beneran suami istri gitu! Kalo perlu gendengan tangan, mesra mesraan.” Dinara terkekeh membayangkannya.“Novi?” Aris teringat gadis sederhana teman Dinara. “Apa kabarnya dia? Oiya, waktu itu aku Om belum bilang makasih udah bantu nampung orang mabuk di rumahnya sampai didatangin Pak RT. Kalo bicara
Oma Lili terlihat sumringah menerima tamunya sore ini. Bagaimana tidak? Dua orang yang datang mengunjunginya sore ini adalah dua orang yang paling berharga dalam sisa hidupnya.“Mama ...,” Aris menyapa sambil mencium punggung tangan keriput ibu angkatnya. “Sejak kapan Mama pake ini?” Pria itu menunjuk kursi roda di mana Oma Lili duduk yang didorong oleh seorang wanita muda berpakaian perawat.“Udah beberapa hari ini, Nak. Sejak pulang dari rumah kalian itu, Oma ngerasa kaki kebas dan susah jalan. Makanya pakai ini.” Oma Lili menepuk nepuk kursi rodanya.Aris menghela napas panjang. Ada rasa bersalah di dalam dadanya mengingat ia tak mencari tahu kondisi Oma Lili beberapa hari belakangan ini. “Kenapa nggak kabarin Aris, Ma?” Aris menatap wanita renta itu selembut mungkin.“Aris udah terlalu banyak pikiran, Nak. Mikirkan Tulip, mikirkan Dinara ... Mama nggak mau nambah beban pikiran Aris lagi.”Tak tahu harus berkata apa, tetapi kata-kata lembut Oma Lili berhasil membuat sudut-sudut mat
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw