“Ada perlu apa datang ke sini? Masih punya nyali juga kemari?” tanyaku begitu bersitatap dengan tamu tak diundang tersebut. Di depan pintu, aku bersedekap dengan badan disandarkan pada kusen pintu. Tidak ada sambutan hangat untuknya seperti dulu. Aku tidak bisa lagi berbasa-basi dengannya. Mendenga
“Mbak, Bu Sumi sepertinya memanggil-manggil.” Aku menoleh ke arah sumber suara. Nana terlihat panik, ia berdiri di ambang pintu pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. “Tolong samperin dulu, Na. Aku masih ada sedikit urusan.” Perempuan itu mengangguk. Aku harus menyelesaikan urusan dengan Li
POV Lilik“Maaf, ada apa, ya, Ibu menatap saya begitu dalam?” tanyaku kepada seorang wanita paruh baya yang menumpang berteduh di kontrakanku. Di luaran hujan begitu derasnya. Aku memberikan tumpangan padanya untuk beristirahat sejenak. Sepertinya dia orang yang sama susahnya dengan aku. Buktinya, i
POV 3“Aku tak bisa membalas sakit hati ini sendiri. Di sini, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Satu-satunya cara aku harus menikah dengan Mas Tama dulu untuk membalaskan sakit hati ini pada Bu Sumi. Bekerja sama dengan mantan besannya itu seperti lebih baik. Aku akan datang untuk menuntut keadilan
Usai salat Isya, aku yang biasanya merebahkan badan di samping ranjang ibu, kini masih berkutat di dapur. Malam ini aku mempersiapkan bumbu-bumbu untuk besok pagi. Dua ratus box nasi harus dikirim ke pelanggan untuk acara syukuran di sore harinya. “Nduk, kamu, kok, akhir-akhir ini bibi perhatikan b
[Karena saya menggunakan katering lain. Kami takut terjadi sesuatu jika menggunakan jasa kateringmu. kami tidak mau menanggung malu setelah memberikan makanan dari kamu pada para tamu. Ah, seharusnya kami tidak jujur. Maaf kalau menyakiti hatimu. Tapi, itu kenyataannya. Menantu saya ingin yang terba
POV 3Amira yang baru keluar dari gang sempit setelah membagikan makanan di komplek tempat tinggalnya itu menghentikan langkahnya. Menatap sekilas mantan kakak iparnya sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Baginya, meladeni Santi sama dengan melakukan hal sia-sia, buang-buang waktu. Toh, sa
“Jadi itu wajah selingkuhan kamu, Mas? Mantan terindahmu?” Seorang perempuan sedang menatap layar handphone yang sudah terkoneksi dengan CCTV yang dipasang pada mobil suaminya. Jantung perempuan itu berdetak-detak, seolah memompa darah dua kali lipat dari biasanya. Darahnya mendidih mengalir seluru
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar