"Awas ya, Mas! Jika sampai kamu ketahuan selingkuh dengan Selena dan dia terbukti kamu hamili, sesuai surat perjanjian yang sudah kita sepakati, semua asetmu akan menjadi milikku," ucap Aira lantang di dalam kamar hotel.Acara di tepi pantai belum selesai, tapi karena suatu hal jadi bubar. Aira pun ngambek nggak mau bicara selama di dalam kamar. Kalau tahu akan jadi seperti ini, lebih baik aku tidak ikut. Percuma bayar mahal-mahal kalau akhirnya seperti ini.Kami tidur saling memunggungi. Aira kusentuh pun menjauh. Malam yang seharusnya romantis dan menjadi malam terindah bulan madu kami terasa memilukan. "Hallo, Brow! Bagaimana tidur kalian? Nyenyak kan?" sapa Zaki di tepi kolam renang sekitar hotel."Memuaskan!" sahutku. Meski sebenarnya malamku terasa garing. Tapi, karena yang bertanya laki-laki penggoda istriku, terpaksa aku berbohong.Dari sudut mata kulihat Zaki tertawa. Kuyakin dia mentertawakanku. "Selena beneran hamil nggak sih?" tanyaku penasaran."Nggak tahu. Aku nggak p
"Kurasa kalian sudah tahu. Maaf, ya! Sebenarnya dia adalah suamiku."Selena menggandeng pria yang sejak berangkat menemaninya."Suami?!" Aku dan yang lainnya saling menatap satu sama lain."Tunggu, tunggu!" Aira maju selangkah, "kalau kamu sudah menikah, kenapa kemarin mengakui kalau kamu masih mencintai Mas Kevin dan mengedit fotoku dengan alasan mau membuat rumah tanggaku berantakan. Lagi, kenapa juga kamu mengajak aku ketemuan dan ngotot ingin mengembalikan cinta suamiku padamu. Kamu masih waras kan?" cecar Aira."Sayang ...!" Aku mencoba menarik mundur. Tapi tanganku dikibaskan."Tunggu, Mas! Aku butuh kejelasan. Aku tidak mau cuma gara-gara mantanmu ini kita jadi berantem."Aku pun diam. Membiarkan Aira mencari tahu kepuasan hatinya sendiri."Apa?! Jadi selama ini kamu mengaku di depan teman-temanmu kalau kamu belum bersuami? Keterlaluan!" hardik pria yang badannya lebih berisi dari pada aku. "Maaf, bukan begitu, Sayang!" Selena mencoba memegang tangan pria yang diakui suaminya
"Tapi, setelah aku tahu kalau Kevin sudah tak mencintaiku dan memilih istrinya, aku mencoba menerimamu. Kalau tidak, saat ini juga bayiku akan kugugurkan. Mengertilah posisiku, Mas!" pinta Selena. Badannya luruh ke pasir putih dengan tangan berpegangan pada tubuh suaminya yang mematung."Nggak, ini bukan cinta. Tapi keterpakasaan. Kalau mantanmu masih mau denganmu, pasti kamu juga tak akan mencintai aku. Cukup sudah pengorbananku selama ini. Aku akan memberimu kebebasan."Kurang ajar. Pria itu meninggalkan Selena begitu saja. Bahkan dengan kasar dia memudarkan cengkeraman tangan istrinya."Mas, tunggu, Mas!" Selena menangis dalam posisi duduk."Sel ...!" Aku ingin mendekat. Tapi tanganku ditahan istriku. Dia menggelengkan kepalanya dengan tatapan tajam."Silakan maju selangkah mendekati mantanmu itu. Tapi aku juga akan mundur selangkah untuk menjauhimu, meninggalkan semua kenangan tentangmu!" Tatapan Aira terlihat serius dan tak main-main. Demi keutuhan rumah tanggaku, aku pun memilih
Aku dan istriku kembali ke hotel dan check out saat itu juga dan melakukan perjalanan pulang dengan taxi yang sama. Di dalam mobil kucoba menghubungi Mbak Ummi. Tapi, panggilanku tak juga diangkat. Jika tidak ada signal tidak mungkin."Bagaimana, Mas? Aku takut terjadi sesuatu pada Mbak Ummi," ujar Aira. Dia menutup mulut dan hidungnya demi menyembunyikan kekhawatirannya. "Aku masih mencoba. Tapi tidak ada jawaban. Sebenarnya ada apa?"Entah kenapa saat ini perasaanku tidak enak. Pikiranku kacau dan berandai-andai hal yang sangat buruk telah terjadi."Tolong cepat sedikit, Pak!"Driver cuma mengangguk."Pak, tolong cepat sedikit!" ulangku. Meski kecepatan mobil sudah maksimal, aku merasa masih saja di tempat yang sama."Menepi, menepi. Berhenti!" Driver pun menepi. Aku keluar, kemudian menggantikan peran sebagai sopir."Hubungi Mbak Ummi lagi!" seruku. Dari kaca spion kulihat istriku melakukan apa yang kuperintahkan.Aku terus melajukan mobil dengan pacuan gas maksimal. "Pak, hati-
"Malam ini kalian tinggal di sini saja dulu. Besok baru melihat kondiri rumah," ujar Pak RT. Aku baru menyadari kalau rumah ini miliknya.Kebakaran itu mungkin telah melenyapkan surat-surat penting dan barang lainnya. Kalau aku ke sana sekarang, meski api telah padam, bukan tidak mungkin kalau masih banyak sisa-sisa bara api. Untung saja kebakaran juga tidak menyebar ke tetangga. Mudah-mudahan uang di dalam brangkasku masih ada dan tidak ada yang mengambilnya."Kamu tenang saja Mas Kevin. Rumahmu telah diberi garis batas polisi. Aku juga sudah menyuruh salah satu satpam untuk berjaga di sekitar lokasi agar tidak terjadi penjarahan."Baguslah. "Mas Kevin, taxi yang mengantar Mas Kevin meminta uang bayaran. Karena saat itu Mas Kevin sedang syok, jadi kupinjami," kata salah satu tetangga."Tega kamu, ya! Aku sedang terkena musibah. Ikhlaskan sajalah. Aku nggak ada waktu memikirkan hal sepele seperti itu. Paling cuma sekitar tiga ratusan."Heran. Bukannya prihatin malah minta ganti.Tet
"Maaf, aku nggak butuh belas kasihan." Kudorong halus amplop di tangan Bu RT."Gayamu, Pak Kevin. Sudah diberikan peringatan dari Sang Khalik masih saja sombong. Belanja saja ngirit, sok-sokan menolak bantuan dari kita-kita. Benar nggak ...?" cerca wanita bertubuh gempal yang memang julid padaku."Sudah, sudah. Kalau Mas Kevin memang tidak mau menerima dan masih merasa cukup, kita doakan saja kehidupan Mas Kevin setelah ini menjadi lebih bahagia." Pak RT mengangkat kedua tangannya ke atas agar warga tidak menyorakiku."Ih. Males banget!" sahut wanita gempal yang sama.Ingin sekali kututup mulutnya. Sayangnya aku takut tersandung hukum. Zaman sekarang hal kecil bisa menjadi besar."Brow, bagaimana, Brow? Apa masih ada barang yang bisa diselamatkan?" tanya Zaki dan kawan lainnya. Mereka berlari ke arahku, "Kita langsung pulang ketika melihat berita tadi malam yang lewat di sosial media.""Ini bukan masalah besar. Yang penting kotak brangkasku masih aman. Apa lagi uang yang ada ditabunga
Bab 16Pov AiraSetelah musibah yang menimpa hunianku dengan suami, kupikir Mas Kevin akan berubah. Nyatanya dia malah semakin sombong. "Ayo, Mbak Ummi!" Kugandeng tangan saudara perempuanku itu. "Tapi, Ra! Kita mau ke kampung tanpa membawa apa-apa?" "Apa lagi yang mau dibawa, Mbak? Baju-baju kita sudah habis terbakar."Mas Kevin menyeringai. "Oke! Pulang saja ke asalmu. Jangan harap aku akan menyusulmu. Aku akan melihat, berapa lama kamu bisa hidup tanpaku!""Mas, apa otakmu sudah nggak bisa berpikir? Aku besar seperti segede ini karena siapa? Kita bertemu dalam keadaan sudan dewasa. Jadi, jangan pernah menganggap aku hidup bergantung padamu. Nikmati saja harta yang sudah kamu kumpulkan."Aku melanjutkan langkah meninggalkan halaman kantor polisi."Aira ...!" teriak Mas Kevin ketika aku terus melangkah pergi bersama Mbak Ummi. Aku memilih tidak menengok ke belakang sebelum berubah pikiran. "Kita mampir ke toko emas dulu, Mbak!" Aku masuk ke sebuah toko emas di sebrang jalan. Anti
Mbak Ummi mengelus punggungku dan berkata, "Sabar, Ra! Aku yakin Kevin akan menjemputmu. Aku sudah malang melintang bertemu banyak karakter orang. Kalau kuperhatikan Kevin itu baik dan sayang banget sama kamu.""Dilihat dari sudut mana, Mbak? Kalau Mas Kevin sayang padaku, otomatis dia tidak akan pelit dan perhitungan padaku. Buktinya juga dia tadi tidak mengejarku.""Tapi, akhirnya mengirim pesan untuk menjemputmu kan?" Mbak Ummi menatapku dengan intens.Aku mengangguk, dengan lirih berkata,"Iya."Dibandingkan dengan diriku, Mbak Ummi memang lebih berpengalaman dalam mengarungi rumah tangga. Taxi online yang kupesan sudah datang. Tapi, sebelum meluncur ke desa, aku menyempatkan diri membelikan oleh-oleh untuk Ibu dan juga anak-anak Mbak Ummi. Melihat kedatangan seorang ibu yang pamit pergi bekerja tentu menumbuhkan harapan bagi si buah hati.Lanjut, aku mampir ke toko kecil di pinggir jalan untuk membeli pakaian tiga stel sebagai ganti di kampung nanti. Tak lupa beberapa daster ku
Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r