Dua minggu sudah berlalu sejak Sasha kehilangan janinnya di usia kandungannya yang baru menginjak empat bulan. Sasha tak bisa berhenti menyalahkan dirinya atas kehilangan tersebut. Ia mengurung diri di kamar, enggan melakukan apapun. Hanya tidur dan menangis. Daniel dengan sabar menenangkan Sasha dan mengatakan bahwa semua yang terjadi bukan kesalahannya. Namun Sasha tentu saja tak mau mendengar. Ia membenci dirinya sendiri dan merasa tak berharga. Sampai akhirnya Daniel terpaksa menceritakan semuanya pada Raga, karena mungkin Raga bisa membantu Sasha untuk kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Ada rasa cemburu di hati Daniel karena ikatan hati antara Sasha dan Raga terjalin teramat kuat, mengalahkan ikatan antara Sasha dan Daniel, walaupun mereka adalah suami istri yang saling mencintai. Atas usul Gianna, akhirnya Daniel membujuk Sasha untuk berlibur ke Australia agar bisa mengobati rasa kehilangannya. Karena Daniel sudah tahu bahwa Sasha akan menolak ajakannya, maka ia menyiap
"Lo bercanda kan Ga?" tanya Sasha yang masih tak percaya dengan kata-kata Raga. Bagaimana mungkin Raga bisa terus mencintai Sasha setelah apa yang terjadi belakangan. Apalagi Raga secara intens menghabiskan waktu dengan Gianna, Sasha pikir Raga akan jatuh cinta pada Gianna dengan mudahnya, namun ternyata faktanya membuat Sasha hanya terperangah tak percaya. Raga menghela nafas panjang, "Tapi gue udah lebih dewasa kok Sha, gue udah lebih bisa nerima semuanya, please jangan merasa gak nyaman cuma gara-gara gue masih punya rasa yang sama buat lo, karena gue sama sekali gak ada niatan buat ngerusak hubungan kalian, cinta gue ya cuma gue aja yang rasa," ujar Raga seraya menatap lurus ke jalanan yang lengang. Sasha menghela nafas, menggosok wajahnya dengan kedua tangan, masih terkejut. Ia melirik Raga yang terlihat sangat segar dan bugar di luar, namun ternyata rapuh di dalam. "Lo yang paling ber hak atas perasaan lo, gue gak berhak buat nyuruh lo berhenti mencintai gue walaupun gue ngera
Hari itu setelah seharian berjalan-jalan keliling Melbourne, Sasha dan Raga menghabiskan malam dengan menonton film bersama. Mereka duduk di ayunan yang ada di halaman depan, dengan layar dan proyektor yang memutarkan film klasik perancis yang direkomendasikan oleh Raga. Sasha memegang erat mug besar yang berisi cokelat panas sambil matanya fokus menatap ke arah layar. Raga yang sudah menonton film tersebut berkali-kali lebih tertarik menatap wajah Sasha dari pada menatap ke arah layar. Sasha yang sedang serius sama sekali tak menyadari jika Raga sedang menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan. "Emangnya ada ya orang kayak gitu di dunia?" tanya Sasha saat melihat si pemeran utama pria yang rela mati demi si wanita. "Ada," jawab Raga datar. Sasha menoleh, matanya bertemu mata Raga yang sejak tadi belum berpaling. "Oh ya, siapa?" tanya Sasha mengerutkan keningnya. "Gue," sahut Raga masih menatap wajah Sasha. Membuat jantung Sasha berdebar. "Gue mau, ngelakuin apapun biar lo tetap hi
Sasha masih berusaha untuk terus menarik perhatian Daniel supaya Daniel segera tersadar dengan situasi yang ada. Namun Daniel seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, ia tak menggubris apapun yang Sasha katakan, membuat Sasha mulai merasa sangat terasingkan. Raga yang mengamati dari jauh mulai merasa iba pada Sasha. "Kalian pulang ke rumah aja, biar gue yang jaga Gianna," tukas Raga pada Daniel dan Sasha yang sedang duduk bersebelahan. Sasha menoleh menatap Daniel, menunggu Daniel menjawab. Daniel mendongak, "No, I'm good, I will stay in here. Sha, kalau kamu mau pulang it's okay, Raga bisa antar kamu sampai rumah," jawaban Daniel membuat dada Sasha sesak seketika, jadi apakah kunjungan ke Australia kali ini adalah sebuah kesalahan? Raga yang melihat Sasha gemetar mulai murka, "For God Sake Daniel! Sasha is your wife and Gianna is my wife! I will take care of my wife and would you please take care of your wife!" bentak Raga dengan wajah memerah, tidak ada satu orangpun yang bole
Sasha membuang simcard ponselnya ke dalam toilet bandara saat ia telah sampai di terminal kedatangan bandara soekarno-hatta. Sepertinya untuk saat ini ia tak akan sanggup untuk berkomunikasi dengan siapapun yang berkaitan dengan Daniel, Gianna ataupun Raga. Sebelum ia membuang simcard dan mereset ponselnya, ia sempat melihat pesan masuk dari Daniel dan Raga, entah apa, tapi Sasha tak berminat untuk membacanya. Kalaupun Daniel datang dan berlutut kepadanya, rasanya tak akan mengubah keputusan Sasha sama sekali. Hatinya sudah terlanjur terluka, akan sulit untuk menyembuhkan lukanya. Sasha akan membutuhkan waktu yang panjang untuk bangkit dari keterpurukan nya, tapi bukan Sasha namanya jika menyerah dengan keadaan. Dengan perasaan gamang Sasha menaiki Taxi menuju Penthouse, ada dokumen-dokumen penting yang harus ia ambil. Rasanya langkahnya sangat berat menuju ke sana, tapi bagaimanapun juga ia harus ke sana. *****Entah mengapa jantung Sasha berdebar saat membuka pintu Penthouse, set
Sejak janin Sasha tak bisa diselamatkan, Sasha selalu bertanya-tanya dengan dirinya sendiri, mengapa hal semacam ini terjadi padanya dan Daniel? Tapi kini Sasha mendapatkan jawabannya, Tuhan mengambil janin Sasha mungkin dengan suatu alasan. Siapa yang menyangka jika dua minggu setelah Sasha kehilangan janinnya, ia juga akan kehilangan suaminya? Mungkinkah ini adalah garis Tuhan. "Angkat aja Nyet, tapi gue gak mau ngomong, bilang sama Daniel gak usah khawatir dan buru-buru balik ke Indonesia, karena gue yang akan urus perceraian. Tell him, it's over, dan gue gak akan berubah pikiran barang sedikit pun," tukas Sasha yang segera tersadar dari rasa mabuknya. Gendis si ratu alcohol yang anti mabuk hanya terperangah mendengar ketegasan Sasha, setelah itu ia menekan tombol hijau, menerima panggilan dari Daniel. Seperti dugaan Sasha, Daniel minta untuk di sambungkan dengan Sasha. Gendis mengatakan semua pesan Sasha persis seperti yang Sasha suruh, tanpa ditambah ataupun dikurangi."He did
Satu bulan kemudian,Sasha mengganti nomor ponselnya dengan nomor baru dan memberi pesan kepada keluarganya, Gendis dan Rian untuk tidak memberitahukan nomornya kepada siapapun, khususnya Daniel, Gianna dan Raga. Mama Sasha yang mengerti, mendukung apapun keputusan Sasha, membuat Sasha merasa sangat lega dan tak terbebani. Nasib baik seperti berpihak pada Sasha, tiba-tiba saja sebuah perusahaan multinasional di Singapura merespon lamaran kerjanya dan mengundang Sasha untuk melakukan sesi wawancara melalui konferensi video. Sasha menyibukkan diri dengan persiapan wawancara kerja, tak memberikan celah sedikitpun untuk dirinya bersedih ria. Jika ada sedikit saja waktu luang, Sasha akan langsung mengisinya dengan mempelajari hal baru, saat ini ia sedang tertarik untuk mempelajari bahasa Korea, karena ia sedang gemar menonton drama dari Korea Selatan. Hari yang Sasha nantikan akhirnya tiba, dengan semangat tinggi ia melakukan wawancara kerja dengan perusahaan asal Singapura yang bernam
Sasha masih menatap Raga tak percaya, ia bahkan tak berbicara sepatah katapun selama beberapa menit dan hanya terdiam dengan mata fokus menatap Raga. Raga menghela nafas, mengerti arah pikiran Sasha. Pasti Sasha mengira, ia bisa diterima di Powell Communications karena campur tangan Raga, padahal itu sama sekali tidak benar. "Let's talk after office, ini gak seperti yang lo pikirin Sha, makan ya Sandwich nya," tukas Raga lalu mengangkat teleponnya yang berdering sejak tadi. Sasha mengigit bibirnya, lalu mulai mengingat-ingat sesuatu. Astaga, ia baru ingat saat ia dan Raga mengobrol di Melbourne, Raga mengatakan ia bekerja di sebuah perusahaan komunikasi multinasional dan Raga mengatakan jabatannya adalah international branch manager. Apakah perusahaan yang dimaksud Raga saat itu adalah Powell Communications? Bagaimana bisa Raga mendapatkan posisi yang begitu bagus, bukan berarti Sasha mengecilkan kemampuan Raga, tapi basic Raga adalah design graphic meskipun Sasha mengakui kemampu
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han