Silvia yang mulai tenang dengan sikapnya, saat itu pula Roman telah pergi darinya. Silvia merasa menyesal karena dengan secara tidak langsung dia mengusir Roman dari apartemen tempat tinggalnya."Roman," panggil Silvia berjalan keluar dari kamarnya, dan mencari Roman di kamar yang lainnya. "Roman, apa kau di dalam?"Dia terus mengulang memanggil Roman, tapi sayang Roman sudah tidak ada di sana, dan sialnya dia tidak tahu ke mana perginya Roman saat ini.Ceklek!!!Silvia membuka pintu kamar itu, demi memastikan pemuda pujaannya masih berada dalam kamar itu. Wajahnya terlihat gusar saat melihat satu lemari pakaian itu kosong, dia tahu Roman pergi meninggalkannya."Tidak, ini tidak mungkin?" paniknya Silvia saat itu, dan langsung menghubungi Bimo-asistennya.'Halo, Bim. Kamu bisa ke apartemen saya sekarang?' pintanya melalui sambungan telepon.'Tentu bisa Nyonya, saya akan ke sana sekarang juga,' Bimo menuruti perintah bosnya itu.'Baiklah, aku tunggu kau sekarang,' Silvia kembali meneka
Harun berusaha menenangkan Roman, ia tahu kerinduan yang dirasakan keponakannya terhadap orang tuanya itu terlalu dalam. "Paman, tahu kau sangat merindukan kedua Orang Tuamu Roman, tapi kua harus tetap kuat demi Syifa adikmu," Harun mengelus pundak keponakannya yang terlihat rapuh itu."Ya, Paman benar. Aku harus kuat demi Syifa," ia mengusap buliran bening yang jatuh menetes dari pelupuk matanya."Halah, cengeng!" ejek Risma istrinya Harun, yang biasa di panggil Roman dengan sebutan Bude.Harun menatap dengan tatapan tajam pada Risma yang bicara sembarangan terhadap keponakannya itu. "Ibu, kamu ini apa-apaan? Bukannya menghibur keponakan kita, malah mengejeknya!" tukas Harun kesal."Halah, sudahlah Pak. Gak usah ngebela dia, memang benar kan, sebagai Pria dia ini terlalu cengeng!" ucap Risma masih terus mengejek keponakan dari suaminya itu."Ibu!" bentak Harun memperingatkan.Risma lantas berbalik masuk ke dalam rumah, dengan gerutuannya. "Memang benar kok dia itu bisanya apa sih?"
Silvia menggeleng kepalanya terhadap sikap putrinya yang tumbuh jadi gadis pencemburu, dan pemarah. Tapi, dia tidak dapat menyalahkannya karena semua ini adalah buah dari perceraiannya dengan sang suami, sedangkan Selina hanya korban perceraian."Mommy harap suatu saat kau kan mengerti apa yang Mommy rasakan saat ini Nak, tak apa kau seperti ini sekarang," gumam Silvia mendesah. Lalu pergi menuju kantornya.Dalam perjalanan dia teringat lagi pada Roman, dan terbesit mengingat tempat dia bertemu dengan Roman di sebuah Refleksiologi."Apa mungkin Roman kembali bekerja di tempat itu, kalau pun tidak setidaknya aku bisa mencari informasi asal-usul Roman melalui tempat itu," ucapnya berbicara sendiri sambil memutar arah.Saat itu Silvia tidak sadar kalau saat ini dia di ikuti oleh seseorang pengguna kendaraan lain di belakangnya. Hingga Silvia sampai di tempat Roman bekerja dahulu.Semua orang terpana dengan kedatangan janda kaya itu, berambut pirang dengan lekuk tubuh menggodanya Silvia s
"Sial!" Fred sangat geram saat Bimo berhasil mendahuluinya."Bagaimana ini Bos, apa kita harus menembak ban mobil mereka?" salah seorang anak buah Fred bertanya.Namun, Fred tidak setuju dengan saran itu. "Bodoh! Itu sama saja kau menyuruhku untuk membunuh Silvia, apa kau tidak tahu di dalam mobil itu bukan hanya Bimo?" dengan raut wajah kesal juga menepuk pundak anak buahnya."Maaf Bos, saya pikir Bos akan setuju,""Diam bodoh! Jangan banyak bicara lagi!" tukasnya, "Terus ikuti saja mobil itu!" perintahnya lagi.Gara-gara anak buahnya yang tidak fokus pada mobil Silvia, ia kehilangan jejak mereka membuat Fred semakin marah."Ah, sial! Hilangkan mereka?" gerutu Fred karena telah kehilangan jejak Silvia, dan Bimo.***Kini Silvia bersama asistennya-Bimo, telah sampai di sebuah desa yang asing baginya. "Coba kamu tanya penduduk Desa ini Bim, pastikan mereka mengetahui tempat tinggal Keluarga Roman," ujarnya meminta Bimo agar lekas keluar dari mobilnya."Baik, Nyonya. Saya akan coba bert
Suara mesin itu berhenti dan mengalihkan pandangan semua orang, lalu di susul oleh pria bersepatu pantofel turun dari mobil dengan gagahnya, sedangkan tatapannya sangat tajam terhadap Roman."Lama kita tidak jumpa, apa kabar Bocah ingusan?" sinis Fred dengan tatapan tajam.Roman mendengus, ia tidak suka jika di panggil dengan cemoohan seperti yang di lontarkan Fred. Demi membalas Fred, ia menghentikan Silvia yang hampir pergi darinya."Tunggu Silvia!" ujar Roman dengan suara baritonnya.Silvia yang hampir pergi kembali menoleh, dan hatinya sedikit tenang karena Roman menghentikan langkahnya. "Rom, kau memanggilku?""Ya, aku memanggilmu,""Ada apa Rom?" tanya Silvia dengan raut wajah gembira, karena Roman sudah mulai menerimanya kembali."Bisakah aku ikut denganmu lagi? Aku ingin memperjuangkan cinta kita, setelah aku melihat wajah Pria sombong ini, aku semakin bersemangat memilikimu seutuhnya.""ROMAN!!!" murka Fred, karena merasa di remehkan oleh Roman yang selalu dia anggap bocah in
"Apa yang akan kau sampaikan padaku?" desak Harun agar Silvia secepatnya memberitahu tentang hubungannya dengan Roman.Silvia menarik nafasnya pelan-pelan, lalu duduk di sofa yang berada ruang tamu rumah sederhana itu."Begini Paman, sebenarnya aku dengan Roman memiliki suatu hubungan yang cukup spesial, bisa dibilang kami sepasang kekasih, tujuanku datang kemari untuk menjemput Roman sekaligus meminta restumu, maukah kau memberikan restu itu pada kami?" ucap Silvia penuh meyakinkan.Harun terdiam sejenak, lalu mengusap dahinya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika keponakannya akan jatuh cinta pada perempuan yang jauh lebih matang darinya."Paman, bagaimana apa kau merestui kami?" Roman menggenggam tangan Harun.Namun, Harun terdiam. Sangat berat baginya untuk memberikan restu itu karena ia pikir usia Roman belum matang jika bersanding dengan Silvia yang jauh lebih dewasa dari keponakannya."Apa tidak ada Wanita lain Roman, kenapa harus Janda?" Mendengar pernyataan sang paman, Roma
Roman begitu senang setelah dagangannya habis terjual, ia pun semakin semangat berjualan, tetapi semakin hari ia menjadi curiga ada yang tidak beres dengan ramainya pembeli minumannya itu.Hari ini adalah hari ke lima Roman membuka usaha minuman seperti aneka just, dan lain-lain. Hari ini pun tidak kalah ramainya seperti hari yang telah terlewati, apalagi Syifa adiknya sangat giat membantunya."Dek ... Kakak pikir kau tak perlu lagi membantu Kakak berjualan, lebih baik kamu Sekolah lagi ya," saran Roman pada sang adik kesayangannya."Ah, Kak ... buat apa Sekolah, toh dengan membantu Kakak berjualan Syifa sudah bisa menghasilkan Uang bukan? Nanti Uangnya habis jika Syifa Sekolah lagi," tolak Syifa yang tidak mau merepotkan."Tidak Syifa, kamu harus kembali Sekolah. Masa depanmu masih panjang Sayang ... jangan sia-siakan masa mudamu, 'ya!" tandas Roman bersikukuh ingin adiknya kembali bersekolah.Saat mereka berdua beradu argument, tiba-tiba saja calon pembeli minuman datang berbondong,
"Ayolah Roman, aku tidak bermaksud menipumu ... aku hanya ingin kau tidak hidup susah,""Stop! Silvia!" Roman menyentaknya. "Kalau kau ingin melihatku tidak kesusahan berhenti membantuku!" sambil mendorong tubuh Silvia.Silvia merasa sedih karena Roman tidak menerima bantuannya, padahal ini semua dia lakukan untuk kebaikannya."Kau mendorongku? Kenapa kau melakukan ini padaku Roman, apa salahku. Aku hanya bersikap baik padamu, apa itu salah?!" dengan menitikkan air matanya Silvia terus memohon agar Roman menerima pertolongannya.Untuk sejenak Roman terdiam, dan memalingkan wajahnya. Dia sadar kalau yang di lakukannya ini salah. Kemudian, dia pergi begitu saja."Roman!" panggil Silvia. "Apa salahku? Kenapa kau pergi tanpa penjelasan seperti ini?!" teriaknya kemudian.Tapi, Roman tidak peduli dan terus berjalan tanpa menengok lagi.'Kau sama sekali tidak bersalah Silvia ... hanya aku saja yang tidak becus menghidupi diriku sendiri!' batinnya lirih.Dia berlari sejauh mungkin dari Silvia
Sorot mata Silvia semakin tajam ketika melihat Fred dan Selena bertengkar di hadapannya, pasalnya ia meminta bertemu dengan Fred bukan ingin melihat pertengkaran mereka tapi ingin menuntut Fred mengakui di hadapan publik kalau sebenarnya mereka telah bercerai jauh sebelum ia mengenal cucu pengusaha terkenal kaya raya itu. "Hentikan!!!" Silvia berteriak demi menghentikan pertengkaran di antara mereka. "Kedatanganku kemari bukan untuk melihat perkelahian kalian, aku hanya minta kau klarifikasi di depan publik!" tukasnya geram. Namun, permohonan Silvia mendapatkan penolakan. Karena Fred bersikukuh masih ingin Silvia kembali seperti dulu. "Klarifikasi? Tidak akan ada Silvia! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu!" Silvia mengepalkan tangannya ia merasa frustasi. "Kita tidak akan pernah bisa Fred, kau mengerti? Seandainya dulu kau tidak melakukan hal bodoh, mungkin aku masih mau bertahan denganmu tapi kau berkhianat dengan jalang ini!" "Aku bukan jalang, Kau yang tidak
"Tuan, saya mohon berikan saya kesempatan," Dian memohon tatkala ia dipecat oleh Rezenzo "Tuan..." Tok! Tok! Tok! Perempuan itu terus mengetuk pintu supaya si pemilik rumah itu mau membukakan pintu untuknya, namun usahanya itu nihil. Malah yang keluar menemuinya bukanlah Rezenzo tetapi dua orang ajudan yang bersiap mengusirnya secara paksa. "Tolong pergi Dian! Kau sudah diperingatkan sejak awal bukan? Tapi, kenapa kau malah melanggarnya?" salah seorang dari dua orang itu menatap Dian, ia merasa kasihan namun tidak mungkin menolong perempuan itu. "Saya tahu saya salah, tapi..." "Pergilah, kami mohon jangan persulit pekerjaan kami!" usir pria itu dengan suara baritonnya. Dian menunduk pasrah, ia pun segera pergi meninggalkan rumah itu, bahkan dia di larang untuk memberi tahu Roman soal pemecatan ini. Sementara ketika dia pergi, Roman masih dalam perjalanan pulang, Pemuda itu sangat bahagia sekali setelah sekian lama ia bertemu kembali kekasihnya. "Aku bersumpah... kali
"Aaaa... ayolah beritahu aku," Silvia bersikap manja pada Roman, meski usianya jauh lebih tua dari kekasihnya tapi jika saat bersama pria yang dicintainya ia akan jauh lebih manja. "Sudahku bilang kalau sekarang aku beritahu, namanya bukan kejutan. Makanlah terlebih dahulu setelah ini kita akan pergi..." Dengan sedikit memoncongkan bibirnya perempuan mengangguk, "Hm... baiklah," Roman meraih kedua tangan Silvia ia berbicara dengan bersungguh-sungguh sambil menatap wajah perempuan itu. "Aku ingin, kau dan aku secepatnya menjadi kita," "Hah? Gimana-gimana maksudnya?" Silvia masih heran dengan kalimat yang ambigu itu. "Aku ingin secepatnya kita Menikah." ucap Roman memperjelas. "Kau serius, dalam waktu dekat ini?" Silvia meneliti wajah kekasihnya yang justru terang-terangan mengajak nikah. "Apa kau tidak percaya padaku?" tanya Roman malas saat tanggapan Silvia tidak sesuai harapannya. "Iya percaya, maaf... aku hanya kaget saja." balas Silvia lembut. "Iya aku ingin menik
"Bagaimana apa kau masih akan mengundurkan diri dari kerja sama ini?" ejek Roman kembali dengan senyuman. Dengan terpaksa Fred tetap bertahan dengan kerja sama yang telah berlangsung itu,"Tentu saja aku akan bertahan, aku bukan Orang bodoh!" ujar Fred menyombongkan diri. Kemudian ia menoleh pada sekretaris dan tangan kanannya, "Ayo kita pergi dari sini!" ajaknya dengan penuh kekecewaan. Mereka pun mengangguk lalu bangkit menyalim tangan Roman sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah yang mengadakan rapat itu, sedangkan Fred hanya diam dengan sikap angkuhnya dia sangat tidak menyukai suasana ini. Pada saat Fred dan karyawannya akan keluar dari ruang rapat itu, pria muda itu kembali mengejeknya, "Apa begini caramu? Sopan kah meninggalkan rapat penting yang belum usai?!" Fred tiba-tiba menghentikan langkahnya, "Sit!" sambil menepuk tangannya di udara menandakan kalau ia sangat marah. Sementara Roman bersedekap tangan sambil tersenyum licik menikmati rasa kesal musuhny
Silvia teramat sangat senang setelah mendapatkan kabar baik ini ia bahkan ingin secepatnya bertemu dengan kekasihnya. Namun, Silvia masih terhalang restu dari kakek Rezenzo, ia kembali dengan raut wajah sedih setelah mengingat soal Rezenzo menentang hubungan itu. "Sampai kapan Tuan Rezenzo akan seperti ini? Memandang aku dengan sebelah mata... aku harus melakukan sesuatu agar pria itu mau merestui hubungan ini," gumam Silvia merasa sesak. Mengingat pria kaya yang ternyata kakek dari kekasihnya itu sangat tidak menyukai Silvia, tapi bukan karena ia miskin namun karena perbedaan umur yang cukup sangat jauh. Akan tetapi... semua ini tidak akan menyurutkan semangat Silvia begitu saja. *** Hari ini perintah yang diterima Dian berjalan dengan baik, bahkan ia pun kembali ke kantor dengan berita yang menggembirakan, Roman memberikan Dian apresiasi berupa hadiah uang tunai dengan dalih untuk diberikan kepada orang tua Dian. "Kau hebat Dian, saya senang dengan keberhasilan mu. Tapi ti
Ceklek!!! Suara pintu dibuka oleh seseorang mengalihkan perhatian Rezenzo yang telah menunggu ke datangan perempuan itu. "Tuan, memanggil saya?" tanya Dian masih berdiri di ambang pintu. "Kemarilah saya ingin bicara denganmu, empat mata!" dengan tangan melambai ke arah Dian. Perempuan itu mendekat dan membungkuk di hadapan Rezenzo, "Apa yang ingin Anda bicarakan Tuan?" "Saya punya tugas untukmu, laporkan semua kegiatan Roman jika sedang berada diluar kantor, paham?!" bisik Rezenzo pelan dan sedikit mengancam, "Aku sengaja menunjuk kau Dian, lakukan pekerjaanmu dengan baik, aku percaya kau akan setia padaku." Dian terdiam dia merasa bingung atas permintaan Rezenzo, sedangkan di sisi lain ia telah berjanji pada Roman agar membantunya. "Huh! Bagaimana ini?" gumam Dian pelan. "Bagaimana kau bisa Dian?" tanya Rezenzo meyakinkan. Dian menatap kembali pada Rezenzo memasang gesture wajah lelah tapi tidak ingin menyerah, "Baiklah Tuan... saya akan berusaha sebisa saya," ucap
"Bagaimana ini Tuan? Cucu Anda tidak mau menjadi Direktur di perusahaan ini, sedangkan Anda telah mengumumkan pada seluruh karyawan di kantor dan para kolega kita," ucap pak Rusli tampak khawatir terhadap penolakan Roman. "Nanti biar aku pikirkan lagi, aku pastikan Roman akan menjadi Direktur di perusahaan ini. Kau jangan khawatirkan tentangnya," Rezenzo bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan rapat itu. Roman yang sedang kesal kini berada di ruangan kerja sang kakek tampak menatap jauh ke luar tirai jendela kantor megah itu. "Apa kau masih marah pada Kakekmu yang sudah Tua renta ini Roman? Kalau bukan kau yang menjadi Direktur di perusahaan ini siapa lagi?" Rezenzo berkata dengan lembut dan pura-pura terlihat lemah agar sang cucu merasa kasihan padanya. Namun, Roman tidak peduli padanya. Karena tujuan Roman bukanlah untuk jabatan, tujuan utama dia adalah untuk Silvia, karena dengan Dian yang menjadi asisten pribadinya maka semua yang direncanakan akan berjalan mulus.
Roman terdiam ketika pelayan itu berbicara seperti itu padanya, tapi ia juga berusaha memahaminya dengan serius. "Harus menjadi apa? Kau pikir aku harus apa?" Roman semakin bingung dengan maksud pelayan itu. "Astaga Tuan... pintarlah sedikit, kau punya segalanya! Oke, saya akan katakan pada Anda tidak akan pakai klue-klue lagi, Anda harus memiliki kekuasaan!" tandas pelayan bernama Dian itu. Menurut Dian dengan kekuasaan yang Roman miliki, ia akan semakin leluasa bertindak dalam hal apapun jika ia mau, tentu saja dalam hal ini Roman akan bisa berhubungan dengan mulus bersama Silvia tanpa takut akan halangan apapun. "Ternyata kau pintar Dian," ucap Roman menoyor kepala pelayan itu, "Saya suka dengan cara berpikirmu." "Pintarkan saya?" ujar Dian berbangga diri. "Oke, kali ini kau setuju kalau kau pintar." Roman terkekeh senang, akhirnya ia memiliki jalan untuk segera menyatukan hubungannnya dengan sang kekasih. *** Esok pagi pun telah menyapa kembali, dan hari ini Rom
"Tuan, lebih baik Anda menuruti perintah Tuan besar. Tolong jangan persulit pekerjaan saya," seorang pelayan tampak memohon pada pria muda itu agar menemui kakeknya. Roman masih berdiam diri dan acuh di dalam kamarnya. "Tuan, sebenarnya apa masalah kalian? Ceritakan pada saya, saya janji akan membantu Anda," Pelayan yang sebaya dengan Roman masih mencoba membujuk agar tuannya menurutinya, dan memperlancar pekerjaannya. Ceklek!!! Roman kembali membuka pintu kamarnya, "Kau pikir, kau bisa membantu masalahku? Jangan seolah kau serba tahu tentang masalahku, sana pergi! Saya tidak akan menuruti keinginan tua Bangka itu!" "Tuan, ayolah saya mohon... jangan persulit pekerjaan saya," perempuan itu memohon padanya dengan memelas. "Ada keluarga yang harus saya biayai agar dapat bertahan hidup, apa Anda akan Setega ini. Saya tidak mau dipecat hanya gara-gara saya tidak bisa membujuk Anda Tuan." Roman terdiam dan mengamati perempuan yang memelas di hadapannya, ia berpikir kakeknya s