“Om Aris!” Dinara memlompat menyambut lalu ternganga ketika menyadari kehadiran Aris. Pekikan yang membuat para penghuni lainnya ikut memperhatikan tamu mereka.
“Ini beneran Om Aris?” Dinara masih bertanya. “Apa aku berhalusinasi, hey!” tanya Dinara lagi pada rekannya yang lain.
Aris mengangguk meyakinkan, tetapi Dinara kembali menunjuk sosok lainnya. “Siapa dia? Kenapa sama cewek, Om?”
“Oh, dia guide yang disewa Pras, Nara.”
“Ngapain nyewa guide, Om? Kenapa nggak kasih tau Nara aja biar Nara yang jemput?”
“Kalo gitu namanya bukan surprised, Nara.”
Sementara beberapa teman Dinara sudah sibuk membuka oleh-oleh darinya.
“Tapi nggak harus yang cewek juga kali guidenya, Om.”
“Ya nggak tau tuh Pras.”
Dinara masih menatap tak suka pada sang gadis, sementara Aris menyelesaikan upah gadis itu.
“Pake dikasih du
Dua hari berada di Jepang, dua hari pula Dinara tertawan di sebuah kamar tipe suite hotel kelas iinternasional. Dinara benar-benar dibuat kewalahan oleh stamina Aris yang seolah tak ada habisnya. Meski begitu, Aris memperlakukannya dengan sangat lembut. Aris membantu membersihkan tubuhnya dengan sangat hati-hati meski akhirnya pria itu pula lah yang kembali mengacak acak dirinya. Aris menggendongnya ke sudut mana saja di kamar suite dan menciptakan keromantisan hingga suasana panas di setiap sudut kamar. Aris memanjakan lidahnya dengan makanan makanan enak yang entah bagaimana selalu datang tepat waktu di saat Dinara mulai merasa lapar. Seperti pagi ini ketika sarapan paginya kembali tertata di atas meja saji di tempat tidur hotel.“Makan yang banyak. Kamu kurusan, Nara.” Dan setiap kali makanan itu datang, Aris selalu mengomentari tubuhnya yang memang terlihat lebih kurusan dibanding ketika ia masih di Jakarta.Dinara bukan tak menyadari itu. Berada di neg
“Tuh! Di laptop yang Om Aris pinjamin. Isinya ya ampun ... video asusila Om Aris dengan Alea! Nara jijik ngeliatnya!”Aris tertergun sesaat, mencoba memahami apa maksud Dinara sebelum akhirnya menggeleng gelengkan kepalanya saat menyadari.“Oh, kamu nemu file-nya, Nara?”“Gimana nggak nemu, isi laptop Om Aris video asusila semua.”“Ck! Jangan berlebihan.”Aris tahu Dinara sedang melebih-lebihkan. Laptopnya itu memang berisi hampir semua kenangannya bersama Alea. Dulu Alea selalu mengabadikan momen momen kebersamaan mereka, baik dalam bentuk foto atau video. Beberapa video memang merekam momen momen intimnya dengan Alea. Berciuman, berpelukan, berenang bersama, bahkan saat keduanya tidur berpelukan di ranjang yang sama. Tak sedikit pula momen keseruannya dengan Alea saat lembur bersama, berdiskusi tentang Tulip, memasak omelet dan makan bersama.Semua kenangan itu memang tersimpan rapi di laptop
“Om harus pulang, Nara. Om sudah dua minggu di sini, sudah lebih dari rencana Om semula.” Aris dan Dinara sedang dalam perjalanan ke bandara. Pagi ini Aris akan kembali ke Jakarta setelah dua minggu menghabiskan waktu di Jepang.“Tapi Nara masih kangen, Om.” Dinara menggelayut manja.“Ya udah. Pulang bareng Om, ya.”“Nggak, Om. Nara udah janji mau nyelesaikan tugas Nara di sini. Ini harga diri Nara, Om.”“Ck! Keras kepala!” Aris menyentuh kening Dinara pelan.“Kalo gitu bulan depan ke sini lagi ya, Om.” Dinara masih merengek manja.Aris menggeser duduknya lebih merapat, meletakkan tangannya di atas paha Dinara lalu menatap dalam-dalam mata istri belianya itu. “Om nggak bisa janji, Nara sayang. Aktifitas Om sangat padat, belum lagi Oma yang kata dokter Oki kondisi kesehatannya sedang menurun.” Aris berusaha memberi pengertian, berucap lembut sambil menatap mata Dinara lalu merapikan anak anak rambut di kening gadis itu.Sayangnya, Dinara justru berbalik memunggungi Aris, mengamati jala
“Nara sudah bisa dihubungi, belum?!” Baru saja Pras membuka pintu ruangan Aris ketika suara Aris berteriak memekakkan telinga.“B-belum, Pak. Nomornya belum aktif dan ....”PRANG!!!Pras berdiri gugup, mematung menyaksikan pecahan gelas yang hancur beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pria muda itu bergidik membayangkan jika saja tadi gelas itu dilemparkan Aris ke arahnya.“Ini sudah dua hari, Pras! Dan kamu belum menemukan cara menghubungi Nara? Kenapa sekarang kerjamu sama sekali tak becus?” Suara Aris masih sama kasarnya, kemarahan yang tergambar jelas di wajah pria itu pun masih sama seperti kemarin.Tak ingin membuat Aris semakin emosi, Pras memilih menunduk dan membiarkan pria di balik meja itu memaki. Pras tentu tahu persis kekhawatiran atasannya itu.Sudah dua hari ini sejak Aris menerima telepon lewat ponsel Pras dan mengabarkan kehamilannya, Dinara sama sekali tak
“Alea!” Aris memprotes cara Alea menyebutnya bodoh. Tetapi, ia tetap tak bisa marah pada wanita cantik yang meskipun menyebutnya bodoh, tetap saja diucapkan Alea dengan suara lembut.“Dianara mungkin lagi marah atas cara Mas Aris menanggapi kehamilannya, tapi bukan dengan membatalkan beberapa pekerjaan penting solusinya. Jangan ikut menanggapi dengan emosi, Mas. Itu tak akan memberi solusi yang baik.”“Gimana aku nggak emosi, Alea. Berondongmu itu nggak bekerja dengan baik seperti biasa, Pras tak bisa menemukan cara menghubungi Dinara.”“Itu karena Mas Aris marah marah melulu. Orang yang bekerja di bawah tekanan itu nggak akan maksimal hasilnya, Mas. Pras bukan tak melakukan apa-apa, aku tahu bagaimana ia bergerak mencari tahu tentang Nara. Hanya saja Mas Aris perlu bersabar, toh ini semua juga karena Mas Aris, kan?”“Oh, jadi kamu ngebela anak ingusan itu dan menyalahkanku, Alea?”Alea be
“Hah? Udah ketemu?” Aris menatap takjub. Ia baru saja memarkirkan kendaraannya di parkiran Twin House ketika Haruki yang duduk di sampingnya menyampaikan laporannya.Gadis berambut kecoklatan itu mengangguk. “Lagi di asrama, tidak ada yang mencurigakan.” Haruki menjawab dengan aksen khasnya.Kening Aris mengeryit, ia tentu tak bisa membaca deretan chat yang diketik dengan huruf Jepang. Aris mengibaskan tangannya.“Oh, i’m sorry, Sir.” Haruki segera menarik kembali ponselnya setelah menyadari bahwa Aris tak bisa membacanya.“Kamu nyuruh siapa?” Aris masih penasaran mengingat Pras yang selalu diandalkannya bahkan belum bisa mendapatkan kabar tentang Dinara dua hari ini.Dan jawaban Haruki benar-benar membuat Aris kagum pada gadis Jepang itu. Tidak salah Pras memilih Haruki sebagai partner kerja mereka, karena ternyata Haruki memang bisa diandalkan sama seperti Pras. Tak sampai satu jam perjalanan dari Tulip ke Twin House, Haruki sudah bisa melaporkan keadaan Dinata seperti keinginan Ari
“Dinara mana, Pak Aris? Maaf ... dia siapa?” Aya kembali menatap Haruki.“Nara masih di Jepang, Mbak Aya. Dan ini .... Haruki.”“Haruki?” Tatapan tajam Aya menandakan wanita itu tak puas dengan jawaban Aris.“Haruki ini baru tiba dari Jepang. Dia ... ehmm ....” Aris berpikir sejenak. Bagaimana ia menjelaskan siapa Haruki pada Aya yang masih menatapnya penasaran itu? “Haruki ini ... orang kepercayaanku di Jepang.” Aris akhirnya menemukan jawaban.“Orang kepercayaan? Diajak ke Jakarta? Dan Dinara di sana sendirian?”Aris menggaruk garuk kepalanya. Bagaimana ia menjelaskan ini? Mengapa ia seperti melihat Dinara lewat tatapan tajam Aya?“Oiya ... selamat atas kehamilan Dinara, Pak Aris.” Aya kembali melanjutkan bicara ketika Aris tak menjawabnya.“Loh, Mbak Aya tau dari mana?”“Dinara yang mengabarkannya langsung.”Aris menelan ludahnya. Dinara menghubungi Aya sementara memutus komunikasi dengannya?“Dan kurasa Dinara nggak tau kalo orang kepercayaan Pak Aris ini sedang ada di Jakarta dan
“Lobby! Sekarang!”Beberapa pasang mata menoleh pada Aris yang terlihat emosi. Sudah sepuluh menit ia menunggu Haruki di lobby sebuah hotel di jantung ibukota, Aris pun sudah mengirim pesan meminta Haruki untuk segera turun bahkan sebelum ia tiba di hotel ini, tetapi gadis itu belum juga menampakkan batang hidungnya.Kemarahan Aris nampak tergambar nyata setelah Haruki justru membalas pesannya dengan menginformasikan nomor room dan meminta Aris menunggunya. Merasa kesal, Aris berkali-kali menelepon Haruki namun baru dijawab gadis itu entah di panggilan yang keberapa.Maka suara Aris meninggi ketika Haruki menjawab panggilan teleponnya. Gadis yang akhirnya muncul di lobby itu memperlihatkan wajah kesalnya ketika Haruki keluar dari lift.“Nara! Hubungi Nara sekarang juga! Pastikan terhubung dan aku tidak menerima alasan apa pun!” Tanpa basa-basi, Aris kembali bicara dengan nada tinggi meski Haruki sudah berada di hadapannya.“I’m on vacation, Mr. Aris!” Dengan nada bicara yang hampir sa
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw