Saat jam makan siang Dandi pergi kesalah satu kantin dan ia mendapati ada Fernando disana.
"Dandi..! Disini..!" Teriak Fernando sambil melambaikan tangan ke arah Dandi. Dandi pun berjalan menghampiri. Disana sudah ada teman-teman dekatnya yang lain juga.
"Hey kenapa pipimu membiru Dandi? Apakah kamu habis berkelahi?" Dengan nada cemas Fernando bertanya sambil berdiri dari tempat duduknya.
Dan sebaliknya Dandi tidak ingin sahabatnya terlalu menghawatirkan keadaannyapun mengarang cerita.
"Oh.. ini tadi aku terpeleset dan terbentur pintu toilet. Hehehe... Sungguh kesialanku" jawab Dandi santai sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Dandi sengaja berbohong agar Fernando tidak ikut dalam masalahnya dan juga tidak ingin memperburuk situasi.
"Hahaha... Aku kira kamu berkelahi. Dan jika iya, aku berharap kamulah yang memenangkannya. Sama seperti waktu SMA dulu, kamu berkelahi dengan kakak kelas kita dan kamu mengalahkannya!" Fernando tertawa lepas mendengar pengakuan Dandi yang menggelitik.
"Ahh.. aku tidak berkelahi kok, dan dulu waktu SMA itu cuma kebetulan saja aku bisa menang. Jangan berlebihan Fer" sambil tersenyum tipis dibibirnya. Mencoba bersikap seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Sementara diatas meja sudah ada makanan pesanan Fernando dan dua teman lainnya. Mereka adalah Brian dan Aldy. Ketiga orang itu adalah teman yang selalu ada untuk Dandi. Terkadang saat Dandi sedang mengalami masalah dalam keuangannya, teman-temannya itu sering membantu Dandi. Mereka menganggap semua mahasiswa memiliki setatus yang sama dan tujuan yang sama pula di kampus ini yaitu menuntut ilmu. Terlebih Dandi yang mereka sadari adalah mahasiswa yang bisa dibilang kurang mampu namun Dandi memiliki semangat dan pandai. Dandi bisa diterima di universitas ini karena mendapat beasiswa.
"Dandi, kamu mau makan apa? Biar aku yang traktir kali ini, itung-itung sebagai ucapan terimakasihku karena kemarin kamu sudah membantuku memecahkan tugas dari Bu lily" Brian menawari makan kepada Dandi. Sebenarnya Brian bukan anak dari keluarga yang kaya raya, orang tuanya memiliki usaha percetakan di tengah kota. Namun bagaimanapun tentu derajat keluarga mereka berbeda dibandingkan dengan keluarga Dandi.
"Ahhh gak perlu repot-repot, aku masih kenyang kok. Aku mau minum teh saja" dengan lugu Dandi berusaha menolak tawaran Brian. Baginya bisa berkumpul bersama sahabat-sahabatnya saja sudah membuatnya tenang.
Namun disebelah meja tempat mereka duduk terdengar bisikan mahasiswa lainnya.
"Itu kan si gembel kampus, datang kesini hanya untuk mencari makanan gratis"
"iya, dasar tidak tahu malu"
"Lihat saja penampilannya lusuh, benar - benar gembel"
Dandi yang mendengar itu hanya bisa diam, dan menyadari akan kekurangannya tersebut.
"Hey apa yang kalian bicarakan? Dandi ini teman kami, urus saja urusan kalian sendiri!" Aldy yang juga mendengar ucapan mereka justru langsung menggertak mereka. Memang Aldy adalah orang yang mudah terprovokasi. Dia dibesarkan oleh ayahnya. Kedua orang tua mereka berpisah saat Aldy masih kecil. Sehingga ia tidak kenal dengan kasih sayang seorang ibu. Sedangkan ayahnya hanya sibuk mengerjakan bisnisnya dan sering pergi keluar kota. Tak salah jika Aldy menjadi pribadi yang sensitif.
"Kalian bertiga masih saja mau ditempeli lintah seperti Dandi, seharusnya kalian sadar kemana kalian harus membawa diri..!" Seorang mahasiswa yang sedang duduk ditengah ruang kantin itu berbicara keras. Dia adalah William, putera pemilik pabrik bidang elektronik yang cukup besar. Bahkan orang tua William memiliki beberapa cabang di berbagai kota. Pantas saja William terlihat sombong dan sering pamer kekayaan didepan teman-temannya. Dan dia hanya mau berteman dengan mahasiswa yang kaya saja.
Mendengar ucapan William yang sangat merendahkan Dandi, Fernando angkat bicara.
"Hey, jaga cara bicaramu! Dandi tidak seburuk yang kalian bicarakan. Dia adalah orang yang baik, rendah hati, dan setiakawan."
Mendengar itu langsung dari mulut Fernando, Dandi merasa ingin memeluk sahabatnya itu. Namun dia juga merasa gara-gara dia, teman-temannya juga ikut direndahkan oleh orang-orang. Dandi pun mencoba menenangkan Fernando.
"Sudah Fer, biarkan saja. Tidak baik membuat keributan disini" sambil menarik tangan Fernando yang berdiri dari tempat duduknya.
"Apa kamu bilang? Biarkan saja? Ini sungguh tidak bisa dibiarkan. Bukan sekali dua kali mereka mengolok olok mu Dandi" Fernando terheran-heran dengan kesabaran Dandi yang memilih mengalah.
"Tidak apa-apa, lebih baik kita pergi dari sini. Sebelum masalahnya semakin panjang" Dandi meyakinkan Fernando sambil menoleh ke arah Aldy yang mulai memunculkan raut muka marah.
"Iya Fer tidak ada untungnya kalau sampai kita berkelahi dengan William" Brian ikut meredakan kemarahan kedua temannya.
"Baik jika begitu. Ayo kita pergi sekarang!" Sambil menahan kemarahannya Fernando menyetujui permintaan Dandi untuk memilih pergi dari kantin tersebut.
"Hahaha... Para pecundang ini memilih kabur rupanya! Sana lapor kepada orangtua kalian! Haha..." Dengan nada kemenangan William tertawa puas dengan keadaan itu. Dan teman-teman William ikut menertawakannya. Disertai pandangan sinis dari semua orang yang juga berada disana menandakan keberpihakan kepada William.
Rombongan Dandi beserta teman-temannya bergegas pergi, karena menghargai Dandi yang memilih mengalah.
Mereka berempat berjalan beriringan meninggalkan kantin. Sambil dalam hati Fernando mengumpat atas kelakuan semua orang yang memandang rendah Dandi. Sesampainya ditaman mereka memilih untuk beristirahat sejenak sambil duduk di bawah pohon."Hey Dandi, kenapa sih kamu memilih diam padahal mereka sering mempermalukanmu dan mengolok-olok kamu? Sesekali kita beri merepa pelajaran lah!" Fernando yang tidak terima dengan apa yang baru saja terjadi membuka obrolan dengan sedikit emosi."Iya, kamu harus berani. Dan jangan diam saja" Aldi yang tidak kalah emosinya ikut menyayangkan Dandi yang selalu mengalah dan diam ketika mengalami intimidasi dari orang-orang."Hmmm... tidak apa-apa kok. lagian yang merka katakan tidak sepenuhnya salah. Aku memang miskin, berpenampilan kampungan dan banyak lagi kekuranganku." Dandi menghela nafas panjang dan menatap ke arah awan sembari menjawab dengan tenang."Ya tapi kan...""Sudahlah, lagian kekerasan bukan jalan terba
Hari-hari dikampus masih saja seperti biasa, Dandi selalu menjadi korban bully dari para mahasiswa, terkecuali teman-teman yang mengenal Dandi sepenuhnya. Hinaan dan intimidasi selalu diterima Dandi. Namun kesabaran dan kerendahan hatinya adalah sebuah emas berharga yang tidak dimiliki setiap orang.Siang itu setelah tidak ada mata kuliah lagi, Dandi memutuskan untuk pulang. Dia mengirim pesan kepada Rena melalui ponselnya."Ren, aku pulang dulu. Soalnya tidak ada mata kuliah sore." Tulisnya singkat.Meski selalu berangkat kuliah bersama, Dandi dan Rena ternyata beda fakultas. Tanpa disadari ada sepasang mata yang mengawasi Dandi dari kejauhan. Dandi pun bergegas meninggalkan kampus. Setibanya disalah satu gang, Dandi teringat ada lembar tugas dari temannya yang harus ia kerjakan masih tertinggal di kelas. Dengan tergesa-gesa Dandi memutar tubuhnya dan melangkah cepat tanpa memperhatikan sekitar.Bruakk'"Akhh.. maaf paman, saya tidak sengaja. Saya
Setibanya di kampus Dandi memelankan langkahnya, dalam hati ia marah dan benci mendengar nama ayahnya. Tetapi ia juga merasa bersalah telah bersikap terlalu egois dan kasar kepada Ron,'astaga kenapa aku ini, bukankah Ron adalah orang yang lebih tua dariku yang seharusnya aku hormati. Dan dia juga bersikap ramah kepadaku. Kenapa tadi aku tidak bisa mengendalikan diri.' Batin Dandi dalam hati dia menyesali kejadian yang baru saja dilaluinya. Di pintu gerbang Dandi berpapasan dengan Rena dan temannya Dengan nada heran Rena bertanya."Hey Dandi.. kamu bilang tadi mau pulang dulu? Kok masih disini?" Sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Emmm.. ada lembar tugas yang masih tertinggal. Sehingga aku harus kembali untuk mengambilnya. Kalian sendiri mau kemana? Kok sudah dipintu gerbang, kan tadi pagi kamu bilang masih ada jam kuliah sampai sore..." Dandi menjawab dengan nada datar, karena suasana hatinya masih tidak enak. Sebisanya ia menutupi hal tersebut
Setibanya dirumah, Dandi membuka pintu depan."Aku pulang bu.." teriaknya sembari menoleh kanan kiri berusaha mencari ibunya. Tetapi tidak ada jawaban dari ibunya.'apa mungkin ibu kerja ya hari ini? Kok tidak ada di rumah' pikir Dandi seraya berjalan pelan menuju dapur untuk memastikan. Namun sang ibu tidak ada. Kemudian ia berbalik ke arah ruang tengah. Pandangannya terhenti ketika ia melihat sebuah joran ikan yang terselip diantara rak dan dinding. Dia berjalan menghampirinya pelan. Kemudian ia menyelipkan tangannya untuk mencoba mengambil joran ikan tersebut. Setelah ia berhasil meraihnya, ia memegang joran itu sambil mengingat ingatan yang tak dapat ia lupakan."Dengan joran ini aku akan memancing ikan yang besar ya ayah!" Dandi kecil berseru riang."Tentu saja! Besok hari minggu ayo kita taklukkan ikan-ikan besar itu nak! Jawab ayah Dandi dengan raut wajah sumringah penun semangat.Namun saat itu adalah hari terakhirnya bersama sang aya
"Ohh.. anda dosen pembimbing Dandi. Maaf tuan, ada kepentingan apa sehingga anda menemui saya disini?" Ibu Dandi balik bertanya keheranan, mengapa dosen Dandi datang kesini secara tiba-tiba."Saya membawakan surat pemberitahuan penting untuk Dandi, tentang hasil keikutsertaannya dalam pemilihan anggota pecinta alam." Jawab Ron sambil menyodorkan subuah surat kearah ibu Dandi."Jadi begitu, terimakasih. Maaf, bapak menjadi repot-repot mengantarnya sampai kesini." Sambil meraih dan menerima surat tersebut, ibu Dandi sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda hormat."Baik, itu saja. Saya mohon pamit." Ron bergegas pergi, dengan tetap membetulkan topi ferodinanya yang padahal tetap rapi pada posisinya."Iya Pak..." Ibu Dandi masih diselimuti rasa bingung, kaget, dan sedikit tersisa rasa takut. Namun ia juga berjalan melanjutkan rencananya membeli kebutuhan dapur dan bergegas pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, Ibu Dandi segera membuka pintu dan d
Setelah menghabiskan sarapannya, Dandi begegas berangkat ke kampus. Sebelum membuka pintu keluar ia sempat menoleh kesudut ruangan dimana terselip joran patah yang kemarin. Ia menghela nafas panjang dan teringat surat yang kemarin diberikan oleh Ron. Dan tiba-tiba pintu diketuk dari luar, dan seketika mengagetkan Dandi yang melamun tepat dibalik pintu itu.'tok..tok..tokkk!! Dandi?"Suara dari luar yang tak asing bagi Dandi memanggil namanya. Dan langsung saja Dandi membukakan pintu."Ehhh kamu Fer.." Sapa Dandi dengan wajah heran kok tumben Fernando datang kerumahnya pagi-pagi begini."Yoi.. aku sengaja kesini ingin mengajakmu berangkat bareng. Tuh si Aldy sama Brian juga ikut."Fernando menunjuk ke arah mobilnya dengan ibu jari, mengalihkan perhatian Dandi."Ayo bro! Kita berangkat!" Teriak Aldy dan Brian dari kaca jendela mobil audi milik Fernando yang terbuka."Ehhh... Kalian kok tumben sekali lewat sini dan ngajak aku baren
"kalau ada masalah katakan saja sejujurnya pada kami bro. Siapa tahu kami bisa membantu mencari jalan keluar." Imbuh Fernando sambil masih memegang kemudi."Iya Dan, bicaralah.. jangan ada rahasia diantara kita. Kita harus saling membantu""Betul kata Fernando dan Aldy.."Brian dan Aldy saling bersautan untuk membujuk Dandi agar mau mengatakan apa yang dialaminya. Dan melihat ketulusan dari teman-temannya, Dandipun luluh. Ia berfikir semua diantara mereka memang adalah orang-orang yang selalu ada untuk Dandi. Ia akan merasa bersalah jika harus terus berbohong kepada mereka. Dan akhirnya ia memutuskan untuk berkata jujur. Namun tanpa disadari mereka sudah sampai dipintu gerbang kampus. Dan Fernando mengarahkan kemudinya ke tempat parkir."Nanti pulang kuliah akan aku jelaskan pada kalian." Kata Dandi sembari memberikan senyum tipis. Mereka pun keluar dari mobil Fernando, dan berjalan beriringan ke kelas."Kalian tidak perlu khawatir, surat ini
Dua puluh menit kemudian mereka sampai di tempat yang Dandi sebutkan. Juan memarkir mobilnya di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Tak lama kemudian, mereka turun dari mobil dan berjalan beriringan menuju kursi dibawah pohon tersebut yang sengaja menghadap ke arah sungai."Cepat buka, jangan buat kami penasaran."Seru Fernando sambil menepuk pundak Dandi."Iya cepatlah, jika memang bukan hal buruk seperti yang kamu bilang maka jangan ragu lagi untuk membukanya." Tambah Brian dengan mengerutkan dahi yang tak kalah penasarannya dengan Fernando. Dam lagi, Dandi hanya menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara."Hahh... Baiklah, tenang dulu. Sebelumnya aku sampaikan pada kalian bahwa sebenarnya aku sangat malas untuk membuka surat ini. Namun karena keadaan sudah sejauh ini apalah dayaku. Oke, langsung saja aku buka sekarang." Selanjutnya, Dandi merobek ujung amplop putih yang tersegel oleh lem. Dan ia sedikit heran dengan warna kertas yang ada d
"Tenanglah Ron, beristirahatlah. Beruntung kau masih selamat dan berhasil sampai disini." Dandi menenangkan Ron, setelah mengalami kejadian-kejadian sebelumnya temperamennya menjadi lebih tenang karena terbiasa. Melihat kondisi Ron yang sangat lemah, ia mengurungkan untuk bercerita tentang pengelihatan yang tadi ia alami."Baiklah, kita istirahat dulu untuk malam ini. Aku yakin besok akan ada hal baik yang menanti kita." Dandi menatap Ron dengan penuh keyakinan dan bergegas dari duduknya dan berjalan mengunci pintu."Tapi... Dimana Yuli?" Ron bertanya dengan cemas, karena melihat kondisi rumah Dandi yang berantakan dan sedari tadi ia tidak melihat keberadaan Yuli, ibu Dandi.Dandi tidak menjawab hanya menarik nafas panjang lalu menggelengkan kepalanya. Ron langsung tercengang dan menggertakkan giginya. Mengerti bahwa kelompok Hodes telah menculik Yuli.Malam pun berlalu, dua pria itu tertidur lelap. Menjelang pagi, Dandi beranjak dari tempat i
"Terimakasih Ren, tapi mengapa kamu datang kesini?" Rena meletakkan ponselnya dan berpaling ke arah Dandi. "Aku hanya kebetulan lewat, dan aku melihat lampu di rumah mu masih padam tapi pintunya terbuka, jadi aku berinisiatif memeriksa apa yang terjadi. Dan setelah aku masuk, aku melihatmu terbaring dilantai." Rena sedikit mengerutkan keningnya saat berbicara penuh prihatin. Dandi mengangguk sambil tersenyum lalu menambahkan. "Jadi begitu, sebenarnya aku juga baru pulang dan saat aku datang kondisi rumahku sudah seperti ini, dan sayangnya aku tidak bisa menemukan ibuku." Dandi menundukkan kepala diakhir kalimatnya. "Jadi bibi Yuli tidak ada di rumah? Lalu kemana kita harus mencarinya? Ini sudah malam." Rena langsung menjadi cemas usai mengetahui bahwa ibu Dandi tidak ada di rumah, sementara kondisi rumah saat ini berantakan. Rena khawatir hal buruk terjadi menimpa ibu Dandi. Dandi bangkit dari tempat duduknya, ia melihat sekeliling ruangan dan berkata
Sekitar pukul enam petang Dandi sampai dirumahnya. Namun ia dibuat terkejut oleh pemandangan pintu rumah yang jebol dan jendela yang pecah. Ia segera berlari masuk kedalam rumah untuk mencari ibunya. Ia terus meneriaki ibunya dan berlarian kesetiap ruangan hanya untuk mendatapi ibunya tidak ada dirumah. Dengan seisi rumah yang berantakan, Dandi berfikir apa yang terjadi sebelum ia pulang, dan dimana ibunya kini.Ditengah keputusasaannya ia melihat sebuah buku catatan yang tergeletak dilantai kamar ibunya. Perlahan ia mendekatinya, disana ia melihat nama Dani Crustave tertulis disampul buku catatan itu. Ia membuka halaman demi halaman buku catatan itu. Yang membuatnya heran adalah didalam buku itu tergambar simbol-simbol dan coretan-coretan acak, namun meski terlihat acak Dandi merasa tidak asing dengan hal itu.Dandi seperti teringat sesuatu hal dimasa lalu. Saat itu ayahnya bermain detektif bersamanya dan memberinya rumus yang mengartikan makna tulisan yang mirip core
"kurasa itu adalah sebuah petunjuk yang harus kau pecahkan." Ron menjawab dengan menolehkan pandangannya kearah dinding, dimana foto lama Dani tergantung disana.Tiba-tiba suara bergemuruh terdengar, dan lampion yang tergantung mulai bergetar. Dandi dan teman-temannya mulai khawatir dengan kondisi tersebut. Ron seolah mengerti apa yang terjadi hanya bertukar pandang dengan Lily dan diikuti anggukan bersamaan."Apa yang terjadi?" Fernando berteriak karenan sedikit panik, ia merasa ada yang tidak beres saat itu. Seketika pula terdengar dentuman keras dari pintu batu seperti ada sesuatu yang memaksanya untuk terbuka. Namun Lily mengatakan kalimat yang tidak mereka duga."Kami gantungkan masa depan suku Tandero kepadamu Dandi." Dengan menatap lurus kemata Dandi penuh harap. "Aku akan menahan mereka selagi bisa, dan cepat kalian pergi sekarang!" Lily mulai mengambil langkah maju dan membelakangi Dandi dan teman-temannya."Jangan lupakan aku nona, para an
"lalu mengapa kau mengatakan bahwa aku keturunan suku Tandero?" Dandi menyela percakapan. Lily menatap Dandi dan menarik nafas panjang. "Huft.. paman Dani adalah putra tertua kakekku. Dia berdarah suku Tandero." Setelah mendengar ucapan Lily, Dandi langsung terbelalak kaget. Ternyata latar belakang pria itu tidak sesederhana kelihatannya. Lily melanjutkan ceritanya, dia mengatakan bahwa dalam kitab lama suku Tandero terdapat kekuatan yang jauh lebih besar dari Liontin Langit Bumi. Kekuatan itu berasal dari ikatan hati dan darah dua keyakinan yang berbeda. Dahulu, Dani adalah pria yang dikenal jenius dan pemberani. Sebagai putra tertua dalam keluarga, ia memegang peran penting untuk melindungi martabat keluarga dan melindungi adik-adiknya. Suatu hari ia jatuh cinta dengan seorang gadis dari suku Flon. Namun suku Tandero dengan suku Flon adalah musuh bebuyutan sejak nenek moyang kami. Kedua belah pihak suku tentu tidak merestui hubungan mereka, mengingat tulisan dalam
Mereka langsung disambut dengan lampu minyak besar yang tergantung ditengah ruangan. Terdapat empat obor api yang berwarna biru di setiap sudut ruangan. Mereka dapat melihat dengan jelas dan detail relief disetiap permukaan dinding. Brian yang tadinya masih merasa pusing karena mabuk kendaraan seketika langsung merasa bugar karena tidak sengaja menghirup asap dupa yang diletakkan di kanan kiri pintu masuk."Ruangan apa ini sebenarnya? Mengapa terdapat barang-barang antik yang terlihat cukup bersejarah." Fernando bertanya sambil melangkah mendekati sepasang pedang yang tergantung di dinding. Pandangannya terpaku ke arah kedua pedang itu."Ini adalah ruangan persembunyian milik keluargaku. Setelah bencana terjadi kami mengasingkan diri disini." Jawab Lily sambil sedikit menundukkan kepalanya."Bencana? Apa maksudmu Lily?" Fernando semakin terheran-heran.Kemudian Lily membimbing mereka berjalan ke arah cawan emas yang dihiasi batu mulia. Cawan itu diletakka
Namun, Dandi yang mendengar tanggapan Ron justru mengerutkan keningnya. Ia tidak suka jika ia disamakan dengan ayahnya. Citra buruk ayahnya telah tertanam dalam hati Dandi. Namun ia juga heran mengapa Ron terlihat sangat menghormatinya. Dan kini muncul perasaan ingin tahu orang seperti apa ayahnya sebenarnya."Tuan Ron, ijinkan saya bertanya. Sebenarnya apa tujuanmu anda membawa kami ke sini? Dan bagaimana cara kami kembali?" Fernando memecah keheningan dengan bertanya dengan sopan. Ia sama sekali tidak mengenali pria itu sehingga kekhawatiran menyelimuti hatinya."Maafkan kelancanganku, baiklah sebelumnya perkenalkan diriku, namaku Ron Wilson sahabat Dani Crushtave ayah Dandi. Aku mengenal kalian semua, aku telah menyelidiki semua tentang Dandi dan termasuk lingkar pertemanan kalian." Ron membalikkan tubuhnya menghadap Fernando dan bertukar pandang dengan masing-masing pemuda itu. Kemudian ia menjelaskan bahwa tujuannya membawa Dandi adalah didalam misi dari Dani. Dan
Dandi menatap Ron dengan serius, dari matanya terpancar perasaan kesal juga bingung. Karena mengingat bahwa surat yang Ron berikan kepada Dandi adalah surat dari ayahnya.Mendengar pertanyaan dan ekspresi serius dari Dandi, Ron mencoba menjelaskan. Ia menarik nafas panjang dan sedikit berdehem."Ehm.. baiklah, aku akan berkata jujur. Sebenarnya isi surat yang kamu terima adalah salah satu benda pusaka kuno peninggalan dari suku Tandero. Benda itu disebut Dream of Walk." Dengan masih fokus menatap kearah jalan dan menegang kemudinya, Ron berbicara dengan rokok di tangan kanannya."Lalu, apa kegunaan dan tujuan kau memberikannya padaku?" Dandi tidak mengalihkan tatapannya dari Ron."Dream of Walk digunakan untuk membuka portal gaib. Portal itu sendiri dapat menjadi penghubung antara waktu dan ruang. Dan dapat dilihat bahwa kamu sudah menggunakannya." Ron menghisap rokok dan sedikit tersenyum diakhir kalimatnya."Apa? Jadi maksudmu kami berempat telah
Kemudian keempat pemuda itu berteriak serempak."Kanvas!"Belum cukup dibuat bingung dan khawatir, mereka berempat dibuat tercengang oleh keberadaan kanvas yang diduga adalah kanvas yang dilemparkan oleh Dandi tadi ke arah sungai. Berbagai pertanyaan dan spekulasi muncul dalam benak mereka."Mungkinkah... Mungkinkah kalian berfikir seperti apa yang aku pikirkan?" Tanya Dandi dengan sedikit tergagap, karena benda yang ia lempar ke sungai kini berada di telapak tangannya. Ia beranggapan bahwa kanvas yang ia pegang adalah media pembuka portal yang secara tidak langsung memberi akses keempat pemuda itu untuk berpindah tempat."Mustahil, apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana bisa?" Brian langsung enunjukkan kecemasannya sekaligus tidak dapat memahami apa yang baru saja mereka alami.Namun ketika keempat pemuda itu saling mendiskusikan keadaan itu, seketika pula suara deru mesin bergemuruh di belakang mereka. Dengan kompak keempat pemuda itu menoleh kea