TDP 35"Terserah kamu saja, Ri. Aku ikut apa yang kamu lakukan." Percuma juga aku memutuskan membawa Ari dalam masalahku jika aku hanya akan berpikir sendirian. Apalagi dengan kondisi perubahan hormon serta emosi tidak stabil begini."Masih yakin dengan keputusanmu?" tanya Ari lagi. "Kenapa kamu masih menanyakan itu?""Belum terlambat untuk kembali. Berpura-pura tak tahu segalanya. Kamu tentu tahu peribahasa yang mengatakan tempat bersembunyi paling aman adalah di sarang musuh.""Tidak. Aku tak bisa menjamin calon bayiku akan melihat dunia." Tatapan menakutkan Tuan Saddil tadi pagi kembali terbayang, dan aku harus memejamkan mata untuk mengusirnya."Mungkin si pak tua itu akan sangat bernafsu membuatmu menderita. Namun, bukankah ada opsi kehadiran Sananta di sana? Kurasa, menjadi ayah, akan menggedor nuraninya walaupun sedikit.""Kenapa tak kau katakan itu sejak tadi?" tukasku sedikit kesal. "Kita tidak perlu bercapek r
Kukira aku akan sulit tidur malam itu. Ternyata aku tidur bagai orang mati. Hingga pagi hari datang, sinar matahari yang menerobos kisi jendela membuat mataku silau.Aku terbangun oleh silau itu dan menyadari di mana aku berada sekarang. Sedikit cemas aku mengintip keluar, ke arah lautan dan ke halaman di depan sana. Tenang, tak ada apapun. Berarti sampai saat ini pelarianku masih aman.Saat kembali ke ranjang, serangan itu datang. Aku bergegas ke toilet yang untunglah berada di dalam kamar, dan memuntahkan cairan kuning teramat pahit di sana. Tak cukup sekali, aku harus mengeluarkannya berkali-kali, hingga bermenit-menit, rasanya belum juga puas.Tenggorokanku sudah perih dan sedikit bercak darah nampak di antara air liur yang keluar. Tak ada lagi cairan kuning karena isi lambungku sudah terkuras habis. Mual masih belum ingin reda ketika pintu kamarku diketuk. Ketukan yang aku yakini Ari, tapi segera berubah ketika ritmenya lebih cepat dan keras.
"Ini bukan masalah besar, Ari, aku ....""Bagaimana ini bukan masalah besar? Ketika kau saja tak sanggup berjalan dari kamar mandi ke sini? Ini memang hanya satu jam atau mungkin kurang, tapi itu--" Ari menjeda ucapannya. "Aku--""Maafkan aku, Hara. Seharusnya aku tak menuruti semua keinginanmu. Seharusnya aku memberikan solusi yang lebih bijak. Seharusnya lagi, aku tak membiarkanmu--bahkan mendukungmu mengambil keputusan untuk menikah cepat. Yang salah itu aku, bukan Saddil atau Sananta," ceracau Ari tak memberikanku kesempatan bicara."Harusnya aku selidiki dulu, harusnya aku meluangkan waktu, harusnya aku membiarkan egoisme ku sedikit mendominasimu, sekarang apa yang kulakukan. Akulah yang sebenarnya membuatmu berada dalam posisi sulit ini," sambungnya sambil menatap langit-langit kamar.Dia terus meracau. Dan aku sungguh kehilangan kata untuk menghentikannya. Kenapa dia berpikir ini semua jadi salahnya?"Om Malik p
Aku menegang kaku di sebelah Ari mengetahui siapa yang menelepon. Kudengar mereka sejenak berbasa-basi sebelum sampai ke inti pembicaraan."Jangan bilang jika Hara kabur dari rumahmu," tuding Ari terdengar tajam sambil menyalakan loudspeaker karena aku terus menarik-narik lengan bajunya."Jangan bilang kau yang membawanya kabur." Suara di seberang terdengar sama tajamnya. Entah di bagian mana aku terlewat, hingga keduanya sudah saling nyolot begini."Oho, kemana hilangnya percaya dirimu sampai berpikir aku yang melarikan istrimu?""Kau datang ke rumahku kemarin dan bertemu dengan Hara!" Suara Kak Sananta terdengar penuh amarah."Aku hanya mampir dan istrimu bahkan tidak menawarkanku masuk. Itupun setelah beradu mulut dengan security rumahmu yang seperti perempuan itu. Jika aku tahu kalian ada masalah begini, tak diragukan lagi, aku akan menunggumu datang dan menggampar wajahmu itu!" Gantian Ari yang marah. "Katakan, ap
"Apa? Dia menyuruh seseorang menyusulku?" Pundak Ari menegang. Mata kami reflesk bertatapan. Aku memberi kode agar Ari menyalakan loudspeaker lagi."Iya, Den. Mungkin Ibu salah dengar, tapi Ibu yakin Den Sananta barusan menelepon, menyuruh seseorang menyusul Den Ari, lokasinya sudah ditemukan. Makanya Ibu telepon kirain Aden kena musibah. Syukurlah Den Ari baik-baik saja.""Aku baik-baik saja, Bi, jangan khawatir. Aku akan pulang secepatnya."Panggilan itu ditutup diiringi tatapan kami yang terkunci di udara. Tanpa bicarapun, aku yakin isi pikiranku dan Ari sama.Sananta sudah menemukan tempat ini lewat panggilannya barusan. Dan kami mungkin sekarang akan menjadi buron."Segera selesaikan catatanmu. Setelahnya kita berangkat," titah Ari segera. Dia keluar kamarnya, lalu kembali lagi ke kamarku untuk mengambil ponselnya yang sudah berisi catatan keperluanku."Kunci pintunya rapat-rapat. Jangan bukakan siapapun yang datan
Enam belas jam lebih setelah Ari meninggalkan Hara di pulau terpencil itu. Pemuda itu telah tiba di kampungnya lagi saat matahari beranjak naik dan langsung menuju rumahnya. Sananta telah menunggu dengan raut kelam dan kemarahan yang tak tahu harus dilampiaskan ke mana. "Bagaimana, masih tak ada kabar soal Hara?" tanya Ari setelah basa-basi sesaat. Ini pertemuan pertama mereka, tapi tampaknya tak ada yang tertarik untuk membahas itu sama sekali."Belum. Aku tak tahu harus mencari ke mana lagi. Bahkan aku sudah mengirim orang ke teman-teman semasa kuliahnya, dan tak ada yang tahu di mana." Wajah Sananta keruh. "Dan kau masih di sini juga?" pancing Ari. Setelah mengutus orang untuk melacak jejaknya, Sananta masih mau menunggunya di sini. Ari yakin orang-orang Sananta telah kehilangan jejak. Dia tak bodoh untuk meninggalkan petunjuk walau sedikit saja."Ada sesuatu yang hendak kutanyakan padamu." "Soal apa?""Soal lahan Har
"Karena aku menjaga batas, Sananta, makanya kubiarkan semua pertanyaanku tergantung di udara." Ari menyeringai. "Kau tak tahu bagaimana kerasnya aku berusaha menahan diri, tapi sekarang aku tak tahan lagi. Jangan-jangan Hara melarikan diri karena kau sudah mengolah kebunnya diam-diam tanpa sepengetahuannya? Apalagi yang membuat seorang wanita bersuami kabur jika bukan karena kekecewaan yang mendalam pada suaminya?" "Hentikan prasangka tak berdasarmu, Ari. Aku tidak mungkin melakukannya pada istriku sendiri!""Lalu alasan apa lagi, Sananta? Mungkin kau tidak, tapi bagaimana dengan ayahmu? Bagaimana jika ayahmu menekan Hara di belakangmu?""Jangan bawa-bawa ayahku!" Emosi Sananta langsung memuncak. Dia paling tak bisa seseorang merendahkan ayahnya. "Kenapa tidak? Setahuku bisnis-bisnis besar seperti ini banyak permainan kotor di dalamnya. Contohnya izin yang kau pakai untuk mengolah kebun itu. Jangan kira aku tak tahu apa yang sebenarnya
"Tapi ini benar-benar tidak masuk akal, Pa. Tolong katakan sekarang juga," tuntut Sananta tak sabar lagi."Baiklah." Tuan Saddil menarik tegak punggungnya yang tadi bersandar di sofa. "Melihat emosimu hari ini yang lebih parah dari hari kemarin, sebenarnya aku kasihan padamu jika harus memperburuk lagi. Namun, sepertinya aku tak ada pilihan.""Hara tidak mengatakan apapun padamu?" tanya Tuan Saddil. "Mengatakan apa?" jawab Sananta segera."Inilah yang kutakutkan akan terjadi Sananta. Kau akan salah paham, tapi aku menghargai permintaan Hara.""Papa tolong langsung saja ke intinya, aku tidak mengerti apa yang Papa katakan.""Kau tahu soal bibinya yang ditangkap polisi buntut perkara jual beli dengan surat palsu? Di mana perusahaan kita sudah memberikan uang muka satu miliar?""Ditangkap polisi? Bukankah semuanya sudah diselesaikan secara kekeluargaan?" Seingat Sananta, papanya setuju untuk tidak membawa ka