Sasha terbangun karena cahaya matahari yang menembus dari kaca depan mobil. Ia meringis memegang kepalanya yang terasa agak pusing lalu melihat ke depan jalan dan mendapati bahwa ia sudah berada di depan rumahnya dengan Raga tertidur pulas di kursi kemudi. "Ga bangun." Sasha menyentuh pelan bahu Raga. Pelan-pelan Raga membuka mata, dan mendapati Sasha ada di depan pelupuk matanya. Bahkan saat bangun tidur pun di matanya Sasha tampak mempesona seperti biasanya. "Ke dalem rumah yuk, gue bikinin sarapan." Tukas Sasha seraya membereskan tasnya lalu membuka pintu mobil. "Tadi Jasmine liat kakak tidur di mobil kak Raga, mau aku bangunin tapi gak tega. Jadi aku diemin aja deh." Ujar Jasmine begitu melihat kakaknya muncul di rumah. Sasha hanya tersenyum kecil sambil menyentuh puncak kepala Jasmine. Sasha yang merasa tubuhnya bau alcohol langsung ke kamar mandi dan membersihkan diri. Tulangnya terasa sangat lemas sekali setelah menghabiskan nyaris satu botol tequila seorang diri. Bahkan
"Kamu datang Sha ke engagement nya Pak Dan?" Tanya Caroline sambil menyerahkan berkas kerja pada Sasha.Caroline yang saat acara grand opening Kencana Hotel Bali merupakan teman satu kamar Sasha tahu betul tentang kedekatan Sasha dan Daniel, namun Caroline yang dasarnya acuh, pura-pura tidak mengerti apa-apa. Sasha berdeham pelan sambil meletakkan berkas yang diberikan Caroline di atas meja kerjanya. "Hmmm, belum tau nih, kalau gak ada acara mungkin datang." Sahut Sasha tanpa menatap Caroline.Caroline hanya manggut-manggut lalu keluar dari ruang kerja Sasha. Sasha memutar kursi kerjanya menghadap ke dinding kaca raksasa yang menyajikan pemandangan kota Jakarta dibawahnya. Hal yang selalu Sasha syukuri adalah memiliki ruang kantor di lantai 45 yang menghadap ke arah Bundaran Hotel Indonesia. Sehingga membuatnya bisa menikmati pemandangan yang disukainya setiap hari. Bahkan saat udara Jakarta bersih tanpa polusi, Sasha bisa dengan jelas melihat Pantai yang terletak di Jakarta Ut
Sasha mematut diri sekali lagi di depan cermin besar yang memantulkan bayangan tubuhnya yang sempurna. Halter neck dress Gucci berwarna hitam dengan style body con menjadi pilihan Sasha malam ini. Dress tersebut membalut sempurna tubuh Sasha yang ideal, lekuk-lekuk tubuhnya terlihat sempurna tanpa cela. Rambutnya ia angkat ke atas membentuk chignon bun yang indah. Kaki jenjangnya ia hiasi dengan high heels hitam dari Christian Louboutin. Tidak lupa pula Sasha menyematkan sepasang anting-anting berlian dari Tiffany & Co yang menyempurnakan keseluruhan penampilannya. Sasha merogoh kocek yang cukup dalam untuk bisa menyewa seluruh barang-barang branded yang ia kenakan untuk malam ini, karena jika untuk membeli semuanya, tentu saja Sasha tidak mampu. "Kaaaak Shaaaaaa, Udah di jemput!" Suara Jasmine mengejutkan Sasha yang masih mematut diri di depan kaca. Ia ingin terlihat sempurna malam ini. Menunjukkan pada Olivia bahwa dirinya adalah lawan yang sebanding! Dengan sigap Sasha mengam
Sasha menguatkan kedua kakinya untuk tetap berdiri di depan sebuah high table yang di atasnya tersusun gelas-gelas champagne yang menjulang tinggi ke atas.Di hadapannya, Daniel berdiri menatap Sasha dalam-dalam tanpa kata. Mereka saling memandang seolah berkomunikasi dengan pikiran yang hanya di pahami oleh mereka sendiri. "Congratulations." Sasha memecah ketegangan di antara mereka. Daniel menggeleng, "Don't say that."Daniel sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menghambur ke arah Sasha dan memeluknya dengan erat. "Belum terlambat untuk membatalkan semuanya Sha. Aku cuma perlu satu kalimat dari kamu untuk meyakinkan diriku sendiri."Tanpa bisa di cegah kalimat itu keluar dari mulut Daniel, membuat Sasha terperanjat. Bukan hanya Sasha, tapi juga Olivia yang tanpa Daniel sadari sudah ada di belakangnya. Sasha hanya terdiam, ia tahu sebentar lagi Olivia akan meledak. "You're not going anywhere Daniel. Bukankah begitu Sasha?"Olivia menggandeng tangan Daniel dan dengan senyum ma
Ada perasaan yang mungkin kebanyakan manusia tak mengerti apa namanya. Rasa dimana kita ingin memiliki segalanya. Satu hati dengan banyak cinta. Itu yang Sasha rasakan. Di satu sisi ia mencintai Daniel, Satu-satunya orang yang selalu bisa membuatnya berdebar setiap kali berada di dekatnya. Disisi lain, ia memiliki rasa yang aneh dengan Raga. Ia menikmati kebersamaannya dengan Raga, bahkan ia takut jika Raga mungkin akan meninggalkannya.Tapi herannya, walaupun Sasha menikmati hari-hari barunya dengan Raga, ia tetap tidak bisa mengusir bayang-bayang Daniel dari hidupnya. Bahkan semakin keras ia mencoba, semakin lekat bayangan Daniel menghantuinya. "Sha, mau pesan apa?"Sentuhan tangan Raga membuyarkan lamunan Sasha. Hari ini sudah satu bulan sejak pertunangan Daniel, dan sudah satu bulan juga sejak Sasha dan Raga mencoba sesuatu yang baru antara mereka. Pacaran. Sasha membuka buku menu yang disodorkan Raga, "Ummm Lontong Cap Gomeh deh, sama Ice Lemon Tea."Tukas Sasha seraya membe
Staying at Kencana Hotel Bali was a Total Nightmare! Staying at this hotel was the worst experience ever! Very poorly managed extremely disappointed (was a nightmare from the beginning) as they doubled book our room and continually lied to us about the booking. Our friends came all the way from England and were very disappointed as their booking was wrong also. Will stay clear of this hotel and advise everyone elses too! "Astaga! Dia nulis komplainan kayak gini di semua platform review hotel. Bahkan dia ngirim ke media juga! Kamu udah check ke Bali siapa yang booking dari England di minggu-minggu ini?" Tanya Sasha pada Gita sambil membaca seluruh ulasan buruk dengan template yang sama yang ditulis oleh orang yang masih misterius. "Udah Mbak Sha, tapi gak ada pelanggan dari England di minggu-minggu ini. Ada beberapa dari Aussie, New Zealand sama USA." Jawab Gita sambil ikut membaca semua ulasan buruk yang ditulis seorang yang mungkin pelanggan Kencana Hotel Bali. "Udah tanya ke o
Masih di malam yang sama, Sasha merenggangkan kedua lengannya, lelah. Ia masih tak habis pikir Stevi yang ia kenal dengan baik bisa nekat berbuat sesuatu hal yang benar-benar membuat Kencana Hotel Group heboh dalam satu hari. Interkom di mejanya berbunyi, "Mbak Sha belum mau pulang kan? Diminta Pak Daniel ke ruangannya Mbak untuk report tentang masalah bad review,"suara Tita, sekretaris Daniel seketika membuat tubuh Sasha tegang. Sasha menarik nafas dalam-dalam, lalu melangkah keluar ruangannya dengan perasaan yang tak karuan. Jantung nya berdegup kencang, perutnya terasa mulas. Sudah satu bulan lebih sejak terakhir kali Sasha dan Daniel berada dalam satu ruangan kerja berdua. Sasha rasanya ingin pura-pura sakit saja agar bisa menghindar. "Loh kamu pulang Ta?"Tanya Sasha saat berpapasan dengan Tita di depan lift lantai 46."Iya Mbak, aku ada urusan keluarga, udah telat banget malah ini. Duluan ya Mbak Sha!"Tita bergegas masuk lift dan meninggalkan Sasha yang semakin ketar-ket
Sasha terbangun dengan perasaan hampa, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia teringat semua hal yang terjadi kemarin dan lagi-lagi perasaan bersalah menyerangnya dengan bertubi-tubi. Kemarin malam saat mengantarkannya pulang, Raga tidak mengatakan apa-apa, tidak juga berbicara kecuali perbincangan kecil mengenai lalu lintas. Wajah Raga terlihat muram, mungkinkah Raga tahu apa yang Sasha dan Daniel lakukan? Benak Sasha terus bertanya-tanya. Hari ini untuk berangkat kerja saja rasanya Sasha tak punya semangat. Diluar dugaan Sasha, Raga sudah sampai dirumahnya untuk berangkat kerja bersama. Hal yang sudah rutin mereka lakukan selama satu bulan belakangan. Sasha pikir Raga masih marah dan tak ingin bertemu dengannya. Sasha mengintip Raga yang sedang duduk di teras sambil merokok, Raga nya yang baik, Raga yang selalu bisa ia andalkan. Ia harus menyelesaikan semua hubungan aneh ini dengan Raga segera, sebelum Raga semakin jauh mencintainya dan akan membuat Raga semakin terluka. "Eh Hai
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han