Derap langkah kaki Tama berhenti tepat di samping motornya, di tempat parkir karyawan bersamaan dengan dering handphone di saku celana kerjanya. Dengan sigap, cowok tersebut merogoh saku celananya, lalu mengambil benda canggih itu dari sana “Mbak Santi? Tumben nelpon. Ada apa?” Tama bergumam sendi
“Mir. Tolong ke ruangan saya sebentar,” titah Bu Sukma kepada Amira melalui sambungan telepon. Setelah mengatakan baik, Amira segera melangkahkan kakinya ke arah ruangan sang bos besar di konveksi tersebut. “Masuk, Mir,” ucap Bu Sukma dari dalam ruangannya setelah mendengar ketukan pintu. Sebenarny
Tama terdiam sejenak di samping motornya sebelum melangkahkan kaki menuju pintu rumah Amira. Seketika laki-laki itu kehilangan nyali setelah sampai di halaman rumah Amira. Padahal, sebelumnya sudah segunung mental yang telah ia persiapkan untuk menghadapi mertua serta mantan istrinya tersebut. Takut
“Katakan dengan jujur. Jangan mengulangi kesalahan yang sama, berbohong!” Bu Sumi menatap tajam netra Tama yang kini sedikit berani menatap Bu Sumi. Tama kembali merasa dikuliti oleh Bu Sumi. “Pertama, saya ingin bersilaturahmi, kedua saya ingin minta maaf kepada Ibu. Ketiga, saya ingin tahu baga
Tama mengerjap, lalu menggerakkan anggota badannya, melemaskan otot-otot tangannya usai bangun tidur. Perjalanan yang panjang membuatnya ketiduran dalam mobil yang ditumpangi. Selanjutnya, ia melirik jam yang melingkar di tangannya, alat penunjuk waktu digital itu sudah menunjukkan pukul setengah du
“Kamu jadi mendatangi rumahnya Lilik?” tanya Akbar begitu bertemu Tama di parkiran setelah libur selama dua hari, Saptu dan Minggu. “Jadi, dong. Ini oleh-oleh yang aku bawa dari sana.” Tama menyerahkan sekantong kresek berwarna hitam pada Akbar. Alih-alih menerima kresek tersebut, Akbar justru men
Tubuh perempuan yang sejak usia salat Isya bergulung dengan selimut kini beringsut dari ranjang. Rasa penasaran menuntunnya untuk berjalan ke arah pintu utama yang sejak tadi sudah dibuka separuh oleh bibinya. Di ambang pintu, Amira menatap punggung laki-laki yang sedang menghadap ke arah jalan, m
Amira terpaku di tempatnya. “Tolong kamu cari tahu semua informasinya. Kumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Aku ingin tahu, sejauh mana kehebatan dia!” Dengan suara tegas dan tidak mau dibantah Reza memberikan perintah. Entah siapa yang sedang ia hubungi. Namun, dari suara yang penuh ketegas
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar