[Nara tunggu di sini ya, Om.]Aris sedang di dalam lift bersama Alea dan Pras ketika membaca pesan disertai foto yang dikirim Dinara. Gadis itu sepertinya sedang berada di sebuah kafe jika dilihat dari foto yang terkirim ke ponsel Aris. Alis pria itu bergerak naik, pengalaman pernah menjemput Dinara di sebuah kafe yang ternyata gadis itu sedang berada bersama Kenzo dan teman Dinara yang lain segera melintas di kepala Aris.Tak ingin membuang waktu, Aris segera memanggil nomor Dinara.“Kafe mana itu?” Ia sama sekali tak memedulikan Pras dan Alea yang memilih berpura-pura tak mendengar.“Bareng siapa?” tanyanya lagi ketika mendengar jawaban Dinara dari seberang.“Bukan sama Kenzo lagi, kan?”Dan pertanyaan itu mau tak mau menimbulkan senyum terkulum di wajah Alea dan Pras. Kedua orang kepercayaannya itu tentu tahu mengenai insiden memalukan Dinara di rumah Pras waktu itu. Alea dan Pras saling pandang sedetik, sebelum memilih kembali berpura-pura tak mendengar.“Kalian udah nyari tau sem
Dinara mengedarkan pandang ke seisi kafe yang memang banyak diisi oleh mahasiswa sepertinya, mengingat kafe ini tertelak masih di area kampus. Beberapa dari pengunjung memang terlihat memperhatikan mereka.“Pasti Nara dikira jalan sama Om Om lagi,” keluhnya.“Harusnya kamu bangga. Liat aja cewek-cewek seumuran kamu itu dari tadi ngeliatin Om terus,” ujar Aris, sementara tangannya bergerak membuka kotak yang tadi diberikan Dinara.“Apa ini? Robot?!” Alisnya bertaut memperhatikan isi kotak pemberian Dinara tadi.“Iya.” Dinara tersenyum. “Tau nggak kenapa Nara kasih robot?”Aris menggeleng.“Robot itu buat nemanin Om nanti kalo Nara di Jepang, biar Om Aris nggak kesepian.”Mata Aris mengerjap, memperhatikan robot di tangannya lalu menatap Dinara. Hatinya selalu saja tak nyaman jika Dinara membahas tentang keberangkatannya.“Udah makannya?” tanya Aris.Dinara mengangguk.Aris melirik arlojinya. “Ayo,” ajaknya. “Om mau ngajak Nara nonton malam ini.”“Nonton?”“Hm. Om udah beli tiketnya.”*
Aris berkali-kali menggelengkan kepala, tersenyum lebar lalu kembali menggeleng. Robot hadiah Dinara berputar-putar di atas meja kerjanya, sementara tangannya tak lepas memegang remote control benda itu, menggerakkannya maju mundur, kiri kanan, sampai ia merasa heran dengan dirinya sendiri.Betapa Dinara benar-benar telah mengalihkan dunianya, membuatnya dengan bodohnya bahkan membawa robot pemberian gadis itu ke Bali ketika Dinara benar-benar tak bisa ikut karena padatnya kegiatan kuliah. Berkali-kali senyuman lebar itu menghiasi wajah Aris ketika ia merasa melakukan hal yang di luar akal sehatnya, memainkan robot di atas meja padahal pekerjaan penting menanti sentuhannya.“Sialan kamu, Nara! Bisa-bisanya bikin otakku jadi error gini!” umpatnya pada robot pemberian Dinara seolah sedang berbicara pada gadis itu.Sudah dua hari Aris dan Alea berada di Bali, masing-masing menempati fasilitas kamar di villa milik Tulip Corp yang suasana romantiskan tak perlu diragukan. Di salah satu kama
Pagi-pagi Aris sudah berada di Bandara Ngurah Rai. Tadi malam ia tiba-tiba saja menerima kabar dari Pras bahwa Dinara meminta pria kepercayaan mendiang Aldo itu untuk mencari tiket penerbangan pertama ke Pulau Bali.Dinara berniat menyusulnya ke Bali? Bukankah saat menelepon tadi gadis itu dengan detail menceritakan jadwalnya yang padat di kampus? Lalu mengapa tiba-tiba gadis itu meminta Pras mencarikan tiket? Hingga akhirnya Aris memilih kembali menghubungi Dinara tadi malam, dan jawaban gadis itu justru membuatnya tak bisa tidur semalaman.“Nara kangen, Om.”“Nara nggak bisa tidur.”“Pokoknya Nara mau ketemu Om Aris.”“Pras kenapa lapor ke Om, sih? Padahal Nara mau ngasih surprised!”“Kalo gitu om jemput Nara di Bandara, ya.”Suara manja Dinara di telepon terus terngiang-ngiang di kepala Aris dan membuatnya baru bisa terlelap menjelang subuh.Lalu saat gadis itu benar-benar muncul dari pintu kedatangan, senyum lebar Dinara membuat Aris tak bisa menahan diri untuk memeluk lalu menciu
“Tolong ditangani ya, Alea. Aku benar-benar nggak bisa kerja hari ini.” Aris menelepon Alea, meminta gadis itu untuk menghandle semua pekerjaan hari ini, meski ia tahu bahwa gadis itu kemungkinanan akan sangat kerepotan.“Kalau butuh bantuan kamu bisa minta bantuan anak-anak cabang yang bisa dipercaya,” lanjut Aris bicara.Ia sama sekali tak memberi alasan yang jelas akan ketidakhadirannya hari ini, Aris hanya mengatakan pada Alea bahwa ia sedang tidak fit untuk pekerjaan padat mereka. Pria itu sengaja tak menyebut nama Dinara sebagai alasannya untuk tidak bekerja di tengah padatnya deadline pekerjaannya dan Alea. Aris hanya tak ingin mengganggu mood kerja salah satu orang kepercayaannya itu.“Mas Aris baik-baik saja?”Akan tetapi, Aris lupa bahwa Alea adalah sosok yang dulu begitu perhatian padanya. Meminta Alea untuk menghandle semua pekerjaan tanpa alasan yang jelas tentu saja membuat gadis itu brepikir bahwa Aris mungkin sedang sakit atau kelelahan.“Aku nggak papa, Alea. Cuma sem
Tiga hari menjelang keberangkatannya ke Jepang, Dinara memilih menginap di istana Oma Lili. Menemani wanita tua itu nyaris dua puluh empat jam karena Dinara memilih menginap di kamar Oma Lili dan mengabaikan Aris. Aris sendiri hanya datang sesekali karena sengaja memberi ruang dan waktu bagi Dinara dan Oma Lili. Bagi pria itu, perhatian Dinara pada Oma Lili adalah sebuah kemajuan yang membanggakan.Bahkan karena benar-benar ingin membiarkan Dinara menghabiskan waktu bersama Oma Lili, Aris memberi izin pada gadis itu untuk kembali membawa mobilnya, agar Dinara bisa menyesuaikan sendiri aktifitasnya di luar dan kebersamaannya dengan Oma Lili. Aris sendiri memilih tetap berada di rumahnya karena tak yakin bisa membiarkan Dinara bersama Oma Lili sepanjang malam jika itu turut berada di sana.Di hari ketiga, barulah pria itu pulang ke rumah ibu angkatnya. Besok adalah jadwal keberangkatan Dinara, dan tentu saja bukan hanya Oma Lili yang butuh bersama gadis itu. Karena di malam ketiga, mala
Ada tangis di wajah cantik Alea, dan Aris bisa melihat itu dengan sangat jelas, meski gadis itu sepertinya enggan memahami pertanyaannya lewat tatapan mata seperti biasa. Rooftop ini memang istimewa, bukan hanya bagi Aris tapi juga bagi Alea. Dulu, saat mereka harus diam-diam memadu kasih karena harus menyembunyikan hubungan keduanya, rooftop ini menjadi saksi bagaimana Aris dan Alea datang ke sana hanya untuk sekadar saling memeluk atau mencium. Lalu rooftop ini pula yang menjadi saksi bagaimana Aris dan Alea akhirnya saling berkomitmen untuk berpisah demi banyak hal.Dan pagi ini ... rooftop kembali menjadi tujuan meski kini bukan lagi saling berjanji untuk datang ke sana. Aris hanya ingin melepaskan kegundahannya pagi ini, setelah melepas Dinara pergi ke belahan dunia yang jauh darinya. Semementara Alea ... ia tak tahu sama sekali jika gadis itu juga sedang berasa di sini, entah untuk kegundahan yang mana.Aris melangkah pelan, ingin menghampiri dan mungkin saja bertanya kenapa Ale
Sebulan sudah kepergian Dinara, sebulan pula Alea dan Pras harus menerima perlakuan semena-mena Aris. Sebulan pula Alea menyadari bahwa pria yang pernah mencintainya itu kini telah berpaling sepenuhnya. Alea mungkin menjadi orang yang paling memahami Aris, bahkan bisa mengerti bahasa pria itu hanya dari tatapan mata teduh Aris.Sebulan ini pula hubungan Alea dengan Pras semakin dekat. Pras, pria muda yang ternyata menjadi penolong Alea ketika sang ayah yang tengah berjuang melawan penyakitnya kembali menggaungkan perjodohan. Masih seperti yang dulu, sang ayah ingin sekali melihat Alea menikah seperti adik-adiknya yang telah terlebih dahulu menjalani perjodohan oleh sang ayah.Lalu Pras datang sebagai penolong, ketika Alea memintanya untuk mengaku sebagai kekasih Alea di depan sang ayah, meski setelah itu masalah lain kembali terjadi, yaitu saat sang ayah yang semakin lemah kini menuntut keduanya untuk segera meresmikan hubungan.Sementara Aris justru semakin frustasi, bukan hanya kar
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw