POV Lilik“Maaf, ada apa, ya, Ibu menatap saya begitu dalam?” tanyaku kepada seorang wanita paruh baya yang menumpang berteduh di kontrakanku. Di luaran hujan begitu derasnya. Aku memberikan tumpangan padanya untuk beristirahat sejenak. Sepertinya dia orang yang sama susahnya dengan aku. Buktinya, i
POV 3“Aku tak bisa membalas sakit hati ini sendiri. Di sini, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Satu-satunya cara aku harus menikah dengan Mas Tama dulu untuk membalaskan sakit hati ini pada Bu Sumi. Bekerja sama dengan mantan besannya itu seperti lebih baik. Aku akan datang untuk menuntut keadilan
Usai salat Isya, aku yang biasanya merebahkan badan di samping ranjang ibu, kini masih berkutat di dapur. Malam ini aku mempersiapkan bumbu-bumbu untuk besok pagi. Dua ratus box nasi harus dikirim ke pelanggan untuk acara syukuran di sore harinya. “Nduk, kamu, kok, akhir-akhir ini bibi perhatikan b
[Karena saya menggunakan katering lain. Kami takut terjadi sesuatu jika menggunakan jasa kateringmu. kami tidak mau menanggung malu setelah memberikan makanan dari kamu pada para tamu. Ah, seharusnya kami tidak jujur. Maaf kalau menyakiti hatimu. Tapi, itu kenyataannya. Menantu saya ingin yang terba
POV 3Amira yang baru keluar dari gang sempit setelah membagikan makanan di komplek tempat tinggalnya itu menghentikan langkahnya. Menatap sekilas mantan kakak iparnya sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Baginya, meladeni Santi sama dengan melakukan hal sia-sia, buang-buang waktu. Toh, sa
“Jadi itu wajah selingkuhan kamu, Mas? Mantan terindahmu?” Seorang perempuan sedang menatap layar handphone yang sudah terkoneksi dengan CCTV yang dipasang pada mobil suaminya. Jantung perempuan itu berdetak-detak, seolah memompa darah dua kali lipat dari biasanya. Darahnya mendidih mengalir seluru
“Alan? Kenapa ia ada di sini? Apa dia memata-matai aku sehingga tahu keberadaanku saat ini. Padahal, aku sudah tidak ingin bertemu lagi dengan kamu, Alan!” Di dalam hati Amira merutuki pertemuannya dengan Alan. Laki-laki yang paling dihindari dan benci setengah mati oleh Amira. Tapi, justru mereka b
“Tenang Amira, tenang. Jangan berpikir yang macam-macam dulu. Belum tentu Bu Wongso mau menuntutmu.” Amira menenangkan dirinya sendiri. Ia melangkah keluar, meninggalkan kamar ibunya yang selama ini ia tempati. “Ada apa, ya, Bu?” tanya Amira setelah mengucapkan salam pembuka pada lawan bicaranya d