"Iya. Kukira kamu adiknya, ternyata ..." Kak Ratna menggantung ucapannya seraya menatap penuh arti. "Ternyata apa, Kak?" Dadaku sedikit berdebar, tak tahu kenapa padahal tak sekali dua aku mendengar komentar seperti ini. Mungkin saja cara menatap Kak Ratna yang membuatku salah tingkah."Ternyata kalian tak mirip. Haha." Kak Ratna tertawa, aku pun segera mengikutinya.Satu hal kemiripan dua beradik itu, keduanya sama-sama humoris. Dan dengan cepat aku merasa nyaman berada di sini.Kak Ratna membagi beberapa momennya dengan Ari. Aku mendengarkan dengan antusias. Selama ini, karena terbatasnya waktu, aku jarang mendengar bagaimana sosok Ari dari sudut pandang yang lain."Ari itu loyal, baik dan sopan, Ra. Dia sering membantuku soal materi karena seperti yang kamu lihat, aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Kadang-kadang kiriman datang terlambat dan biaya kuliah nunggak. Kadang dia menerima bayar utangku, lebih sering s
"Kamu dinyatakan sengaja melarikan diri, sehingga kehilanganmu tidak dilaporkan pada polisi."Hara menahan napas, lalu mengembuskan pelan-pelan. Bukankah seharusnya dia senang dengan berita itu? Setidaknya dia tidak perlu repot memakai masker ke manapun hanya untuk antisipasi seseorang tiba-tiba saja mengenalnya lewat media sosial atau televisi."Tentu saja. Menantu SS Energy Group hilang setelah lahannya baru saja dikeruk. Apa kata dunia?" Hara tertawa sumbang, memaksa logikanya berpikir untuk menimbun kecewa yang melanda.Ternyata semua ini memang hanyalah tipuan Sananta belaka. Tak ada cinta di hatinya, yang ada cuma ambisi dengan segala macam cara termasuk sandiwara sempurna. Dia di sana pasti sudah melupakan Hara selama tiga bulan ini. Dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, sementara Hara pergi atas keinginan sendiri. Sananta tak perlu repot untuk mengusir atau membuat drama baru agar perempuan itu segera enyah dari hidupnya
"Sebenarnya aku sudah tahu," sahut Ratna sambil menarik kepalanya dari jendela. "Karena itulah aku berhenti GR dan menganggapnya sebagai seorang sahabat saja," senyumnya lagi."Segampang itu?" Riang menatap kakaknya. "Ya. Aku belum terjatuh ketika itu, masih berada di bibir jurang. Jadi, hanya butuh sedikit keberanian untuk menarik diri lebih kuat ke belakang.""Wow. Simple sekali.""Tentu saja. Beruntung ketika itu ada yang bantu menarikku juga, yaitu kakak iparmu. Sehingga semuanya lebih mudah." Ratna terbahak sejenak. Lalu menatap bola mata bulat milik Riang. "Bagaimana denganmu? Apakah kau sudah terlanjur menjatuhkan kakimu pada tebing yang kau tak tahu dasarnya?" Sangat mudah menebak pikiran Riang. Dunianya ada di bola matanya. Lalu nada suaranya akan menyempurnakan semuanya."Entahlah." Riang menjawab cepat. Tapi disertai helaan. "Apakah ini bukan suatu kebodohan?""Apanya yang kau sebut kebodohan?"
TDP 48."Hara, kamu nyaman tinggal di sini, 'kan?" tanya Ari pelan. Kali ini mereka hanya berdua di kamar periksa bidan itu. Hara harus menunggu selama dua jam untuk memastikan keadaan kandungannya. Jika membaik dan tak terjadi apapun, barulah dia boleh pulang, jika tidak, kemungkinan besar akan dirujuk.Riang sengaja memberi mereka waktu bicara dengan pergi membeli jajanan tak jauh dari rumah sang bidan."Nyaman, kok. Riang dan Kak Ratna sangat baik. Aku serasa memiliki saudara perempuan." Hara melarikan pandang dari dinding bertempelkan gambar-gambar informasi dasar kesehatan dan ibu hamil. "Masakannya juga enak. Alamnya juga. Aku bahkan seringkali menikmati pasir dan pantai bersama Riang. Di sini tenang dan damai. Sama sekali tak ada masalah.""Lalu kenapa?" tanya Ari lagi. "Kamu masih terlalu memikirkan soal kebunmu dan Tuan Saddil? Kita kan sudah sepakat ini hanya sampai kamu melahirkan, Hara.""Tidak juga."Ari mengembuskan
TDP 49.Ari memandang Hara. Yang dipandang hanya tersenyum sambil mengeluarkan udang tepung dari kantong, lalu mulai memakannya dengan penuh penghayatan. Ari terus memandangi Hara, memerhatikan cara makannya yang sepenuh perasaan serta kilat sendu di matanya."Sejak kapan, Ra?" tegur Ari. Hara nampak tergagap sesaat. Seolah dia baru saja dikejutkan dari lamunannya."Kak Ari, jangan ganggu Kak Hara. Katanya itu bisa merusak penghayatan Kak Hara saat sedang menikmati cita rasa udang tepung idolanya," jelas Riang sambil tersenyum. "Luar biasa sekali si Hara," tanggap Ari sambil menggigit udang tepung. Rasanya biasa saja, tapi bagi Hara jelas terlihat itu seperti makanan terenak di dunia. "Biasanya dia jijik sama udang, Ri. Jangankan makan, lihat aja eneg," bisik Ari."Begitu, ya, Kak? Kukira Kak Hara dari sananya suka udang. Tapi kurasa ini masuk akal, sih. Ibu hamil suka punya selera aneh-aneh. Dari gak suka jadi suka,
"Kenapa baru sekarang, Pa?" Suara Sananta berdesis. Wajahnya membeku oleh kemarahan."Tak segampang itu untuk mendapatkan berkas ini, Nak." Senyum masih menghiasi bibir Tuan Saddil. "Bagaimana sekarang, kau masih tidak percaya pada keraguan Papa?"Sananta diam. Sejak awal papanya memang sudah yakin kalau Hara sengaja minggat. Sananta masih mencoba membantah, kalaupun sengaja, pasti ada alasan kuat yang menyertainya. Alasan yang sampai hari ini tentu masih jadi misteri bagi pria itu. Lalu kini, melihat nama Hara dan Ari dalam keberangkatan yang sama, darah serasa mendidih di puncak kepala Sananta. Semua tudingan Tuan Saddil yang selama ini disangkalnya masuk menyerbu kepalanya. Ari ternyata telah mempermainkannya, dan Hara ....Sananta memejamkan mata kuat-kuat. Kedua orang itu telah menciderai kepercayaannya dengan sangat hebat."Akan kucari dia!" Kepalan Sananta menghantam meja. Lalu tubuh tingginya bergerak keluar. Rasanya in
"Katakan saja dan jangan berbelit-belit!""Aku serius, Sananta. Jika kau bisa melacakku, kenapa tak kau temukan Hara? Harusnya sebelum kau menuding aku pelakunya, maka kau sudah lebih dulu tahu di mana keberadaannya." Sananta menggeram, kepalannya kembali bergetar. Sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan diri."Jika tak kau temukan Hara di tempat di mana kau berhasil melacak jejakku, maka tanyakan pada orang-orang suruhanmu. Jika mereka tak mau mengaku, kau harus pastikan sendiri dengan mata kepalamu." "Di dunia ini, tak ada yang bisa dipercaya kecuali tangan dan kaki sendiri, Sananta. Begitupun aku. Kau tak boleh percaya sepenuhnya padaku, atau kau akan seperti saat ini.""Aku tak percaya kau melakukan ini padaku, Ari." Suara Sananta bergetar, kemarahannya telah diganti kekecewaan. Bagaimana dia begitu terpuruk selama ini. Disangkanya Ari teman sepenanggungan, ternyata pemuda itu kenyang menertawakannya di belakang punggungn
"Aku tak pernah menilai Hara serendah itu, Ri." Sananta menimpali setelah terdiam sejenak. Penyebab dirinya dan Ari selalu tegangan tinggi adalah salah paham. Ari masih menyangka jika dia ikut terlibat dalam pengolahan lahan Hara. Sementara menurut ayahnya Hara lah yang sengaja memberikan surat kuasa demi bibinya."Jika bukan, apa yang sebenarnya terjadi, Sananta? Kau tahu, kekecewaan terbesar Hara adalah kau menipunya. Mungkin, jika kau sedikit bersabar, kau merayunya dengan segala macam cara, semuanya tak akan menjadi seburuk itu. Toh, dia mencintaimu. Apapun akan diberikannya, termasuk nyawanya." Jelas Ari tidak suka mengatakan bagian ini, tapi memang itulah kenyataannya. Kenyataan yang tak dikatakan Hara tapi terlihat dari gerak-geriknya."Hara menyangka aku menipunya?" Sananta tercengang. "Maaf, tapi di bagian manakah aku menipunya, Ari? Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Aku pulang dan pergi kerja seperti biasa. Memang aku terlalu sibuk sehing
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya