POV 3“Arak! Arak!” Suara mereka kembali memenuhi indra pendengaran Tama dan juga Lagi Lilik. “Sial! Kenapa bisa seperti ini, sih? Kenapa pula Fikri tiba-tiba pulang ke Indonesia? Kenapa dia tidak berkabar terlebih dahulu? Apa semua itu memang sudah direncanakan?” Di dalam hati Tama bertanya-tanya
POV Fikri Benar perkiraan Amira, Lilik pasti akan pulang lagi ke rumah ini. Sebab, perempuan murahan itu tidak punya pilihan lain selain kembali ke sini.“Bagus kamu kembali ke sini! Segera kemasi barangmu yang ada di sini!” Di depan pintu aku menyambutnya dengan bentakan.“Mas, kamu mengusir aku?”
Aku hapal betul siapa pemilik suara itu.Dengan tujuan apa Santi datang kemari? Apalagi yang sedang ia rencanakan? “Di sini rupanya kamu?” ucap Santi begitu kami bertemu di depan pintu. Aku mundur beberapa langkah, niat awal masuk ruangan ibu jadi tertunda. Kak Fikri yang masuk ke ruangan Ibu. San
Kurang ajar! Apa maksudnya Tama membuat status seperti itu? Seolah-olah “Kok di berandaku nggak ada, ya, Mbak?” tanyaku setelah membuka akun media sosial berwarna biru tersebut. Tidak cukup di mengecek berandaku, aku pun langsung berkunjung ke akun milik Tama. Tapi, nihil. Tidak ada status apa-apa
“Kamu pikir telah menang karena menggugat cerai aku. Kamu salah, aku tidak akan mengabulkan permintaan cerai kamu. Jangan harap perceraian ini berjalan mulus.” Pesan dari Tama membuat keningku berkerut. Tidak habis pikir, apa sih maunya orang itu? Dia yang berkhianat, tapi kenapa pula tidak mau dic
POV 3 Ketuk palu hakim membuat detak jantung Amira bertalu-talu. Jari jemarinya saling bertaut. Meskipun ini yang Amira inginkan, perpisahan. Tapi, nyatanya tetap meninggalkan luka di hati perempuan cantik tersebut. Siapa yang menginginkan perpisahan? Tidak ada satu perempuan pun di dunia ini yang
“Bagaimana kondisi Bulik Sumi? Maaf, aku sangat sibuk akhir-akhir ini, sehingga tidak ada waktu untuk ke sini. Bulik Sumi sudah ada perubahan? Bagaimana hasil pengobatan yang waktu itu?” tanya Mbak Mayang sembari menyodorkan rantang padaku. Sudah tiga bulan dari perceraianku dengan Tama. Tapi, kond
“Ada perlu apa datang ke sini? Masih punya nyali juga kemari?” tanyaku begitu bersitatap dengan tamu tak diundang tersebut. Di depan pintu, aku bersedekap dengan badan disandarkan pada kusen pintu. Tidak ada sambutan hangat untuknya seperti dulu. Aku tidak bisa lagi berbasa-basi dengannya. Mendenga