Aku menegang kaku di sebelah Ari mengetahui siapa yang menelepon. Kudengar mereka sejenak berbasa-basi sebelum sampai ke inti pembicaraan."Jangan bilang jika Hara kabur dari rumahmu," tuding Ari terdengar tajam sambil menyalakan loudspeaker karena aku terus menarik-narik lengan bajunya."Jangan bilang kau yang membawanya kabur." Suara di seberang terdengar sama tajamnya. Entah di bagian mana aku terlewat, hingga keduanya sudah saling nyolot begini."Oho, kemana hilangnya percaya dirimu sampai berpikir aku yang melarikan istrimu?""Kau datang ke rumahku kemarin dan bertemu dengan Hara!" Suara Kak Sananta terdengar penuh amarah."Aku hanya mampir dan istrimu bahkan tidak menawarkanku masuk. Itupun setelah beradu mulut dengan security rumahmu yang seperti perempuan itu. Jika aku tahu kalian ada masalah begini, tak diragukan lagi, aku akan menunggumu datang dan menggampar wajahmu itu!" Gantian Ari yang marah. "Katakan, ap
"Apa? Dia menyuruh seseorang menyusulku?" Pundak Ari menegang. Mata kami reflesk bertatapan. Aku memberi kode agar Ari menyalakan loudspeaker lagi."Iya, Den. Mungkin Ibu salah dengar, tapi Ibu yakin Den Sananta barusan menelepon, menyuruh seseorang menyusul Den Ari, lokasinya sudah ditemukan. Makanya Ibu telepon kirain Aden kena musibah. Syukurlah Den Ari baik-baik saja.""Aku baik-baik saja, Bi, jangan khawatir. Aku akan pulang secepatnya."Panggilan itu ditutup diiringi tatapan kami yang terkunci di udara. Tanpa bicarapun, aku yakin isi pikiranku dan Ari sama.Sananta sudah menemukan tempat ini lewat panggilannya barusan. Dan kami mungkin sekarang akan menjadi buron."Segera selesaikan catatanmu. Setelahnya kita berangkat," titah Ari segera. Dia keluar kamarnya, lalu kembali lagi ke kamarku untuk mengambil ponselnya yang sudah berisi catatan keperluanku."Kunci pintunya rapat-rapat. Jangan bukakan siapapun yang datan
Enam belas jam lebih setelah Ari meninggalkan Hara di pulau terpencil itu. Pemuda itu telah tiba di kampungnya lagi saat matahari beranjak naik dan langsung menuju rumahnya. Sananta telah menunggu dengan raut kelam dan kemarahan yang tak tahu harus dilampiaskan ke mana. "Bagaimana, masih tak ada kabar soal Hara?" tanya Ari setelah basa-basi sesaat. Ini pertemuan pertama mereka, tapi tampaknya tak ada yang tertarik untuk membahas itu sama sekali."Belum. Aku tak tahu harus mencari ke mana lagi. Bahkan aku sudah mengirim orang ke teman-teman semasa kuliahnya, dan tak ada yang tahu di mana." Wajah Sananta keruh. "Dan kau masih di sini juga?" pancing Ari. Setelah mengutus orang untuk melacak jejaknya, Sananta masih mau menunggunya di sini. Ari yakin orang-orang Sananta telah kehilangan jejak. Dia tak bodoh untuk meninggalkan petunjuk walau sedikit saja."Ada sesuatu yang hendak kutanyakan padamu." "Soal apa?""Soal lahan Har
"Karena aku menjaga batas, Sananta, makanya kubiarkan semua pertanyaanku tergantung di udara." Ari menyeringai. "Kau tak tahu bagaimana kerasnya aku berusaha menahan diri, tapi sekarang aku tak tahan lagi. Jangan-jangan Hara melarikan diri karena kau sudah mengolah kebunnya diam-diam tanpa sepengetahuannya? Apalagi yang membuat seorang wanita bersuami kabur jika bukan karena kekecewaan yang mendalam pada suaminya?" "Hentikan prasangka tak berdasarmu, Ari. Aku tidak mungkin melakukannya pada istriku sendiri!""Lalu alasan apa lagi, Sananta? Mungkin kau tidak, tapi bagaimana dengan ayahmu? Bagaimana jika ayahmu menekan Hara di belakangmu?""Jangan bawa-bawa ayahku!" Emosi Sananta langsung memuncak. Dia paling tak bisa seseorang merendahkan ayahnya. "Kenapa tidak? Setahuku bisnis-bisnis besar seperti ini banyak permainan kotor di dalamnya. Contohnya izin yang kau pakai untuk mengolah kebun itu. Jangan kira aku tak tahu apa yang sebenarnya
"Tapi ini benar-benar tidak masuk akal, Pa. Tolong katakan sekarang juga," tuntut Sananta tak sabar lagi."Baiklah." Tuan Saddil menarik tegak punggungnya yang tadi bersandar di sofa. "Melihat emosimu hari ini yang lebih parah dari hari kemarin, sebenarnya aku kasihan padamu jika harus memperburuk lagi. Namun, sepertinya aku tak ada pilihan.""Hara tidak mengatakan apapun padamu?" tanya Tuan Saddil. "Mengatakan apa?" jawab Sananta segera."Inilah yang kutakutkan akan terjadi Sananta. Kau akan salah paham, tapi aku menghargai permintaan Hara.""Papa tolong langsung saja ke intinya, aku tidak mengerti apa yang Papa katakan.""Kau tahu soal bibinya yang ditangkap polisi buntut perkara jual beli dengan surat palsu? Di mana perusahaan kita sudah memberikan uang muka satu miliar?""Ditangkap polisi? Bukankah semuanya sudah diselesaikan secara kekeluargaan?" Seingat Sananta, papanya setuju untuk tidak membawa ka
"Kau tidak bisa langsung gegabah begini, Sananta.""Gegabah apanya, Pa? Istriku hilang bahkan sudah lebih dua hari. Aku akan membuat laporan ke kantor polisi, dengan demikian kemungkinan Hara ditemukan lebih besar.""Papa tahu, Sananta. Tapi saat ini kita tidak boleh membiarkan berita ini tersebar pada umum. Kau tahu apa resikonya. Nama baik perusahaan kita akan jadi taruhan jika gosip menyebar, apalagi sampai viral. Apa kata orang jika menantu Tuan Saddil hilang setelah memberikan izin lahannya untuk diolah SS Energy Group? Bisa-bisa kita dianggap mafia dan sengaja menghilangkannya.""Lalu bagaimana dengan Hara, Pa? Apakah nama baik lebih penting daripada nyawa?" "Tentu saja nyawa lebih penting, Sananta. Namun, kita benar-benar tak boleh gegabah. Kau tahu izin untuk menambang emas sangat sulit untuk keluar, dan bencana jika yang berwenang mengetahui hal ini."Sananta menyugar rambut. Salah satu hal yang tidak disukainya dari S
Aku bermimpi lagi. Kak Sananta datang dengan wajah sendu dan mata sembap. Bibirnya bergerak seperti orang bicara tapi tak satupun yang kudengar. Aku sampai menangis memintanya mengeraskan suara, tapi Kak Sananta justru pergi bersama sampan nelayan. Membiarkanku menangis tersedu di pinggir pantai."Kak, Kak Hara." Suara Riang, gadis delapan belas tahun yang tidur bersamaku membuatku benar-benar tercabut dari mimpi itu. Wajahnya yang putih bersih dengan dua bola mata khas--berbinar-binar-- menyorotku dengan cemas. "Kakak mimpi buruk lagi?" Aku mengangguk pelan sambil menghapus sisa air mata. Bahkan aku benar-benar menangis di dunia nyata dan rasanya itu menyebalkan. Kenapa pria yang sudah menipuku harus masuk ke mimpiku dan membuatku menjatuhkan air mata?Harusnya, semua tentang kami berakhir sampai di dunia nyata saja. Aku tak sudi mengingatnya di dalam mimpi lagi, karena itu hanya akan menunjukkan betapa ... lemahnya aku."Mun
"Iya. Kukira kamu adiknya, ternyata ..." Kak Ratna menggantung ucapannya seraya menatap penuh arti. "Ternyata apa, Kak?" Dadaku sedikit berdebar, tak tahu kenapa padahal tak sekali dua aku mendengar komentar seperti ini. Mungkin saja cara menatap Kak Ratna yang membuatku salah tingkah."Ternyata kalian tak mirip. Haha." Kak Ratna tertawa, aku pun segera mengikutinya.Satu hal kemiripan dua beradik itu, keduanya sama-sama humoris. Dan dengan cepat aku merasa nyaman berada di sini.Kak Ratna membagi beberapa momennya dengan Ari. Aku mendengarkan dengan antusias. Selama ini, karena terbatasnya waktu, aku jarang mendengar bagaimana sosok Ari dari sudut pandang yang lain."Ari itu loyal, baik dan sopan, Ra. Dia sering membantuku soal materi karena seperti yang kamu lihat, aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Kadang-kadang kiriman datang terlambat dan biaya kuliah nunggak. Kadang dia menerima bayar utangku, lebih sering s
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya