Sasha masuk ke dalam mobil, membuka jendela sedikit dan mengunci pintu. Ia benar-benar merasa sangat lelah secara fisik maupun mental. Perutnya terasa perih, kerongkongannya terasa kering. Dengan perasaan tak menentu Sasha merebahkan tubuh di jok mobil, berusaha memejamkan matanya, berharap dengan tidur perasaannya bisa menjadi lebih baik. Entah sudah berapa lama Sasha tertidur saat tiba-tiba suara ketukan di jendela mobil membangunkannya. "Sha, open the door please," suara Daniel terdengar dari balik jendela. Sasha membuka pintu mobil dan membiarkan Daniel masuk. Dengan mata merah Sasha melirik jam digital di ponselnya yang menunjukkan pukul 10.00 pagi, Sasha sudah tidur selama kurang lebih dua jam lamanya.Di sebelahnya Daniel tampak sedang memandangi Sasha, wajahnya terlihat lesu karena belum tidur semalaman. "Feeling better?" tanya Daniel pada Sasha yang masih menyandarkan kepala di jok mobil. Sasha mengangkat bahu, tak menjawab, masih kesal dengan sikap Daniel yang berlebiha
Sudah empat hari berlalu sejak Gianna dan Allysa dirawat di rumah sakit Garuda. Selama empat hari itu juga Sasha bolak-balik dari kantor ke rumah sakit untuk memastikan semua keperluan Gianna dan Allysa terpenuhi sampai kadang ia lupa dengan kesehatan dirinya sendiri. Hari ini trombosit Allysa sudah kembali normal sehingga ia sudah di perbolehkan untuk pulang ke rumah. Sasha teringat pesan Evan untuk selalu membawa ponsel yang Evan berikan kepada Sasha, karena Evan mungkin sewaktu-waktu akan menghubungi Sasha, jika ia masih hidup tentunya. Sasha baru saja sampai di rumah Evan, saat ponsel yang Evan berikan padanya berdering keras. Sasha buru-buru mengeluarkan ponsel tersebut dari tasnya dan menekan tombol hijau. "Evan?" tanya Sasha cepat. "Iya Sha, ini saya. Allysa sakit?" tanya Evan cepat. "Iya demam berdarah, tapi udah diperbolehkan pulang kok, ini udah di rumah," jawab Sasha dengan cepat-cepat juga. Dalam hati bertanya-tanya, Evan tau dari mana jika Allysa sakit. "Oke, bisa
Sasha kembali ke ruangan kerjanya dengan wajah pias, ia bahkan lupa membawa kopi hitamnya yang sudah tidak lagi panas. Entah apa maksud Raga mengatakan semua itu pada Sasha, namun perasaan Sasha menjadi sangat berantakan sekarang. Kata-kata Raga ada benarnya, jika Raga dan Gianna di satukan, mereka akan jadi pasangan paling menyedihkan di dunia, karena mereka tidak mencintai satu sama lain dan sama-sama sedang mencari pelarian semata. Sasha mengangkat interkomnya dan berusaha menghubungi Daniel untuk sekedar menenangkan perasaannya. "Ya Sha, sebentar lagi aku telepon ya, aku belum selesai dengan Karin, key?" Daniel menutup teleponnya, membuat Sasha menghentakkan kaki kesal. Belakangan Sasha benar-benar tak bisa mengendalikan rasa cemburunya. Apalagi Daniel sering sekali meeting berdua dengan Karin. Menyebalkan! "Halo Stev! Bawa semua pendingan ke meja saya Stev, mau saya beresin semua!" tukas Sasha pada Stevi melalui saluran interkom. Jika Daniel sok sibuk ia bisa lebih menjadi s
Dua minggu kemudian, Sasha membuka matanya dan mendapati Daniel masih bernafas halus di sampingnya, memeluk Sasha di dekapan dadanya yang bidang. Dengan perlahan Sasha berusaha melepaskan lengan Daniel yang memeluknya, namun saat akan turun dari tempat tidur Daniel menarik tangannya sampai Sasha terjatuh lagi di atas dadanya. Senyum manis dengan dua dekik dalam terbit di wajah Daniel walaupun kedua matanya masih setengah terpejam. Tanpa membuka mata Daniel menarik tali piyama tidur Sasha hingga terlepas seutuhnya membuat Sasha memekik dan menahan tawa. "Good morning Baby," tukas Daniel mulai menarik Sasha ke dalam pelukannya dan melancarkan serangan fajar yang langsung membuat Sasha lupa jika tadi ia berniat untuk segera mandi dan membuat sarapan, karena ternyata sarapan yang Daniel sediakan lebih menggoda. *****"Gianna keluar dari rumah sakit hari ini kan?" tanya Sasha sambil meletakkan sepiring nasi goreng dengan omelet di atas meja di depan Daniel. Daniel yang sedang membaca
Malam harinya, setelah memborong bahan makanan sehat di supermarket, Sasha dan Daniel segera mengunjungi Gianna di apartemennya. Gianna terlihat jauh lebih sehat dan lebih segar dari terakhir kali Sasha melihatnya. Senyum sumringah menghiasi wajahnya saat melihat Sasha dan Daniel muncul di pintu apartemennya. "Kalian bawa apa sih? Banyak banget! Raga juga udah belanja banyak, semoga kulkasku muat!" seloroh Gianna yang langsung di sambut tawa oleh Sasha dan Daniel. "Raga mana Gi?" tanya Daniel saat ia sudah duduk di depan TV sambil menenggak sekaleng bir dingin. "Tadi dia bilang mau pulang dulu, ada yang mau di ambil kayaknya," sahut Gianna seraya menghempaskan tubuhnya di atas sofa. "Oh mungkin dia gak tau kalo kita mau ke sini," tukas Daniel santai. Dalam hati Sasha bergumam, pasti Raga pulang karena menghindari dirinya dari bertemu dengan Sasha. "Gimana Gi kata dokter?" tanya Sasha, ia meletakkan tasnya di lantai dan duduk di sebelah Gianna. Gianna mengangkat bahu, "Dokter b
Hari-hari Sasha selanjutnya terasa sangat aneh karena ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata terakhir Raga "Kalau gue gak bisa ngobatin diri gue, paling gak gue bisa ngobatin orang lain." Apakah sebegitu dalamnya perasaan Raga terhadap Sasha, sampai sangat sulit bagi Raga untuk melupakannya. Jujur hal ini sangat mengganggu Sasha, walaupun Raga tidak memaksanya atau mengganggunya, tapi mengetahui orang yang sangat Sasha pedulikan berada dalam perasaan yang menderita, juga membuat Sasha ikut menderita. Satu bulan sudah berlalu, kondisi Gianna sudah semakin membaik. Gianna mengatakan pada Sasha bahwa ia dan Raga akan melangsungkan pernikahan di Bali pada dua bulan yang akan datang. Sasha pura-pura menyambut gembira kabar itu, padahal ia tidak begitu antusias karena tahu apa yang sebenarnya ada di benak Raga. Sementara itu di kantor, Karin tampaknya masih tak menyerah dalam menebar pesonanya pada Daniel. Ia seringkali menjebak Daniel untuk bisa berduaan saja dengannya diberbagai k
Dua bulan sudah berlalu, Sasha dan Daniel baru saja mendarat di bandara I Gusti Ngurah Rai untuk menghadiri acara pernikahan Raga dan Gianna. Wajah Sasha tampak tak terlalu bersemangat, ia beralasan sedang datang bulan waktu Daniel menanyakan hal itu padanya. Di bandara, Luke dan Gendis sudah menunggu mereka. Lalu mereka segera meluncur ke hotel tempat resepsi akan diadakan keesokan harinya. "Nyet, lo kenapa sih? Kok mood lo kayaknya jelek banget," tanya Gendis saat ia sedang berdiri berdua dengan Sasha di tepi pantai. Sasha menghela nafas panjang, "Butuh bir dingin Nyet buat nyeritain semuanya," sahut Sasha disambut seringai lebar di bibir Gendis. Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk di berhadapan di sebuah kafe dengan bir dingin di tangan mereka masing-masing. "Go ahead, tell me everything," tukas Gendis. Selanjutnya Sasha menceritakan semua kepada Gendis, mengenai apa yang Raga katakan kepada Sasha dua bulan sebelumnya. "Gila Nyet, gue gak nyangka dia sedalem itu sama lo!
Tak ada yang janggal dengan resepsi pernikahan Raga dan Gianna, keduanya terlihat seperti pasangan normal lainnya, Sasha berusaha keras untuk terlihat bahagia dan menyembunyikan rapat-rapat rasa resah dihatinya. Gianna tampak anggun dengan gaun pengantin lace curvy yang mencetak jelas tubuhnya yang kurus. Wajahnya terlihat cantik dengan make up bold yang menyembunyikan wajah pucatnya. Gendis berkali-kali menghampiri Sasha dan mengingatkan Sasha untuk tak perlu khawatir berlebihan dengan keputusan yang diambil oleh Raga. "It's so weird seeing Raga dan Gianna together as husband and wife," tukas Daniel saat melihat Raga dan Gianna sedang berfoto berdua. Sasha menyandarkan kepalanya di bahu Daniel, "Yeah it's so weird," sahut Sasha setuju, karena memang semuanya terlalu cepat. Rasanya baru kemarin Sasha dan Daniel memergoki Raga berada di apartemen Gianna dan sekarang tahu-tahu mereka sudah menjadi suami istri. "Babe, they asked you to deliver the speech," tukas Daniel yang mendengar