"Maafkan aku. Kai. Huhu ..., maafkan aku ...," lirihnya tersedu sambil menutup wajah. Meluapkan curahan emosi yang dipendamnya sejak tadi. Zhan An melirik dan tak mengucap kata sepatah pun, membiarkan Arumi larut dalam tangisnya, dia hanya mengawasinya dalam diam. Setelah puas menangis Arumi beringsut, memberi jarak antara dia dan Zhan An. "Aku ingin pulang." Dia menekuk lutut dan mengalungkan kedua lengannya disana, "Kai. Tolong bantu aku. Aku melakukan hal seperti ini agar bisa kembali, maafkan aku Kai, aku tidak tahu kalau Lien Hua begitu marah padamu. Pemuda itu menghela nafas, "Kenapa kau selalu memanggilku Kai.""Karena aku mengenalmu. Kau adalah Kai.""Bagaimana Kau mengenalku?""Kenal saja. Tadi pagi, kau hampir terkena panah, apa kau baik-baik saja?" tanyanya mengalihkan pertanyaan yang sudah pasti tidak bisa dijawabnya. Zhan An tersentak, bagaimana gadis ini tahu tentang hal itu, padahal dia sudah berusaha menutupinya. "Bagaimana Kau tahu.""Aku melihatnya. Karena itu,
KREEKKH! Leher itu terkulai seketika setelah tubuhnya menegang dengan otot yang mengeras menahan sakit. Dengan tubuh gemetar, pria berkepala botak mengintip sebentar sebelum menundukkan tatapannya ke lantai. Penguasa lembah hitam; Hei An mengelap tangannya yang bersimbah darah dengan baju pria malang yang baru dia patahkan lehernya tadi sebelum melompat masuk ke dalam bejana besar yang berisi air. Tangannya memberi isyarat agar pelayan mendekat, gadis belia berusia belasan tahun itu dengan wajah pucat buru-buru datang sambil membawa segelas air berwarna merah menyala. "Harum," katanya berkomentar setelah mengendus bibir gelas, menggoyangkan air berwarna merah lalu meneguknya dengan nikmat. Gadis belia berwajah pucat mengambil gelas yang sudah kosong lalu beringsut meninggalkan tempat itu sambil menarik mayat yang tergeletak tadi. "Ada apa?" Tatapan pria berambut merah api beralih pada sosok berkepala botak yang duduk bersimpuh sambil menunduk. "Aku hanya ingin mendengar kabar b
"Kau tidak membohongiku, kan?""Untuk apa aku membohongimu? Aku, kan ingin membantumu," imbuh Zhan An, "Hei, jangan menatapku dengan tatapan curiga seperti itu. Aku serius.""Saat langit terbelah, aku sedang membawa pedang langit. Itu sangat mengejutkan, tapi juga luar biasa, karena aku bisa bertemu denganmu," lanjutnya lagi."Pedang langit? pedang berat itu bernama pedang langit?" tanyanya kaget, setau Arumi pedang langit adalah pedang yang dimiliki Pendekar Awan, tapi kenapa ada pada pemuda gondrong ini. "Benar. Tapi untuk kau ketahui, dia tidak terlalu berat. Biasa saja," timpalnya mencemooh Arumi. "Lalu dimana pedang itu sekarang?" tanya Arumi tak perduli. Masa bodoh dengan segala ejekan Zhan An, tujuan dia hanya ingin segera pulang ke rumah. "Bukannya seharusnya aku yang bertanya di mana kamu simpan pedang itu?" decak pemuda berambut ikal itu pada Arumi, "Bukankah aku menitipkannya padamu hari itu," tekannya dengan tampang serius. "Sialan," rutuk Arumi dalam hati, tampaknya Z
Lien Hua tercengang dengan kecepatan tangan Zhan An yang luar biasa, entah kapan pisau kecil yang berada dipinggangnya telah dirampas dan melesat ke leher pencuri itu. "Zhan An? Apa yang kau lakukan? Yeye sedang menginterogasinya?!" sergah yeye melihat perbuatannya. "Dia melototiku, aku takut, jadi tidak sengaja aku ...." Pemuda itu berlari memeluk yeye dengan tubuh gemetaran. "Ya ampun. Apa kau takut? Tidak apa-apa Zhan An, Yeye bersamamu di sini. Semua baik-baik saja." Pria tua itu mendekap erat sambil mengelus punggungnya. "Li, bereskan semua. Aku tak ingin cucuku trauma melihat ini semua." Dia membimbing tubuh lemas Zhan An dan membawanya masuk ke rumah.Arumi menghampiri Lien Hua yang masih mematung, tampaknya dia terlalu syok dengan kejadian tadi, "Hei, sadarlah Lien Hua," tepuknya di pundak gadis itu. "Arumii ... Kau ... Kau lihat, kan tadi?" tanyanya tergagap. "Aku melihatnya.""Bagaimana bisa ... Dia .... ""Tenangkan dulu dirimu." Arumi menggandengnya masuk ke rumah se
"Semua persiapan sudah selesai, Tuan." wajah pria itu menunduk, sepasang tangannya beradu, tangan kiri membentuk kepalan dan tangan kanannya sementara tangan kiri terbuka lurus. Mata pria yang duduk di singgasana merah itu melebar, netra merah yang dimilikinya berkilau penuh gairah, "Bagus," sahutnya melemparkan senyum tipis "Aku penasaran, kemana lagi dia akan melarikan diri." Tubuh besar itu menyender nyaman. "Aah, Tiba-tiba aku merasa haus. haruskah kita berpesta hari ini," ujarnya memandang pria botak yang melapor dengan kaki separuh tulang. Mendadak sunyi, sekumpulan pria yang datang bersama pria botak semakin menundukkan kepala. Aura ketakutan yang mencekam sanggup membuat bulu kuduk merinding. "Ada apa dengan kesunyian ini, Uh, ini tidak menyenangkan," keluhnya merasa tak ada tanggapan. "Mereka sedang bertugas, ada baiknya mereka mempersiapkan semua agar lebih matang."Sorot mata syukur dan terimakasih memenuhi pandangan Yongshen. Sebagai wakil pimpinan dia sangat mengert
Mata Zhan An menatap tajam benda itu, "Yeye, itu ....""Benar. Kau ingat kristal yang dulu menghilang? akhirnya dia kembali."PLAK! Lien Hua menepis tangan Zhan An yang terangkat hendak mengambil kotak kayu. "Bola matamu terlalu berbinar. Jangan-jangan kau yang merencanakan penyerangan di tempat ini. Kau bahkan tidak terluka sedikitpun," cerca gadis itu menatap sinis Zhan An seakan hendak mengulitinya. Sungguh aneh pemuda itu kelihatan rapi di saat semua pakaian mereka hampir semua terbakar walau sedikit, wajah paman Li juga terlihat sedikit menghitam, Rambut panjang Yeye sedikit terbakar dan tangan serta kaki Lien Hua menyisakan bekas merah. Sedangkan dia? wajah dan tubuhnya terlihat sangat bersih. Sontak Arumi menatapnya, benar juga, ketika mereka semua dalam keadaan kacau balau pemuda itu masih terlihat glowing. hanya kakinya saja yang masih berlumur lumpur. ck. setidaknya dia bisa berpura-pura terluka kalau ingin bersandiwara dengan benar. "Aku?tidak!." Zhan An mengangkat tang
Setelah mengoyak roti menjadi potongan kecil, pria berambut perak memasukkannya ke dalam mulut dengan hening. "Cobalah bertahan hidup, lakukan demi dirimu sendiri, kalau itu belum cukup lakukan demi aku karena kau berhutang nyawa padaku. tapi kalau itu masih juga kurang. lakukan demi dendammu." ujarnya dengan penekanan. Dendam. mungkin itu bukan kalimat yang pas diucapkan saat ini, karena Sejak kekasihnya menusuknya dengan pisau, saat itu jiwanya telah mati. Memang pisau itu hanya belati kecil biasa namun racun yang melumurinya sanggup membunuh seekor naga. Tubuhnya yang sekarat terselamatkan setelah Syaoran meminta bantuan pada Siluman Lintah. Lintah. nama yang sangat pantas disampirkan pada makhluk biadab itu karena hidupnya sebagai parasit dan pemangsa. Dia ingat betul saat perempuan berleher panjang dengan mulut yang lebar bersedia membantu dengan syarat meminta kekekalan tubuhnya. Karena tidak ingin pemuda berambut perak itu mati, dia mengabulkan permintaan siluman Lintah da
Wanita cantik itu berkali-kali menatap pintu, kegelisahan terlihat jelas dari air mukanya. Langkahnya mondar mandir seiring helaan nafasnya. "Tenanglah istriku. " Yintian mengomentari istrinya Li wei yang terlihat begitu tidak sabaran. "Aku tidak bisa tenang, kenapa belum ada kabar dari anak itu." Sekali lagi Li Wei mengintip ke luar. Berharap sosok yang dinantikannya menunjukkan wajah. "Anak itu memang tidak bisa diharapkan," gerutunya sembari duduk di sebelah Yintian. "Jangan berkata seperti itu, Bila dia mendengarnya itu akan membuatnya sakit hati," tegur Yintian. "Kalau saja cahaya itu mampu membantu She Xian tantu aku tidak kesusahan seperti ini, ternyata sakit yang dideritanya membutuhkan sesuatu yang lebih kuat.""Kau akan membunuhnya? mengulangi hal yang sama sepertiku?" Yintian menatap istrinya perih, "Ambil saja milikku. tokh ini sejatinya bukan hakku." lanjutnya dengan mimik wajah bersalah. "Tidak, Sayang. Tidak ada yang lebih berhak memilikinya selain kamu." Li wei m