“Aku harus berpisah dulu, untuk itu,” batin Elena. Tetapi dia tak ingin memprovokasi pria disebelahnya. Karena itu, dia memilih diam. Selain itu, bayangan wajah Don yang terlihat sangat marah terus menghantui benaknya. Pria tua itu jelas kecewa setelah Alvaro menolak permintaannya untuk menikahi Delisa. Sejak meninggalkan rumah Don, Elena tak banyak bicara, bahkan setelah mereka sampai di gedung penthouse Alvaro. Alvaro, yang sejak tadi memperhatikan Elena, akhirnya tak tahan untuk bertanya. "Ada yang mengganggumu?" suaranya dalam, penuh ketertarikan. Elena tersentak saat merasakan sentuhan hangat di pundaknya. Dia menoleh, menatap pria itu dengan ragu. "Aku hanya kepikiran dengan ayahmu... apakah sikap kita tadi tidak membuatnya semakin sakit?" Alvaro menarik sudut bibirnya ke dalam, lalu memegang kedua pundak Elena dengan lembut. "Tenanglah, dia pasti baik-baik saja," katanya, seolah ingin menghapus keraguan dari mata Elena. "Syukurlah kalau begitu," gumam Elena pelan. Mereka
Tetapi Elena memikirkan ancaman Vincent, meskipun sekarang ibunya dalam penjagaan anak buah Alvaro. Tetapi, Vincent orang yang licik. Dia bisa saja melakukan apapun untuk menyakiti ibunya. Tangan Elena terkepal. “Aku harus menemuinya, dan mengetahui apa maunya.”Elena melihat sekitarnya, Alvaro sudah pergi beberapa saat yang lalu. Bagaimana jika Vincent memaksanya ikut dengannya. Elena segera bangkit. Dia menuju dapur, dia mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pelindung. “Sepertinya ini cukup,” kata Elena, tangannya menggenggam pisau dapur kecil. Lalu dia kembali ke kamar dan menyimpan pisau itu di tasnya. Dia membawa tas itu bersamanya, dan pergi keluar untuk menemui Vincent. Tidak perlu waktu lama, Elena sudah sampai di alamat yang diberikan Vincent padanya. Di depannya sebuah rumah makan mewah yang tidak jauh dari kawasan Penthouse Alvaro. Elena tetap waspada, dia kenal betul watak suaminya itu. Elena masuk ke rumah makan itu, dia melihat sekitar. Hanya ada beberapa tam
Bug! Pukulan demi pukulan diberikan Alvaro pada Vincent. Hingga pria itu tak sempat berdiri. Pria itu terlihat begitu marah. Kini Alvaro sudah diatas tubuh Vincent, bersiap untuk memberikan bogem mentah kembali. Vincent sudah terkapar tak berdaya di lantai, wajahnya babak belur.Elena berusaha bangkit, meskipun dia sangat membenci Vincent, dia tak mau melihat siapapun mati karenanya. Elena menahan tangan Alvaro.“Hentikan,” kata Elena, sembari menggelengkan kepalanya.Alvaro menoleh, melihat Elena yang terlihat lemas. Dia berdiri, lalu menatap Elena dengan cemas.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Alvaro. Kedua tangannya dan netranya melihat seluruh tubuh Elena. Seolah memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja.Elena mengangguk. “Aku ingin pulang,” kata Elena, suaranya lemah. “Jose bereskan sisanya.”“Baik Tuan.”Alvaro segera mengangkat tubuh Elena ala bridal style dan membawanya ke mobil. Dia perlahan menurunkan Elena ke jok penumpang. Lalu duduk di sebelahnya. Dia mengambil kotak obat
Keesokan paginya, Elena sudah di dapur. Dia memang sengaja bangun lebih dulu karena dia ingin menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvaro. Berbeda dengan di Mansion, di Penthouse ini tidak ada satu pun pelayan. Tetapi, entah kenapa Elena merasa senang di sini. Di Mansion dia merasa seperti tahanan. Elena memasak dengan sesekali bergumam lagu kesukaannya. Sampai kemudian…“Ah!” pekik Elena, kaget. Saat Alvaro memeluknya dari belakang. Kepalanya menyusup di leher Elena. “Kau membuatku kaget, untung aku tidak memukulmu pakai ini.”Elena mengangkat alat untuk menggoreng ke atas. Tetapi sepertinya ucapannya tak berpengaruh pada pria ini. Alvaro memutar tubuh Elena menghadapnya, lalu menatapnya dengan kedua tangan mengukung tubuh wanita itu. “Kenapa tak membangunkanku?” tanya Alvaro, wajahnya menunjukkan rasa tidak suka. Alvaro mengubah posisi kepalanya yang semula miring ke kiri jadi ke kanan. Seolah menuntut penjelasan atas pertanyaannya itu. Tetapi tatapannya masih intens ke Elena.
“Apa isi dokumen itu?” kata Kakek. Pria tua itu berdiri, dan menarik dokumen dari tangan Vincent. Elena sendiri hanya bisa menatap kedua orang yang sedang saling berebut dokumen itu. Sesaat wanita itu melirik Alvaro yang sedang menahan senyum di sampingnya. “Kira-kira apa isi dokumen itu?” batin Elena.“Lepaskan Vincent!” teriak Kakek. Tangannya menarik paksa dokumen dari tangan Vincent, terlihat jelas bahwa Vincent sangat tidak ingin Kakek mengetahui isi dokumen itu. Begitu Kakek melihat dokumen yang ada di map itu, dia seperti terpukul. Dia mundur satu langkah, dan terduduk lemas. “Vincent beraninya kau! Kau membohongiku selama ini?” Wajah Kakek sudah merah karena amarah. “Ampun Kek, ini semua bohong. Ini hanya rekayasa bajingan ini.”Vincent masih saja berkelit, dan tidak mengakui kesalahannya. “Maaf Kek, bisa saya lihat dokumen itu?” tanya Elena, penasaran. Bagaimanapun juga ini berhubungan dengan hidupnya. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Kau tidak tahu tent
“Apa? Tidak mungkin!” sanggah Alvaro. Dalam beberapa bulan terakhir ini, hanya Elena wanita yang dia sentuh. Bagaimana bisa Delisa hamil. Alvaro memejamkan mata, mencoba mengingat siapa saja wanita yang dekat dengannya. Tetapi tak ada dalam ingatannya dia pernah menyentuh Delisa sekalipun. Yang ada, wanita itu yang agresif mendekatinya tetapi selalu berhasil dia gagalkan. “Jangan berkelit lagi, nikahi Delisa.” Alvaro tertawa sinis, “sampai kapanpun, tidak!” Alvaro masih teguh dengan pendiriannya. Terlebih lagi dia tidak pernah merasa menyentuh Delisa. Jelas ada sesuatu yang tidak beres. Wanita itu pasti ingin menjebaknya. “Beraninya dia,” gumamnya. “Kepala pelayan, tunjukkan video itu.” Kepala pelayan mengambil sebuah ponsel di atas meja dan kemudian mendekat ke Alvaro. Lalu dia memberikan ponsel itu pada Alvaro. Garis bibir Alvaro tertarik ke dalam. Sekarang dia benar-benar merasa yakin bahwa ini salah satu akal bulus Delisa untuk menjebaknya. “Video ini sudah di edit.” “Apakah
"Apakah tidak ada keringanan?! Aku pasti akan segera melunasinya!" “Halo?! Fuck! Damn it!!” BRAK!! Teriakan Vincent dan suara keramik pecah membuat Elena berdiri dengan gelisah di depan pintu ruang kerja suaminya. Di tangannya ada nampan berisi secangkir teh yang masih mengepul, tapi dia ragu-ragu untuk masuk. Sebab, setelah beberapa kali dipanggil, pria itu tak kunjung memperbolehkannya masuk ataupun membukakan pintu. ‘Apa terjadi sesuatu?’ pikir Elena. Belakangan waktu ini, suaminya memang terlihat menyimpan masalah besar karena sikapnya yang tidak tenang. Elena tak tahu kenapa, karena Vincent sama sekali tak pernah mengajaknya berdiskusi. Tepatnya, semenjak menikah dengan pria itu, Vincent sama sekali tak pernah mengajaknya bicara lebih dari beberapa kata. Kali ini suara lemparan kursi terdengar hingga membuat Elena menggigit bibirnya pelan. "Vincent?" panggil wanita itu lagi. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Vincent. Oleh karena itu, Elena pun memberan
Saat mobil jemputan itu mulai berjalan, dada Elena terasa sesak. Perasaan ini membuatnya merasa seperti sapi yang hendak dibawa untuk disembelih. Menuju ke akhir hidupnya sendiri. Diam-diam, Elena tersenyum miris memikirkan setiap detail hidupnya yang tak pernah berjalan dengan baik. Sejak ayahnya pergi bersama wanita lain, ibunya harus berjuang keras untuk menghidupi hidup mereka. Oleh karena itu, Elena harus memohon pada Vincent untuk membantunya. Namun, siapa sangka kalau di masa depan dia akan dijual demi menebus hutang pria itu?! Mobil itu terus berjalan dan baru berhenti saat tiba di mansion milik Moretti yang bergerbang tinggi dan dikelilingi oleh pagar berduri. Rumah itu sangat besar dan bergaya arsitektur Eropa yang mewah, tapi elegan. Namun, entah kenapa rumah ini terasa begitu dingin seakan tak berkehidupan. Membuat Elena merasa tak nyaman. Elena melangkah ragu, mengikuti arahan yang diberikan oleh pria itu untuk menuju ke ruang tamu. Sesampainya di s
“Apa? Tidak mungkin!” sanggah Alvaro. Dalam beberapa bulan terakhir ini, hanya Elena wanita yang dia sentuh. Bagaimana bisa Delisa hamil. Alvaro memejamkan mata, mencoba mengingat siapa saja wanita yang dekat dengannya. Tetapi tak ada dalam ingatannya dia pernah menyentuh Delisa sekalipun. Yang ada, wanita itu yang agresif mendekatinya tetapi selalu berhasil dia gagalkan. “Jangan berkelit lagi, nikahi Delisa.” Alvaro tertawa sinis, “sampai kapanpun, tidak!” Alvaro masih teguh dengan pendiriannya. Terlebih lagi dia tidak pernah merasa menyentuh Delisa. Jelas ada sesuatu yang tidak beres. Wanita itu pasti ingin menjebaknya. “Beraninya dia,” gumamnya. “Kepala pelayan, tunjukkan video itu.” Kepala pelayan mengambil sebuah ponsel di atas meja dan kemudian mendekat ke Alvaro. Lalu dia memberikan ponsel itu pada Alvaro. Garis bibir Alvaro tertarik ke dalam. Sekarang dia benar-benar merasa yakin bahwa ini salah satu akal bulus Delisa untuk menjebaknya. “Video ini sudah di edit.” “Apakah
“Apa isi dokumen itu?” kata Kakek. Pria tua itu berdiri, dan menarik dokumen dari tangan Vincent. Elena sendiri hanya bisa menatap kedua orang yang sedang saling berebut dokumen itu. Sesaat wanita itu melirik Alvaro yang sedang menahan senyum di sampingnya. “Kira-kira apa isi dokumen itu?” batin Elena.“Lepaskan Vincent!” teriak Kakek. Tangannya menarik paksa dokumen dari tangan Vincent, terlihat jelas bahwa Vincent sangat tidak ingin Kakek mengetahui isi dokumen itu. Begitu Kakek melihat dokumen yang ada di map itu, dia seperti terpukul. Dia mundur satu langkah, dan terduduk lemas. “Vincent beraninya kau! Kau membohongiku selama ini?” Wajah Kakek sudah merah karena amarah. “Ampun Kek, ini semua bohong. Ini hanya rekayasa bajingan ini.”Vincent masih saja berkelit, dan tidak mengakui kesalahannya. “Maaf Kek, bisa saya lihat dokumen itu?” tanya Elena, penasaran. Bagaimanapun juga ini berhubungan dengan hidupnya. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Kau tidak tahu tent
Keesokan paginya, Elena sudah di dapur. Dia memang sengaja bangun lebih dulu karena dia ingin menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Alvaro. Berbeda dengan di Mansion, di Penthouse ini tidak ada satu pun pelayan. Tetapi, entah kenapa Elena merasa senang di sini. Di Mansion dia merasa seperti tahanan. Elena memasak dengan sesekali bergumam lagu kesukaannya. Sampai kemudian…“Ah!” pekik Elena, kaget. Saat Alvaro memeluknya dari belakang. Kepalanya menyusup di leher Elena. “Kau membuatku kaget, untung aku tidak memukulmu pakai ini.”Elena mengangkat alat untuk menggoreng ke atas. Tetapi sepertinya ucapannya tak berpengaruh pada pria ini. Alvaro memutar tubuh Elena menghadapnya, lalu menatapnya dengan kedua tangan mengukung tubuh wanita itu. “Kenapa tak membangunkanku?” tanya Alvaro, wajahnya menunjukkan rasa tidak suka. Alvaro mengubah posisi kepalanya yang semula miring ke kiri jadi ke kanan. Seolah menuntut penjelasan atas pertanyaannya itu. Tetapi tatapannya masih intens ke Elena.
Bug! Pukulan demi pukulan diberikan Alvaro pada Vincent. Hingga pria itu tak sempat berdiri. Pria itu terlihat begitu marah. Kini Alvaro sudah diatas tubuh Vincent, bersiap untuk memberikan bogem mentah kembali. Vincent sudah terkapar tak berdaya di lantai, wajahnya babak belur.Elena berusaha bangkit, meskipun dia sangat membenci Vincent, dia tak mau melihat siapapun mati karenanya. Elena menahan tangan Alvaro.“Hentikan,” kata Elena, sembari menggelengkan kepalanya.Alvaro menoleh, melihat Elena yang terlihat lemas. Dia berdiri, lalu menatap Elena dengan cemas.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Alvaro. Kedua tangannya dan netranya melihat seluruh tubuh Elena. Seolah memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja.Elena mengangguk. “Aku ingin pulang,” kata Elena, suaranya lemah. “Jose bereskan sisanya.”“Baik Tuan.”Alvaro segera mengangkat tubuh Elena ala bridal style dan membawanya ke mobil. Dia perlahan menurunkan Elena ke jok penumpang. Lalu duduk di sebelahnya. Dia mengambil kotak obat
Tetapi Elena memikirkan ancaman Vincent, meskipun sekarang ibunya dalam penjagaan anak buah Alvaro. Tetapi, Vincent orang yang licik. Dia bisa saja melakukan apapun untuk menyakiti ibunya. Tangan Elena terkepal. “Aku harus menemuinya, dan mengetahui apa maunya.”Elena melihat sekitarnya, Alvaro sudah pergi beberapa saat yang lalu. Bagaimana jika Vincent memaksanya ikut dengannya. Elena segera bangkit. Dia menuju dapur, dia mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pelindung. “Sepertinya ini cukup,” kata Elena, tangannya menggenggam pisau dapur kecil. Lalu dia kembali ke kamar dan menyimpan pisau itu di tasnya. Dia membawa tas itu bersamanya, dan pergi keluar untuk menemui Vincent. Tidak perlu waktu lama, Elena sudah sampai di alamat yang diberikan Vincent padanya. Di depannya sebuah rumah makan mewah yang tidak jauh dari kawasan Penthouse Alvaro. Elena tetap waspada, dia kenal betul watak suaminya itu. Elena masuk ke rumah makan itu, dia melihat sekitar. Hanya ada beberapa tam
“Aku harus berpisah dulu, untuk itu,” batin Elena. Tetapi dia tak ingin memprovokasi pria disebelahnya. Karena itu, dia memilih diam. Selain itu, bayangan wajah Don yang terlihat sangat marah terus menghantui benaknya. Pria tua itu jelas kecewa setelah Alvaro menolak permintaannya untuk menikahi Delisa. Sejak meninggalkan rumah Don, Elena tak banyak bicara, bahkan setelah mereka sampai di gedung penthouse Alvaro. Alvaro, yang sejak tadi memperhatikan Elena, akhirnya tak tahan untuk bertanya. "Ada yang mengganggumu?" suaranya dalam, penuh ketertarikan. Elena tersentak saat merasakan sentuhan hangat di pundaknya. Dia menoleh, menatap pria itu dengan ragu. "Aku hanya kepikiran dengan ayahmu... apakah sikap kita tadi tidak membuatnya semakin sakit?" Alvaro menarik sudut bibirnya ke dalam, lalu memegang kedua pundak Elena dengan lembut. "Tenanglah, dia pasti baik-baik saja," katanya, seolah ingin menghapus keraguan dari mata Elena. "Syukurlah kalau begitu," gumam Elena pelan. Mereka
Elena melihat kontrak perjanjian yang ditawarkan Alvaro saat di Penthouse tadi. Tetapi hatinya masih sedikit ragu, dia mungkin akan bisa lepas dari genggaman Vincent tapi hidupnya akan terikat dengan pria di depannya sekarang entah sampai kapan. “Tanda tangani, dia tak akan mengganggumu lagi.” Nada bicara Alvaro terdengar memaksa, tetapi juga sangat serius. “Tapi…haruskah aku?” Elena mencoba mengatakan sesuatu tetapi sebelum dia menyelesaikan bicaranya, Alvaro berbicara. “Menikah denganku, sebagai imbalannya.” Kepala Alvaro mengangguk, seolah mengerti apa yang akan dia bicarakan. Elena terdiam, menatap kontrak di tangannya. Dia memikirkan segala yang mungkin bisa terjadi. Alvaro terlihat menghela napas, lalu berkata dengan nada dingin. “Aku pilihan terbaikmu.” Elena mengangkat wajahnya, menatap pria itu. “Kenapa kau begitu yakin?” Alvaro mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Elena tanpa ragu. “Aku bisa melindungimu dari Vincent.” Elena terdiam, merem
Elena menegang saat melihat layar ponselnya. Video call dari Vincent membuat nafasnya tercekat, tetapi yang benar-benar membuat darahnya membeku adalah pemandangan di balik layar. Vincent berdiri di kamar rumah sakit ibunya, jari-jarinya dengan santai menyentuh alat bantu pernapasan yang menopang hidup wanita itu. “Apa yang kau lakukan?!” suara Elena bergetar, panik. Vincent hanya menyeringai. "Kau tahu, Elena, aku bisa membuat semuanya berakhir sekarang juga," katanya santai, sementara jemarinya melayang di atas alat bantu itu, seolah siap mencabutnya kapan saja. Elena hendak berteriak, tetapi panggilan itu tiba-tiba terputus. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia melompat dari tempat duduknya dengan napas terengah-engah. "Aku harus pergi!" Alvaro yang duduk di sofa, menatapnya tajam. "Ada apa?" “Vincent—dia—dia mengancam akan membunuh ibuku sekarang!” suara Elena nyaris putus asa. "Aku harus ke rumah sakit!" Tanpa banyak bertanya lagi, Alvaro berdiri. "Aku antar." Mereka be
Siapa yang tidak kenal dengan kawasan elite di pusat kota ini. Kawasan bisnis di jantung kota yang letaknya sangat strategis, dekat dengan rumah sakit, perusahaan besar dan hunian prestige yang mewah. Dulu Elena ingin sekali tinggal di salah satu apartemen kawasan ini, karena dia tidak perlu jauh dari ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Tetapi Vincent selalu menolak, bukan dengan alasan harga apartemen yang mahal. Tetapi lebih karena Vincent menganggap Elena tak pantas tinggal di sana. Tetapi hari ini dia bahkan menginjakkan kakinya di penthouse termahal di gedung ini karena Alvaro. Hal ini membuat Elena semakin menyadari kebodohannya selama ini. Karena selalu tulis melayani Vincent dengan harapan pria itu akan menganggapnya sebagai seorang istri. Tetapi ternyata, bagi Vincent, dia tak lebih dari barang dagangan yang bisa dilempar kesana kemari. Karena itu, tekadnya semakin bulat untuk berpisah dengan bajingan itu. “Silakan Nyonya Elena,” kata Jose. Elena tersadar dari lam