Brak!
Kaisar keluar dari mobil dengan membanting kuat pintu tanpa menunggu bawahannya. Berjalan dengan langkah lebar meninggalkan parkiran rumah sakit untuk segera memasuki lobi.Dua orang yang duduk di kursi depan saling bertukar pandang satu sama lain, kemudian menelan kasar ludah mereka secara bersamaan.“Tuan Bram ... kita tidak melakukan kesalahan ‘kan?” Tanya sang Sopir pada pria yang duduk di sampingnya.Bram segera menggeleng. Jelas sekali kemarahan Kaisar bukan karena mereka melakukan kesalahan, melainkan karena hal yang Bos mereka lihat di lampu merah tadi. Ingin sekali Bram menoleh dan melihat hal apa yang membuat bosnya marah, tapi nyalinya tak sekuat itu untuk bertanya.“Yang jelasnya hal itu bukan kesalahan kita. Jadi Kau tenang saja,” ujar Bram menenangkan, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil menyusul Kaisar yang telah hilang dari pandangan.Di lobi rumah sakit.Kaisar berjalan dengan raut marah yang terlihat jelas di wajahnya, membuat para perawat dan beberapa orang yang berlalu lalang di lobi rumah sakit seketika menyingkir saat Kaisar berjalan melewati mereka.“Sialan! Brengsek!” umpat Kaisar tanpa henti sejak tadi. Kedua tangannya masih terkepal kuat mengingat sosok yang ia lihat di lampu merah sebelumnya.“Gila! Aku pasti akan memberikan pelajaran padamu, Jalang!” geram Kaisar dengan rahang mengetat.Langkah Kaisar kian cepat mendekati lift.Mengabaikan suara seseorang yang memanggil namanya, tanpa menoleh pun Kaisar tahu jika sosok itu adalah Bram. Tapi ia tak peduli, di pikirannya sekarang hanya ingin tiba di ruang rawat adiknya.“Tuan! Tunggu saya,” teriak Bram mencoba mengejar langkah lebar atasannya yang kini telah memasuki lift.Dengan tergesa-gesa pria berkacamata itu mendekati lift dan masuk. Mencoba mengatur deru napasnya yang tidak beraturan karena berlari.Tanpa mengucapkan sepatah kata, Bram memencet tombol lift ke lantai dua rumah sakit tersebut. Mulutnya gatal ingin bertanya, tapi ia urungkan melihat ekspresi wajah atasannya itu.Ting!Kaisar melangkah lebih dulu keluar dari lift. Meninggalkan Bram yang kembali mengejar langkah kaki Bosnya dengan tergesa-gesa.‘Hari ini suasana hari Tuan Kaisar sangat buruk, seperti hari itu.’ Batin Bram menelan kasar ludahnya.Perlahan-lahan langkah kaki Kaisar melambat. Semakin dekat dengan pintu ruang rawat bertuliskan nama Raila Argantara, semakin lambat pula langkahnya.Sesaat pria itu menghentikan sejenak langkahnya. Memejamkan matanya dengan tarikan napas panjang untuk menenangkan diri.Pyuuh.Kaisar menghela napas, kemudian kembali melangkah memasuki ruang rawat adiknya. Senyum yang tadinya lenyap, kembali terbit di bibir pria 25 tahun itu kala melihat sosok wanita berusia 40an lebih tengah duduk di samping brankar adiknya.“Selamat sore, Mom.”Wanita itu menoleh. Membalas senyum hangat di bibir putranya, “Kaisar, bagaimana pekerjaanmu, Sayang?” tanya Rania Argantara.Sosok wanita yang masih terlihat begitu cantik walau usianya tak lagi muda.“Lancar, Mom. Sangat,” balas Kaisar mendekat ke samping kursi Sang Ibunda, lalu mengecup singkat kening Ibunya itu.“Apakah belum ada perkembangan?” lanjut Kaisar, bertanya pelan dengan tatapan sendu menatap sosok gadis cantik yang terbaring lemah di atas brankar.Rania menunduk, lalu mendongak memaksakan senyum di bibirnya.“Kata dokter, kondisi Raila sudah sedikit membaik. Hanya saja, mereka belum bisa memprediksi kapan dia akan siuman.” Lirih Rania, menggenggam erat tangan putri bungsunya yang telah koma selama tiga bulan.Kaisar menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rahangnya mengetat tanpa Rania sadari perubahan ekspresi putra sulungnya itu.“Mom,” panggil Kaisar.“Iya, Sayang?” sahut Rania mendongak menatap wajah putranya.Kaisar kembali tersenyum simpul dengan kepala menunduk membalas tatapan Sang Ibu, “Mommy percaya padaku ‘kan?” tanya Kaisar.Seketika Rania mengerutkan keningnya bingung, merasa aneh dengan pertanyaan yang diajukan oleh putranya itu.“Mommy selalu percaya padamu, Sayang. Apa pun itu, Mommy akan selalu percaya. Karena kamu tidak pernah berbohong,” ucap Rania.Wanita itu memiringkan kepalanya menatap Kaisar yang kini berjongkok di hadapannya.“Aku akan melakukan yang terbaik. Aku akan melakukannya,” ujar Kaisar semakin membuat Rania bingung. Tapi tetap menganggukkan kepalanya.Bram yang sejak tadi diam melihat interaksi sepasang Ibu dan Anak itu, pelan-pelan menelan ludahnya kasar.Tiba-tiba ia merasa tidak enak, firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi pada seseorang yang tidak bersalah, seperti hari itu. Ya, seperti hari itu.“Oh, iya. Daddy ke mana?” tanya Kaisar menatap sekeliling ruangan untuk mencari keberadaan Sang Ayah.“Tadi Daddy mu mengatakan, jika dia akan kembali setelah menelepon seseorang.” Jawab Rania yang dibalas anggukan kepala oleh Putranya.“Mom,” panggil Kaisar lagi.“Hm,” kini Rania membalas dengan deheman.“Soal ucapanku yang tadi. Jangan beritahukan pada Daddy, ya.” Ucap Kaisar atau lebih tepatnya permohonan.Seketika Rania menoleh menatap Kaisar, “kenapa?” tanya Rania bingung.“Tidak apa-apa,” jawab Kaisar tersenyum simpul.Di sisi lain.Sosok gadis cantik tengah berdiri tegap di samping lampu merah. Menawarkan sepucuk bunga yang telah dihias dengan begitu cantik pada pejalan kaki di sekitarnya.Sejenak ia menghela napas pelan dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya. Sedikit menunduk menatap keranjang rajut yang kini telah kosong.“Hari ini juga habis. Syukurlah,” ujarnya tersenyum cerah.Di saat gadis itu masih menunduk dengan senyumnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengar memanggil namanya.“Adelia!”Sontak ia menoleh. Tersenyum hangat pada sosok wanita yang tengah berdiri di depan toko bunga terdekat sembari melambaikan tangan ke arahnya.Dengan segera gadis bernama Adelia itu berlari menghampiri sosok yang memanggilnya.“Iya, kak. Ada apa?” tanya Adelia saat tiba di depan wanita itu.“Jangan terlalu lama berada di bawah matahari. Kamu harus banyak istirahat, ingat?” tanyanya.Adelia tersenyum malu dengan pipi bersemu. Dia bahkan tak peduli dengan kesehatannya, tetapi wanita yang merupakan Bosnya itu malah begitu perhatian melebihi dirinya sendiri.“Iya, kak. Maaf, lain kali akan aku ingat.” Ucap Adelia menggaruk pelan pelipisnya yang tidak gatal.Wanita itu menggeleng pelan, “bersiaplah untuk pulang. Hari sudah mulai sore,” ujarnya mengingatkan.“Baik, kak.” Sahut Adelia menatap dalam diam pada punggung wanita itu yang perlahan menghilang di balik pintu masuk toko bunga tempat ia bekerja.Adelia terkekeh pelan mengingat panggilan yang kini ia gunakan pada atasannya itu. Walau Adelia memanggil dengan sebutan ‘kakak’ tapi nyatanya sosok tersebut jauh lebih tua darinya.Bahkan bosnya itu sudah memiliki seorang putra yang hampir seumuran dengan dirinya.Tubuh Adelia tersentak kala mendengar suara mobil yang berhenti di depan toko. Seketika ia menoleh, terdiam menatap pria jakun dengan wajah tampan rupawan keluar dari mobil.Panjang umur sekali, padahal Adelia baru saja membatin membahas sosok tersebut, Putra dari atasannya.“Selamat Sore, Tu—“Sebuah telunjuk sudah lebih dulu berada di bibir Adelia sebelum wanita itu menyelesaikan ucapannya.“Panggil namaku. Kamu bukan pembantu di rumahku, hingga memanggil dengan sebutan Tuan Muda.” kesal pria itu, Rean Admaja.Adelia terkekeh dengan senyum canggung,“maaf, Tu—“ Adelia segera membekap mulutnya sendiri kala hampir mengucapkan panggilan itu.Rean menggeleng.“Di mana Ibuku?” tanya Rean mencari sosok yang menjadi tujuannya ke tempat itu. Hingga mendapat telepon tanpa henti dari Ayahnya yang posesif bin protektif.“Ah, itu—““Oh, Rean. Kamu sudah datang. Padahal Mama bilang untuk jemputnya besok saja.”Rean menghela napas sambil menggelengkan kepalanya, “apa Mama mau membuat Papa gila?” tanyanya dengan wajah malas.Seketika wanita itu terkekeh pelan. Melirik ke arah Adelia, hingga tanpa sengaja pandangan keduanya bertemu membuat Adelia menelan kasar ludahnya merasakan firasat tak enak saat itu juga.“Em, kak. Aku pulang duluan, sampai jumpa besok.” Ujar Adelia. Buru-buru memasuki toko bunga untuk mengambil tas jinjing miliknya, lalu meninggalkan toko bunga tersebut setelah berpamitan sekali lagi pada atasannya.Suara deru napas tak beraturan terdengar.Perlahan langkah kaki Adelia terhenti. Sedikit menoleh ke belakang untuk memastikan jika dirinya telah jauh dari tempat kerjanya itu.“Untunglah. Hampir saja,” gumam Adelia mengusap pelan dadanya.Sejenak gadis itu terdiam merenung di trotoar jalan. Mengingat beberapa hal yang kini sedikit mengganggu pikirannya.‘Sepertinya aku harus mencari pekerjaan lain. Jika hanya mengandalkan gaji dari toko bunga, maka aku tidak bisa melunasi semua utang itu.’ Batin Adelia menggigit bibirnya sendiri.“Ya, aku harus mencari pekerjaan lain dengan gaji besar. Eh, tapi apa ada?”“Urusan belakangan, ah. Pokoknya sekarang harus semangat, jalan masih panjang Adelia.” Ujarnya bergumam sendiri lalu melangkah penuh semangat kembali ke kontrakannya.Suara pecahan kaca saling bersahutan di dalam sebuah ruangan tanpa henti. Napas Kaisar memburu dengan tangan terkepal kuat, hingga goresan di telapak tangannya mengeluarkan darah.“Dia ... Dia tersenyum seperti itu dengan begitu mudahnya?” Kaisar tersenyum miris, mengetatkan rahangnya dengan tubuh gemetar menahan amarah.“Kau sudah lama menikmati waktu di luar sana dengan bebas. Sudah tiba saatnya menerima hukuman, aku tidak akan melepaskanmu kali ini.” Ujar Kaisar dingin, lalu berbalik melangkah keluar dari ruangan kerjanya yang kini berantakan seperti kapal pecah dengan pecahan kaca di mana-mana.Di tempat lain.Seorang wanita memegang ponsel di telinganya. Berdiri diam menghadap dinding kaca yang memperlihatkan bangunan kota.“Kak ... apa aku sudah boleh kembali?” Tanyanya pelan dengan bibir gemetar mengingat hal yang telah ia lakukan.“Belum saatnya. Aku meneleponmu bukan untuk memanggilmu kembali, hanya ingin menyampaikan jika Ibu sangat merindukanmu.”Wanita itu menunduk dengan
“Tumben kamu datang ke sini, Kaisar? Biasanya kamu hanya fokus berkutak dengan laptop dan berkas-berkas dalam ruanganmu itu.”Kaisar tersenyum canggung. Mengikuti langkah Zeline memasuki Toko bunga.“Bukankah Om Dave juga seperti itu, Tante.”Zeline terkekeh kecil mendengar ucapan Kaisar yang menyindir Suaminya. Ya, karena memang hal itu benar adanya. Suaminya, putranya sama saja.“Ya, kamu benar.” Zeline menghentikan langkahnya tepat di samping meja yang ada di dalam toko bunga, lalu berbalik menatap pria yang terlihat rapi dengan setelan jas hitam di hadapannya itu.“Tante yakin, jika kamu ke sini tidak hanya untuk menyindir suami tampanku.”Kaisar tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya. “Aku ingin membeli bunga.” Ucap Kaisar, melirik sekilas ke arah Adelia yang hanya menunduk tanpa mengeluarkan suara.Zeline mengangguk mengerti. “Kamu ingin ke rumah sakit pagi ini?” tanya Zeline, mendapat anggukan dari Kaisar.“Adel, tolong siapkan bunga lily.” Lanjutnya memberi perintah p
“Sudah sampai?” tanya seseorang di seberang telepon tanpa sapaan atau lainnya.“Bisakah kau menyapa lebih dulu sebelum bertanya, Logan.”Lion menggeleng pelan dengan kaki terus melangkah mendekati pintu keluar bandara.“Iya-iya. Sekarang jawab.”“Aku sudah tiba di Bandara, Logan.”“Kalau begitu, sebaiknya segera hubungi Revan agar menjemput Kakak di Bandara.” Ucap Logan di seberang telepon.Lion menghela napas pelan. Menggeleng sembari menghentikan langkahnya. Memijit pangkal hidungnya.“Aku bisa naik taksi, Logan. Berhentilah …” Seketika ucapanLion terhenti dengan tatapan mata tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh darinya.“Risya.” Guman Lion dengan kedua mata terbelalak.“Kak ...” panggil Logan saat mendengar suara samar Lion di seberang sana.“Taksi sudah menunggu. Aku matikan teleponnya, Logan.” Seketika Lion memutuskan panggilan sepihak, berlari meninggalkan kopernya mengejar siluet seseorang yang sesaat ia lihat sebelumnya.Perlahan langkah Lion terhenti di luar bandara. M
Perlahan sepasang mata yang terpejam mengerjap perlahan, hingga akhirnya terbuka.Tubuh Adelia mematung menatap sekeliling ruangan yang begitu asing. Ruangan yang terlihat begitu mewah, tapi entah kenapa membuat Adelia takut.‘A-aku ada di mana? I-ini bukan kamarku.’ Batin Adelia. Bulir keringat dingin mulai terlihat membasahi kening gadis itu, hingga suara berisik cukup mengusik telinganya saat ia mengerakkan kakinya.Kedua mata Adelia terbelalak menatap rantai besi yang melingkar sempurna di pergelangan kakinya, rantai yang terikat pada kaki ranjang mewah berukuran king size dalam ruangan itu.Adelia berusaha untuk melepaskan rantai itu, tetapi tak bisa. Tiba-tiba bayangan akan kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran melintas di benaknya.Adelia ingat jelas, saat itu ia tengah keluar untuk membeli bahan makanan. Karena bahan makanan di kosnya sudah habis. Namun, saat dirinya berniat untuk kembali ke kosnya. Tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutnya, hingga Adelia kehilangan kesadar
Bram melangkahkan kakinya mendekati sepasang suami istri yang kini berdiri dengan raut wajah tegang menatap ke arah pintu ruang rawat di depan mereka.Revan menoleh saat mendengar langkah kaki mendekati. Menatap saksama sekretaris putranya.“Kamu sudah menghubungi Kaisar?” Tanya Revan yang dibalas anggukan kepala oleh Bram.“Raila ... Raila.”Revan segera memeluk tubuh Istrinya yang kini gemetar takut sambil menyebut nama Putri mereka.“Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja.”Perlahan Rania mendongak, menatap wajah suaminya dengan mata berkaca-kaca. Padahal semuanya cukup baik beberapa menit yang lalu, tapi kenapa jadi seperti ini? Tubuh Raila tiba-tiba kejang tanpa sebab, membuat Rania yang saat itu duduk di dalam ruang rawat sontak berteriak memanggil nama suaminya.Revan dapat merasakan pundak Rania yang gemetar takut dalam dekapannya. Ia mencoba mengusap pelan punggung istrinya, berusaha untuk menenangkan meski jauh di lubuk hatinya ia juga khawatir.Beberapa menit kemudian.Sebu
Kaisar duduk diam di kursi kebesarannya. Pria itu duduk diam dengan tatapan lurus ke depan.Perkataan yang ia dengar semalam dari sosok ipar saudari Ayahnya, terus berputar tanpa henti.“Sebaiknya kau berganti pakaian dulu sebelum mendekati orang tuamu atau masuk ke dalam ruangan adikmu.” Ucap Lion dengan tatapan dingin, membuat Kaisar terdiam dengan menelan kasar ludahnya.Lion melangkah untuk pergi. Sesaat langkahnya terhenti tepat di samping Kaisar, menyentuh pundak pria muda itu lalu berucap pelan.“Aku tidak berhak mengatakan hal ini padamu. Tapi sepertinya aku perlu mengatakannya karena aku sudah menganggapmu seperti putraku sendiri.”Kaisar memalingkan wajahnya hingga menatap lekat wajah Lion.“Jangan berhubungan dengan hal yang tidak baik. Seburuk apa pun amarahmu, jangan bertindak gegabah. Kedua orang tuamu pasti tidak ingin melihat salah satu anak mereka memiliki sisi seperti itu.” Lion menepuk pelan pundak Kaisar, kemudian melangkah pergi meninggalkan Kaisar yang terdiam me
Seorang pria tengah memeriksa keadaan wanita yang terbaring di atas tempat tidur mewah, sosok yang terlihat begitu pucat.“Bagaimana keadaannya?” Sontak pria itu menoleh mendengar pertanyaan tersebut, “dia baik-baik saja ‘kan?”Seketika wajah pria itu berubah datar. Apa wajah pucat pasi dengan luka di kening bisa dibilang baik-baik saja? Heh! Apa pria yang bertanya itu adalah manusia?Ia menghela napas pelan, “sekarang sudah membaik. Untungnya Anda segera menghubungi saya, jika telat sedikit saja maka saya tidak akan menjamin keselamatannya.”Rahang kaisar mengetat marah. Tetap mencoba mendatarkan ekspresinya agar pria berstatus dokter di hadapannya itu tak melihat kemarahan di wajahnya.“Terima kasih, Dokter Arya.” Ucap Kaisar sedikit membungkuk.Dokter Arya kembali menggeleng pelan. Sebagai dokter yang bekerja dibawa naungan keluarga Argantara, ia hanya bisa diam tanpa berani bertanya lebih jauh akan penyebab kondisi mengenaskan wanita yang ia periksa. Apalagi saat ini dia berhadapa
Tubuh Lion mematung dengan napas tercekat di tenggorokan kala sosok wanita keluar dari balik tirai itu. Bibir Lion mengatup rapat dengan rasa gemetar yang tiba-tiba terasa di tubuhnya.“Ah, dia siapa?” Wanita itu sedikit berbisik pada pria muda itu. Sedikit mengerutkan keningnya kala merasa jika wajah yang kini berada di hadapannya terlihat tidak asing.“Dia dokter yang akan memeriksa kakek, Mom.” Sahut Liorand menatap wanita yang tidak lain adalah Ibunya.‘Mom?’ batin Lion bertanya-tanya dengan perasaan sesak di dadanya.“Oh, begitu.” Ia tersenyum, lalu mengulurkan tangan pada Lion.“Halo, dokter.” Wanita itu tetap tersenyum manis, menatap saksama wajah yang benar-benar terasa tidak asing hingga membuat jantungnya berdetak kencang.Sesaat Lion menatap uluran tangan wanita itu. Wanita yang selalu menghantui tidurnya tanpa kenal waktu. Malam, siang, dan pagi. Hanya terbayang wajahnya setiap saat.Wajah yang membuat hidupnya cukup kacau karena rasa kehilangan.“Risya,” gumam Lion dengan
Suara decitan ban terdengar memenuhi bandara pribadi keluarga Salvatore saat sosok putra kedua di keluarga itu mengerem dadakan mobilnya.Devian segera membuka pintu. Berlari dengan tergesa-gesa mendekati jet pribadi miliknya yang siap lepas landas menuju La Spezia. Tepat saat tiba di samping pintu jet, Devian menoleh ke belakang. Menatap sepupunya yang masih berada dan diam dalam mobil."CEPATLAH, KAISAR! KAMU INGIN BERDIAM DI SINI LEBIH LAMA, HAH!" teriak Devian frustasi.Kaisar mengerjap mendengar teriakan itu. Teriakan yang seolah menyatakan jika sepupunya tengah melampiaskan amarah padanya.Apa salahnya? Sejak tadi Kaisar hanya diam, bahkan saat Devian menambah kecepatan mobil itu Kaisar tetap tak membuka suara dan hanya menggenggam erat sabuk pengaman.Sedang Devian mengusap kasar wajahnya. Hatinya sedang tidak tenang setelah menerima telepon bawahannya tadi. Telepon yang mengatakan jika terjadi sesuatu tak terduga di depan mansion Kakaknya. Kehadiran beberapa orang yang terliha
“Terima kasih atas kerja kerasnya, Nona. Sampai ketemu di esok hari.”Perlahan pintu tertutup rapat, meninggalkan Adelia sendiri di dalam kamarnya dengan bulir keringat dingin yang terlihat jelas membasahi keningnya. Adelia menghela napas lega dengan tubuh mendadak lemas. Kegugupan itu mampu membuat Adelia sulit untuk berkonsentrasi.‘Rasanya lelah sekali,’ Adelia membatin sambil menggigit bibir bawahnya, ‘tapi aku tidak boleh mengeluh. Pasti Tuan Demian sudah mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membayar guru privat untukku. Aku harus bekerja keras agar bisa membayar semua kebaikan yang Tuan Demian berikan.’Adelia menyentuh dadanya. Di dalam sana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia sungguh berterima kasih, tapi juga merasa terbebani. Dan lagi, sisi hatinya terus saja merindukan sosok yang telah menyiksanya dahulu.Apakah dia mengalami kelainan hingga merindukan sosok kejam itu? Segera Adelia menggelengkan kepala mengusir segala pemikiran aneh dalam benaknya. Semakin k
Sosok pemillik dari perusahaan KR Group itu kini terlihat duduk melamun dalam ruang tamu apartemen adiknya. Kaisar menghela napas pelan sambil mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi dia melamun membayangkan kehadiran Adelia di sisinya. Nyatanya semua hanya angan sahaja.Penampilan Kaisar sudah sedikit berubah hari ini. Begitu berbeda dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di Milan. Raila sungguh mengurus kakaknya dengan baik.Wanita cantik itu terus saja mengingatkan kakaknya untuk makan tepat waktu, bahkan saat Raila tak berada di apartemen tersebut, dia selalu menyempatkan diri menelepon Kaisar meski hanya beberapa menit.“Kakak, tadi malam aku mimpi indah. Aku melihat kakak tersenyum begitu manis pada seorang wanita di sebuah taman yang penuh dengan bunga bermekaran.” Raila bercerita begitu antusias mengenai mimpinya, membuat Kaisar tersenyum kecil menanggapi hal itu sebelum akhirnya Raila berpamitan untuk pergi ke Universitas.“Adelia…” Kaisar bergumam lirih dengan punggung bersan
Pembicaraan penting masih berlanjut di ruang keluarga kediaman Salvatore. Namun, ada hal yang terasa berbeda di ruangan itu, hingga membuat Kaisar sesekali melirik penuh tanya pada sepupunya yang mendadak menjadi pendiam setelah ia kembali dari dalam kamar mengambil beberepa dokumen penting.“Masih ada beberapa hal penting yang kurang bagiku dalam kontrak kerja sama ini.” Devian meletakkan dokumen yang ia baca ke atas meja, menatap fokus pada Kaisar yang tak mengalihkan pandangan darinya sejak tadi, “kamu tidak keberatan jika aku menambahkan beberapa hal penting ‘kan?”Kaisar segera menggeleng, “bukankah itu hal wajar? Lagi pula aku masih akan melihatnya sebelum menyetujuinya.”“Baiklah. Tapi, sepertinya itu akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Kamu akan tinggal berapa hari lagi di Negara ini?” ucap Devian mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ingin membalas tatapan mata sepupunya yang terlihat menyipitkan mata curiga.Sejenak keheningan mencekam menguasai. Kaisar tak kunjung
‘Akhirnya tiba juga.’Kaisar menatap sekeliling bandara dengan tatapan datar. Ia menghela napas pelan, menaikkan sebelah alisnya menatap sosok pria yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum.Perlahan Kaisar melangkah mendekati sosok itu. Menarik pelan koper kecilnya dengan wajah datar yang senang tiasa terlihat.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Kaisar menaikkan sebelah alisnya bertanya.Kekehan pelan terdengar keluar dari bibir Devian, sosok kembaran dari Demian.“Menjemputmu,” balas Devian santai. Tak terlalu peduli dengan ekpresi yang terlihat di wajah sepupunya itu. Karena Devian cukup mengenal seperti apa sifat seorang Kaisar Argantara.“Seharusnya tidak perlu.” Keduanya mulai melangkah keluar, “seharusnya kamu tidur saja. Aku bisa ke hotel terdekat menggunakan taksi,” lanjut Kaisar yang terlihat tak dipedulikan oleh Devian.Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Devian memasuki mobilnya. Kaisar hanya bisa menggeleng pelan melihat hal tersebut. Segera masuk setelah mel
Keheningan masih menguasai di dalam ruang tamu sebuah mansion. Sosok wanita yang duduk di sofa panjang itu hanya menunduk dengan meremas kuat tangannya. Ia takut untuk mendongak, menatap pria yang terlihat seperti orang lain saat ini.“Sepertinya sudah saatnya aku untuk pergi.” Ucap Devian tiba-tiba, melihat arloji yang melingkar di tangannya.Adelia menoleh ke sumber suara. Mengerjap menatap sosok yang kini beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi meninggalkan mansion itu. Padahal sosok itu baru saja tiba tiga puluh menit yang lalu.Devian tersenyum simpul pada wanita yang kini menatapnya bingung, “kalau begitu, aku pamit undur diri. Masih ada hal yang harus aku lakukan, jika ada kesempatan aku aka mengunjungimu lain kali. Dan lain kali aku membawa buah tangan, sampai jumpa.”Devian melambaikan tangannya pada Adelia, berjalan begitu santai sambil bersiul riah hingga menghilang di balik pintu.Kedua mata Adelia mengerjap beberapa kali. Namun, ia segera mencoba untuk menstabilkan pe
“Mansion siapa ini?” Devian bergumam menatap seksama tembok mansion di hadapannya. Setelah tadi mengikuti mobil Demian, kini ia telah tiba di depan gerbang mansion yang entah milik siapa. Seingatnya, kakaknya itu tak pernah membeli mansion itu. Dengan segera Devian merogoh saku celana kainnya. Meraih benda pipih di sana, lalu segera menghubungi nomor Kakaknya. Tidak lama berdering, sosok di seberang telepon mengangkat panggilannya. “Hm.” Hanya suara dehaman yang terdengar, menandakan jika kakaknya tak ingin diganggu saat ini. “Kau ada di mana?” tanya Devian, kembali mengedarkan pandangan menatap sekeliling. Terlihat cukup asri dan nyaman di pandang. “Di luar,” jawab singkat Demian. Sesaat hening menguasai, hingga Devian kembali membuka suara. “Kau berada di Milan ‘kan?” Keheningan kembali menguasai setelah Devian mengutarakan pertanyaan itu. Pria berusia dua puluh dua tahun itu tahu, jika kakaknya tengah terkejut saat ini dan pasti berpikir keras akan maksud pertanyaannya. “A
Kedua mata Kaisar mengerjap beberapa kali. Memandang lama ke arah Ayahnya yang baru saja melemparkan bantal sofa, hingga tepat mengenai wajah tampannya. “Aneh-aneh saja kamu,” ucap Revan menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya ke sofa. Rania menghela napas pelan, berniat untuk bangkit dari duduknya dan memasuki dapur. “Aku serius, Dad.” Ucap Kaisar tanpa ragu. Seketika kedua orang tuanya menatapnya terkejut, “aku sudah menikah diam-diam dengan seorang wanita.” Lanjutnya lirih. Revan mematung di sofa dengan mulut sedikit terbuka mendengar ucapan lirih Putranya. Sedikit melirik ke arah istrinya yang tak jauh berbeda, benar-benar terkejut mendengar kejujuran Putra sulung mereka. “Kaisar…” panggil Revan dengan suara bergetar. Pria setengah baya itu mencoba mengatur deru napasnya yang tidak beraturan, mencoba untuk tenang agar tak mencerca Putranya dengan pertanyaan. “Kapan?” tanya Revan pelan, memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Rania kembali duduk di tempatnya. Me
Kaisar menggenggam erat ponsel di tangannya mendengar ucapan di seberang sana. Ia tahu jika hal itu sangat menganggu, tetapi amarah dan rasa penasaran tak bisa menghentikan niatnya untuk segera menghubungi sepupunya itu."Aku tanya, kamu waras?" Tanya Demian lagi, terdengar jelas nada datar di seberang telepon.Sesaat Kaisar tetap diam. Tatapannya menajam menatap tembok ruang kerjanya, tak memedulikan sosok adiknya yang kini memasuki ruangan itu."Aku tanya, di mana dia?!" Sentak Kaisar mengabaikan pertanyaan Demian.Helaan napas pelan terdengar di seberang telepon."Dia siapa?"Terdengar jelas nada tak tahu dari ucapan sepupunya itu."Adelia!" Sentak Kaisar mengebrak meja kerjanya.Tubuh Raila terkesiap mendengar suara teriakan dan gebrakan meja itu. Ia menatap kakaknya dengan mengerjapkan mata beberapa kali.'Adelia... Apa itu nama Istri Kak Kaisar?' batin Raila mulai menyimpulkan.Keheningan menguasai di seberang sana, membuat kening Kaisar mengerut lalu menjauhkan benda pipih itu d