TDP 48.
"Hara, kamu nyaman tinggal di sini, 'kan?" tanya Ari pelan. Kali ini mereka hanya berdua di kamar periksa bidan itu. Hara harus menunggu selama dua jam untuk memastikan keadaan kandungannya. Jika membaik dan tak terjadi apapun, barulah dia boleh pulang, jika tidak, kemungkinan besar akan dirujuk.Riang sengaja memberi mereka waktu bicara dengan pergi membeli jajanan tak jauh dari rumah sang bidan."Nyaman, kok. Riang dan Kak Ratna sangat baik. Aku serasa memiliki saudara perempuan." Hara melarikan pandang dari dinding bertempelkan gambar-gambar informasi dasar kesehatan dan ibu hamil. "Masakannya juga enak. Alamnya juga. Aku bahkan seringkali menikmati pasir dan pantai bersama Riang. Di sini tenang dan damai. Sama sekali tak ada masalah.""Lalu kenapa?" tanya Ari lagi. "Kamu masih terlalu memikirkan soal kebunmu dan Tuan Saddil? Kita kan sudah sepakat ini hanya sampai kamu melahirkan, Hara.""Tidak juga."Ari mengembuskanTDP 49.Ari memandang Hara. Yang dipandang hanya tersenyum sambil mengeluarkan udang tepung dari kantong, lalu mulai memakannya dengan penuh penghayatan. Ari terus memandangi Hara, memerhatikan cara makannya yang sepenuh perasaan serta kilat sendu di matanya."Sejak kapan, Ra?" tegur Ari. Hara nampak tergagap sesaat. Seolah dia baru saja dikejutkan dari lamunannya."Kak Ari, jangan ganggu Kak Hara. Katanya itu bisa merusak penghayatan Kak Hara saat sedang menikmati cita rasa udang tepung idolanya," jelas Riang sambil tersenyum. "Luar biasa sekali si Hara," tanggap Ari sambil menggigit udang tepung. Rasanya biasa saja, tapi bagi Hara jelas terlihat itu seperti makanan terenak di dunia. "Biasanya dia jijik sama udang, Ri. Jangankan makan, lihat aja eneg," bisik Ari."Begitu, ya, Kak? Kukira Kak Hara dari sananya suka udang. Tapi kurasa ini masuk akal, sih. Ibu hamil suka punya selera aneh-aneh. Dari gak suka jadi suka,
"Kenapa baru sekarang, Pa?" Suara Sananta berdesis. Wajahnya membeku oleh kemarahan."Tak segampang itu untuk mendapatkan berkas ini, Nak." Senyum masih menghiasi bibir Tuan Saddil. "Bagaimana sekarang, kau masih tidak percaya pada keraguan Papa?"Sananta diam. Sejak awal papanya memang sudah yakin kalau Hara sengaja minggat. Sananta masih mencoba membantah, kalaupun sengaja, pasti ada alasan kuat yang menyertainya. Alasan yang sampai hari ini tentu masih jadi misteri bagi pria itu. Lalu kini, melihat nama Hara dan Ari dalam keberangkatan yang sama, darah serasa mendidih di puncak kepala Sananta. Semua tudingan Tuan Saddil yang selama ini disangkalnya masuk menyerbu kepalanya. Ari ternyata telah mempermainkannya, dan Hara ....Sananta memejamkan mata kuat-kuat. Kedua orang itu telah menciderai kepercayaannya dengan sangat hebat."Akan kucari dia!" Kepalan Sananta menghantam meja. Lalu tubuh tingginya bergerak keluar. Rasanya in
"Katakan saja dan jangan berbelit-belit!""Aku serius, Sananta. Jika kau bisa melacakku, kenapa tak kau temukan Hara? Harusnya sebelum kau menuding aku pelakunya, maka kau sudah lebih dulu tahu di mana keberadaannya." Sananta menggeram, kepalannya kembali bergetar. Sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan diri."Jika tak kau temukan Hara di tempat di mana kau berhasil melacak jejakku, maka tanyakan pada orang-orang suruhanmu. Jika mereka tak mau mengaku, kau harus pastikan sendiri dengan mata kepalamu." "Di dunia ini, tak ada yang bisa dipercaya kecuali tangan dan kaki sendiri, Sananta. Begitupun aku. Kau tak boleh percaya sepenuhnya padaku, atau kau akan seperti saat ini.""Aku tak percaya kau melakukan ini padaku, Ari." Suara Sananta bergetar, kemarahannya telah diganti kekecewaan. Bagaimana dia begitu terpuruk selama ini. Disangkanya Ari teman sepenanggungan, ternyata pemuda itu kenyang menertawakannya di belakang punggungn
"Aku tak pernah menilai Hara serendah itu, Ri." Sananta menimpali setelah terdiam sejenak. Penyebab dirinya dan Ari selalu tegangan tinggi adalah salah paham. Ari masih menyangka jika dia ikut terlibat dalam pengolahan lahan Hara. Sementara menurut ayahnya Hara lah yang sengaja memberikan surat kuasa demi bibinya."Jika bukan, apa yang sebenarnya terjadi, Sananta? Kau tahu, kekecewaan terbesar Hara adalah kau menipunya. Mungkin, jika kau sedikit bersabar, kau merayunya dengan segala macam cara, semuanya tak akan menjadi seburuk itu. Toh, dia mencintaimu. Apapun akan diberikannya, termasuk nyawanya." Jelas Ari tidak suka mengatakan bagian ini, tapi memang itulah kenyataannya. Kenyataan yang tak dikatakan Hara tapi terlihat dari gerak-geriknya."Hara menyangka aku menipunya?" Sananta tercengang. "Maaf, tapi di bagian manakah aku menipunya, Ari? Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Aku pulang dan pergi kerja seperti biasa. Memang aku terlalu sibuk sehing
"Siapa yang begitu mengancamnya? Dia belum mengenal banyak orang. Dia bahkan sangat menikmati waktunya di rumah dan terlihat enjoy menjalani hari.""Maka, kau harus mencari tahu lebih dulu dari dalam rumahmu."Sananta menatap Ari lagi, lalu membuang pandangan ke jalan raya yang berjarak sekitar sepuluh meter di depan sana. Dia bisa merasakan kecurigaan Ari begitu kuat mengarah pada papanya. Namun, Sananta masih mencoba membantah.Tak mungkin seorang ayahnya yang meski disiplin dan tegas, tapi begitu menyayangi dan memprioritaskannya selama ini. Menyakiti Hara berarti menyakiti anaknya. Apa motifnya sang papa jika memang harus menikung Hara? Apa benar hanya karena SS Energy Group tidak mau rugi, lalu apa gunanya posisi seorang CEO jika dia tak memiliki hak istimewa atau kelebihan dari posisi di bawahnya sama sekali?Jika diingat-ingat, papanya memang sangat berambisi. Jika dia sudah memutuskan ya, maka akan jadi ya. Hal yang dulu seringkali menjadi
Sananta mengepalkan tangannya sambil berusaha keras menjaga emosinya untuk tetap tenang. Berlama-lama dengan Ari bisa membuat kepalanya meledak."Okey. Kita lihat saja. Aku akan segera menemukan Hara dengan caraku sendiri," tekad Sananta. Tunggu saja keadaannya berbalik, Ari takkan bisa sesumbar seenaknya di depannya lagi."Segampang itu. Tinggal tanya pada ayahmu, semua beres.""Kau ....!" Kepalan Sananta mengeras lagi, sementara rahangnya mengatup kuat. "Akan kuceritakan pada Hara, bagaimana suami tercintanya ini sungguh emosional sekali." Ari mengibaskan tangannya. "Pergilah segera. Sebelum yang kau takutkan terjadi pada Hara. Itu pun jika kau benar-benar mengkhawatirkannya."Sananta menyepak batu dengan ujung sepatunya. Lalu menggeram pergi. Andreas, asisten yang seringkali menemani setiap perjalanannya, buru-buru menuju mobil lebih dulu. Pegal menunggu, membuatnya memilih berjalan-jalan di sekitar bangunan, dan tanpa senga
"Aku benar-benar tidak tahu menahu, Sananta. Hara bilang dia akan mengusahakannya saat aku dipenjara. Tak lama, aku dibebaskan dengan jaminan. Setelah itu aku menerima kiriman pos. Surat kuasa darinya. Aku semula tak percaya, tapi agaknya hati Hara telah melunak. Aku sendiri sudah melupakan soal ambisiku padanya. Aku sadar itu salah, tapi ketika surat itu datang, aku bisa apa selain melanjutkannya? Sejak di bawa ke polisi itu, aku merasa menyesal dan memutuskan untuk mendukung Hara. Begitu surat kuasa itu datang, aku pun mengikut saja."Kata-kata Bibi Sartika terus terngiang di kepala Sananta. Dilihat dari caranya, wanita itu nampak bersungguh-sungguh. Ingatan itu menambah banyak benang kusut di kepalanya.Sekarang ini dia sedang menunggu papanya di ruangan lelaki itu, setelah perjalanan jauh dan pertemuan yang menjengkelkan dengan Ari."Kau pulang cepat, Sananta?" tegur Tuan Saddil begitu masuk ruangannya."Ya." Sananta menjaw
"Ri. Hari ini kakak mau ke Bidan Agni, ya. Sudah janji kemarin jam sepuluh," pamit Hara pada Riang yang sedang menggendong Rinai. Bayi itu rewel efek badannya yang mendadak panas. Barusan Riang sudah memberinya paracetamol, tapi sepertinya obat itu belum bekerja."Apa sebaiknya Kakak nggak istirahat aja di rumah dulu? Kan kemarin baru saja pulang USG. Ntar kenapa-napa kalau Kakak banyak gerak." Riang mulai cemas. Dia ingat pesan Ratna. Dan memang tadi saat membeli kepiting segar ke rumah warga yang persis berada di bibir pantai--rumah Ratna berada di tempat yang landai-- dia melihat tiga orang lelaki asing sedang minum kopi di satu-satunya warteg yang ada di pulau ini. "Ah, nggak apa, kok, Ri. Ke sana gak sampai dua ratus meter. Jalannya juga datar, gak sampai lima puluh meter yang sedikit menanjak. Ntar kakak pelan-pelan saja. Kakak gak enak sama Bidan Agni nanti beliau nungguin kakak lama. Sudah janji soalnya, 'kan, pasti ditungguin.""Duh, ta